WikiLeaks Bocorkan Daftar Agen Amerika di Indonesia

Lagi-lagi situs WikiLeaks membuat geram sejumlah nama orang atau lembaga di Indonesia. Kabar terbaru, situs pembocor rahasia negara ini mengungkap daftar nama agennya di Indonesia. Di antara yang disebut itu ada nama Yenny Wahid, Eko Sandjojo, Poempida Hidayatulloh, S. Eben Kirksey, Agus Mantik, AS. Kobalen, Made Erata dan Gusti Widana. Sejumlah lembaga yang ikut disebut namanya antara lain Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Komunitas Yahudi Surabaya.

Dikabarkan oleh laman Gebraknews pada Sabtu (13/9/2014) dini hari ini, pengungkapan kawat diplomat Amerika Serikat di Jakarta yang jatuh ke tangan pengelola situs WikiLeaks, kini bisa diakses oleh siapa saja. Berikut ini ikhtisar bocoran Wikileaks tentang orang-orang Indonesia yang menjadi kaki tangan pemerintah Amerika Serikat.

Inilah kisah yang tak ingin didengar diplomat Amerika di Jakarta dan seluruh aset dan orang-orang yang pernah dan mungkin masih bermitra dengan mereka, swasta, partikelir, ataupun pejabat. Sebuah drama berbalut kasak-kusuk, spionase, dan cerita tentang loyalitas yang tergadai.

Australia telah memaparkan ‘kesalahan fantastis’ koran tersohor Australia, The Age, dalam memahami dan melaporkan isi sebuah kawat diplomat Amerika di Jakarta yang mereka dapatkan secara eksklusif dari WikiLeaks pada Maret 2011.

Pemeriksaan lanjutan menunjukkan kalau koran menerapkan sejenis apartheisme atas mereka yang namanya muncul dalam telegram sebagai informan kedutaan. Media Australia tak masalah memberitakan kedekatan khusus T.B. Silalahi (bekas penasihat Presiden SBY) dan Yahya Asagaf (orang dekat Syamsir Siregar, bekas Kepala BIN) dengan kalangan diplomat Amerika di Jakarta. Tapi, saat yang sama, media massa seperti sengaja menyembunyikan identitas Yenny Wahid dan Dave Laksono meski telegram yang bocor ke Wikileaks yang menjadi rujukan mereka adalah telegram yang sama yang memuat cerita T.B. Silalahi dan Yahya Assegaf.

Yenny Wahid bedasarkan sebuah telegram bertajuk “A Cabinet Of One -- Indonesia's First Lady Expands Her Influence (dikawatkan dari Jakarta pada 17 Oktober 2007 dengan status “Rahasia” oleh Joseph Legend Novak, pejabat bidang politik kedutaan AS), adalah  “staf kepresidenan yang mengklaim pada medio Juni 2007 kalau sejumlah keluarga Ibu Negara Kristiani Yudhoyono secara khusus mengincar peluang-peluang bisnis di Badan Usaha Negara”.

Yenny, tulis telegram itu - menggambarkan Presiden Susilo bermain cantik, mendorong operator-operator terdekatnya (seperti Sudi Silalahi) di depan dan dia sendiri menjaga jarak demi mencegah kemungkinan tersangkut.

Dave Laksono adalah putra Agung Laksono (bekas Ketua DPR) yang, dalam sejumlah telegram, digambarkan sebagai “operator politik Agung”.

Dave  yang menyebutkan kalau dalam sebuah pertemuan dengan Agung Laksono pada 5 Juni 2007, Presiden Susilo mengeluhkan kegagalannya membangun benteng bisnis yang memadai.

“Dave – yang tidak mengindikasikan dia turut hadir dalam diskusi itu – bilang Yudhoyono merasa perlu “mengejar ketertinggalan” dan Dave berspekulasi kalau Presiden mungkin ingin memastikan kelak dia bisa mewariskan harta yang cukup besar untuk anak-anaknya."

Dari pemeriksaan lebih jauh, diperoleh informasi kalau dalam kawat ke Washington, pihak kedutaan juga menerapkan perlakukan berbeda atas informan mereka di Jakarta. Sebagian mereka sebut begitu saja, nama, jabatan ataupun profesi lalu informasi yang mereka dapatkan dari mereka.

Tapi sebagian sumber informasinya lainnya mereka sebut dengan catatan khusus, “Strictly Protect”, dan sejumlah nama lainnya lagi mereka beri catatan “Please Protect”.

Makna “Strictly Protect” & “Please Protect”

Belum ada informasi resmi, dan mungkin tak akan pernah ada, soal apa makna “Strictly Protect”, secara harfiah berarti “Lindungi Ketat”, dan “Please Protect” (“Tolong Lindungi”) dalam telegram diplomat Amerika. Tapi sebagian kalangan percaya kalau kedua frase ini ‘sensitif’ dan merujuk pada orang-orang yang berbicara dalam kerahasiaan dengan pihak kedutaan. Ada pula yang berpendapat kalau kedua predikat itu berlaku bagi mereka yang memberi informasi secara reguler dan sensitif dan sebab itu lah kedutaan meminta Washington menjaganya rapat-rapat.

Tentang makna frase “Strictly Protect” dan “Please Protect” dalam telegram telah mendorong pejabat Kementrian Luar Negeri Amerika Serikat dan kalangan “pegiat hak asasi” menyesalkan keputusan WikiLeaks memajang isi telegram tanpa sensor. Mereka khawatir pemuatan nama-nama itu dapat membawa dampak memukul bagi kalangan aktivis, jurnalis dan tokoh-tokoh masyarakat sipil yang menjadi informan kedutaan Amerika, utamanya mereka yang tinggal di negara “otoriter”.

Dari penelitian lebih lanjut ditemukan frase “Strictly Protect” ada di setengah lusin lebih telegram dari Kedutaan Amerika di Jakarta sementara “Please Protect” muncul dalam 38 telegram – dari total 3.059 telegram terkait Indonesia.

Pemeriksaan lainnya menunjukkan kalau pada setiap nama yang berstatus khusus punya kisahnya tersendiri, yang kemudian menjadi bagian dari informasi penting, dan juga kabar burung, yang dikawatkan para diplomat Amerika di Jakarta ke bos-bos mereka di Washington.

Berikut nama sejumlah pihak yang dalam telegram diplomat Amerika diberi predikat “Strictly Protect”:

1. Yenny Wahid

Nama Yenny Wahid muncul di 16 kawat diplomatik, sejauh ini. (Sebagai perbandingan, “Dave Laksono” muncul di delapan telegram, “Yahya Asagaf” enam telegram, “T.B Silalahi” 17 telegram dan “Kristiani Yudhoyono” delapan telegram). Diplomat Amerika umumnya menggambarkan Yenny sebagai pejabat senior Partai Kebangkitan Bangsa, sekali sebagai staf presiden (catatan: Yenny memang pernah bekerja sebagai staf Presiden Susilo), yang membagi banyak cerita, termasuk kirsuh dualisme kepemimpinan di PKB, soal hubungan khusus FPI dan dan pihak-pihak keamanan (polisi dan intelijen), soal dukungan diam-diam PKB pada pemerintahan Presiden Susilo (di saat Wahid menampilkan diri di media sebagai musuh presiden) dan beberapa soal lainnya.

Namun dari semua itu, di sebuah telegram (bertajuk “Indonesian Biographical And Political Gossip, Q2 2006”, dikawatkan dari Jakarta pada 3 Juli 2006 oleh perwira politik kedutaan, David R. Greenberg), frase “strictly protect” muncul setelah penulisan nama Yenny: “Dalam sebuah pertemuan pada Juni, Deputi Sekretaris Jenderal PKB Yenny Wahid (strictly protect) mengkonfirmasi ke kami kalau orang dekat Yudhoyono yang telah menekan seorang jaksa untuk menjatuhkan putusan yang merugikan Gus Dur dalam kasus yang telah disebutkan lebih dulu ... adalah Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi ... .”

Setelah nama Yenny Wahid, muncul nama berikut sebagai agen atau antek Amerika Serikat di Indonesia:

1. Eko Sandjojo

Sejauh ini, nama Eko Sandjojo hanya muncul sekali dalam kawat diplomatik: “Indonesian Biographical And Political Gossip, Q2 2006”, dikawatkan dari Jakarta pada 3 Juli 2006 oleh pejabat politik kedutaan, David R. Greenberg.

Dalam sub judul “PKB BUYS FAVORABLE COURT VERDICT”, Greenberg menulis: “Orang yang bersimpati pada Tuan Besar Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Abdurrahman Wahid (alias Gus Dur), membayar hakim Rp 3 miliar (sekitar US$ 322.000), sebagai sogok guna memenangkan sebuah persidangan pada 2006, agar hakim memberi wewenangan sah kepengurusan pada kubu Wahid dan bukan pada musuh-musuhnya".

Cerita ini datang dari Presiden Direktur Sierad, Eko Sandjojo (strictly protect), yang juga punya hubungan dekat dengan PKB. Eko mengklaim tahu informasi ini sebab salah seorang pengacara ternama, Soesilo Aribowo, yang juga bekerja untuk Eko (atau Sierad), telah menyalurkan uang itu ke hakim-hakim.”

 PT Sierad Produce Tbk adalah perusahaan pakan ternak yang sahamnya diperdagangkan (go publik) di bursa efek Jakarta

2. Poempida Hidayatulloh

Nama Peompida muncul di setidaknya sembilan kawat diplomatik. Diplomat Amerika memasang frase “Strictly Protect” untuk dia saat mengirim kabar berikut ke Washington pada 3 Juni 2006: “Bekas Komando Kopassus Prabowo Subianto kerap naik penerbangan komersil ke Bangkok untuk bersua pacarnya, seorang gadis Thailand yang tinggal di sana, menurut Deputi Bendahara Partai Golkar Poempida Hidayatulloh (strictly protect), yang sebelumnya punya hubungan dekat dengan Prabowo.

Poempida mengklaim kalau Prabowo telah membuatkan sebuah perusahaan bisnis untuk pacarnya itu, dan pasangan itu cukup akrab hingga mereka semestinya sudah menikah andai Prabowo tak mencemaskan dampak berlanjut punya seorang istri berkewarganegaraan asing pada ambisinya merebut kursi kepresidenan.”


3. S. Eben Kirksey

Telegram menggambarkan dia adalah “seorang akademisi Amerika” yang ikut menulis laporan kemungkinan keterlibatan Tentara Nasional Indonesia dalam kasus terbunuhnya dua orang warga Amerika dan seorang warga lokal di Timika, Papua, pada tahun 2002. Saat menuliskan nama Eben dalam telegram, diplomat Amerika memasang himbauan “please strictly protect”.

Penelitian lebih lanjut mendapati kalau ada cerita besar yang mengiringi masuknya nama Eben dalam telegram. Sebuah kontroversi yang lain dan ini melibatkan nama Andreas Harsono, seorang yang dalam telegram digambarkan sebagai “penulis freelance tersohor”, dan menjadi mitra Eben dalam menulis laporan kontroversial soal insiden berdarah di Timika.


Lebih jauh soal laporan bersama Eben dan Andreas soal insiden berdarah di Timika, berjudul Murder at Mile 63 bisa dilihat di :

http://andreasharsono.blogspot.com/2008_08_01_archive.html dan http://www.etan.org/news/2007/04mile63.htm


Telegram bertajuk “Labor/human Rights Contacts Allege Harassment, Possibly By Goi Agencies”, dikawatkan dari Jakarta pada 2 September 2008, oleh pejabat politik kedutaan, Joseph L. Novak, merangkum isi pertemuan antara pihak kedutaan dan Andreas pada 26 Agustus 2008.

Andreas digambarkan sebagai tokoh pergerakan demokrasi dan kebebasan pers di era-Suharto dan juga sebagai penerima beasiswa ternama Nieman Fellow di Harvard University.

Dalam rangkuman atas laporan, Novak menulis: “Seorang penulis freelance  Indonesia – dan seorang bekas fellow di Harvard – bilang ke Labatt (Labour Attache, red.) kalau dia percaya dia sedang dalam intaian lembaga-lembaga intelejen pemerintah Indonesia.

Dia bilang kalau ini mungkin karena laporan investigasinya atas isu-isu hak asasi manusia. Dia meminta USG (United Stated Goverment, red.) menyimpan rapat-rapat urusan ini sementara waktu agar tak menambah besar perhatian atas dirinya. Kontak-kontak di organisasi buruh juga membisikkan ke Labatt seputar apa yang mereka tuduhkan sebagai pengintaian dan pelecehan oleh lembaga-lembaga intelijen. Jika akurat, kasus-kasus ini mungkin terkait dengan meningkatnya kepekaan Pemerintah Indonesia menjelang Pemilu 2009 ... .”

Telegram lebih jauh juga menjelaskan hal yang melatari terjadinya briefing Andreas pada pihak kedutaan. Kata telegram: Andreas mengirim sebuah pesan ke organisasi hak asasi manusia di Amerika, yang memuat kecemasannya, yang kemudian diteruskan oleh DRL (Departement of Right & Labour, red.) ke Labatt.

Harsono bilang ke Labatt kalau pihak kedutaan maupun DRL sebaiknya tak mengambil langkah apapun yang bisa mengundang perhatian atas dirinya, dan pesan apapun yang mungkin kita sampaikan ke Pemerintah Indonesia atas nama dirinya mungkin tak akan membantu. Dia bilang dia tak begitu percaya kalau dirinya dalam bahaya meski dia sedikit cemas. Kami berjanji untuk bertemu secara reguler untuk memonitor situasi.”

Dari pemeriksaan arsip media Jakarta, Andreas pernah diberitakan bekerja untuk Human Right Watch, organisasi pemantau hak asasi berbasis New York. Dia juga belakangan sempat diberitakan sebagai pihak awal yang ikut mempublikasi video sadis pembantaian Ahmadiyah di Banten ke situs YouTube.com yang kemudian memicu kehebohan publik lalu kecaman dari Kementrian Luar Negeri Amerika yang menuding minimnya perlindungan negara pada apa yang mereka sebut sebagai kelompok-kelompok minoritas.

Pada 5 September, Kantor Berita 68H sempat mewawancarai Andreas, meminta komentarnya sekaitan apa yang mereka sebut keyakinan FPI kalau dokumen WikiLeaks hanya ‘permainan’ kedutaan Amerika. Andreas nampaknya belum sadar – atau mungkin pura-pura tidak tahu – kalau namanya ikut menghiasi dokumen WikiLeaks.

Soal terakhir bisa dilihat di: http://www.kbr68h.com/berita/wawancara/11813-andreas-harsono-buktikan-kedekatan-polisi-fpi-) 

Empat Pengurus PHDI


Nama berikut muncul sebagai agen atau antek Amerika Serikat di Indonesia : Agus Mantik, AS. Kobalen, Made Erata dan Gusti Widana.

Keempat nama ini hanya sekali muncul dalam telegram, yakni telegram bertajuk “Hindus Lament "islamization" Of Indonesia”, dikawatkan oleh pejabat politik kedutaan AS, Sanjay Ramesh, pada 1 Februari 2007:

“Pada 24 Januari, Poloff (political officer, red.) menggelar pertemuan dengan beberapa pejabat Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) termasuk pimpinannya Agus Mantik, Direktur Komunikasi Internasional A.S. Kobalen, Kepala Pengurus Harian Made Erata, dan Sekretaris Jenderal Gusti Widana. (Strictly Protect) ... .”

Dalam rangkuman telegram, Ramesh menulis: “Beberapa pemimpin ternama Parisada Hindu Dharma Indonesia (PDHI) mengatakan kepada kami kalau komunitas Hindu menghadapi peningkatan diskriminasi di tangan sebuah pemerintah dan komunitas Muslim Indonesia yang gemar mengislamkan kalangan lain.

Dalam sebuah diskusi pada 24 Januari, mereka menuduh “Islamisasi Indonesia” telah berujung pada sebuah peraturan pemerintah tentang pembangunan tempat beribadah, yang telah diberlakukan dan mereka anggap punya syarat-syarat yang berat bagi kelompok-kelompok agama minoritas yang ingin membangun tempat ibadah yang baru.

Pimpinan PHDI menuduh umat Hindu di Jawa yang ingin mendapatkan layanan publik, termasuk akte lahir dan surat nikah, menghadapi diskriminasi yang menyeluruh.

Elit PHDI menudung derita nestapa umat Hindu hanya mendapat sedikit perhatian mengingat komunitas Hindu tak punya dukungan internasional dan sumber-sumber keuangan seperti halnya umat Kristiani yang mendapat dukungan penuh Amerika Serikat, Eropa dan Komunitas Internasional lainnya.

Nama Georges Paclisanu, bos besar Palang Merah Internasional, muncul dalam telegram bertajuk “Acehnese Villagers Exhuming Conflict Victims' Graves”, dikawatkan oleh perwira politik kedutaan, Stanley J. Harsha, pada 18 Oktober 2006.

“Orang-orang desa di Aceh menggali kuburan mereka yang mati dibunuh dalam konflik antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan pemerintah Indonesia, kata George Paclisanu (strictly protect), Kepala Delegasi Parang Merah Internasional (ICRC), kepada kami belum lama ini,” katanya via telegram.

Isi telegram selebihnya menceritakan apa yang didengar dan dilihat sendiri oleh Georges saat menyaksikan pembongkaran kuburan itu dalam sebuah kunjungan ke Aceh, plus penilaiannya atas dampak konflik di Aceh, sebuah isyarat adanya pelanggaran janji ‘kenetralan’ dalam kerja ICRC di Indonesia.

Nama Wakil Indonesia dalam Komisi Kebenaran dan Persahabatan Timor Leste-Indonesia (CTF) tercantum dalam telegram bertajuk “East Timor/Indonesia Final Report Holds Goi Institutions Accountable”, dikawatkan oleh pejabat politik kedutaan AS  Joseph Legend Novak, pada 24 April 2008, seseorang yang digambarkan sebagai “wakil Indonesia” di CTF menunjukkan ke seorang pejabat politik kedutaan Excutive Summary laporan final CTF pada 22 April 2008.

Kata telegram tersebut, pada laporan inti menyebutkan secara institusi, Pemerintah Indonesia, bertanggungjawab atas pelanggaran hak asasi berat di Timor Timur pada 1999.

“Laporan menyebut personel militer, polisi dan pejabat sipil yang berkontribusi pada kekerasan melalui kerjasama mereka dengan milisi-milisi pro-integrasi.”

Telegram juga menyebutkan: “Sumber orang Indonesia ini (strictly protect) telah meminta kalau semua referensi yang bisa merujuk pada dirinya dan fakta dari laporan yang kami lihat dirahasiakan mengingat laporan itu belum beredar secara resmi di pihak pemerintah Indonesia dan Timor Leste.

Executive Summary dan naskah lengkap laporan final baru akan diserahkan ke presiden masing-masing negara dalam beberapa hari ke depan.”

Daftar Nama Berstatus 'Please Protect' di Kedubes AS


Berikut adalah sejumlah orang dan lembaga yang dalam telegram kedutaan mendapat predikat “Please Protect”:

1. Sydney Jones

Dalam sebuah telegram bertajuk “With Death Of Key Terrorist Confirmed, Police Continue Full-court Press”, dikawatkan dari Jakarta pada 23 September 2009 oleh pejabat politik kedutaan, Joseph L. Novak, disebutkan: 

“Banyak ahli konterterorisme telah berspekulasi ihwal siapa yang bisa mengambil alih pucuk pimpinan organisasi pecahan JI ... Penasihat Senior International Crisis Group (ICG) Sidney Jones (Amcit—please protect) berspekulasi bahwa seorang teroris bernama Reno (hanya satu nama) bisa jadi mengambilalih pucuk pimpinan organisasi pecahan, kendati dia dengan cepat bilang bahwa JI tak perlu struktur pimpinan formal untuk menggelar operasi ... .”

Atribut Please Protect juga melekat pada nama Sydney Jones dalam sedikitnya lima telegram lain bertema penungkapan kasus “terorisme”

2. Kontak di Indonesia Corruption Watch (ICW)

Sebuah telegram bertajuk “Scrutiny Of Bank Century Bailout Iccreases”, dikawatkan dari Jakarta pada 6 November 2009, langsung oleh Duta Besar Cameron Hume, menyebutkan: “Seorang informan Kedutaan yang terpercaya yang juga aktivis pada Indonesia Corruption Watch / ICW (PLEASE PROTECT) mengatakan kepada kami kalau dia mengetahui bahwa dana-dana Bank Century telah digunakan untuk membiayai kampanye pemilihan ulang Presiden Yudhoyono. 

Dia percaya kalau informasi itu kredibel meski dia dan ICW tak mampu membuktikan tuduhannya itu... .” (Catatan: penulisan huruf kapilita “Please Protect” hanya tercantum dalam telegram ini dari 3.059 telegram yang berasal dari Kedutaan Amerika di Jakarta di situs WikiLeaks sejauh ini).

3. Henry Durant Centre for Humanitarian Dialogue

Sebuah telegram bertajuk “Papua -- Tentative New Efforts To Address Grievances”, dikawatkan dari Jakarta pada 6 Maret 2009, membahas penilaian diplomat Amerika atas The Papua Roadmap besutan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Di salah satu bagian telegram tertera keterangan: “para pejabat LIPI terus membangun dukungan untuk Roadmap dalam pemerintahan dan telah mencari masukan dari Henry Durant Centre for Humanitarian Dialogue yang berbasis di Jenewa (please protect).”

4. David Cohen

Dalam telegram bertajuk “Human Rights -- Encouraging Indonesia To Implement Truth Commission Report”, dikawatkan dari Jakarta pada 20 Oktober 2008, perwira politik kedutaan, Joseph L. Novak, menyebutkan kalau dalam sebuah pertemuan, seorang warga Amerika yang bekerja sebagai penasihat untuk Komisi Kebenaran dan Persahabatan Indonesia-Timor Leste (CTF) telah mengungkap sejumlah cara “mempercepat implementasi rekomendasi CTF untuk reformasi sektor keamanan di Indonesia via pendidikan hak asasi”. 
Sang penasihat itu juga menyarankan kalangan LSM melapangkan jalan dengan gencar mempublikasi laporan CTF, agar kesimpulan tentang pelanggaran hak asasi di Timor Timur dan perlunya reformasi bisa diketahui orang banyak. 
Telegram menggambarkan lebih jauh tentang sang penasihat: “David Cohen (AmCit – please protect), Direktur Barkeley War Crimes Studies Center di University of California, membriefing DepPol/C pada 10 Oktober sekaitan kemajuan implementasi laporan CTF, disebarkan untuk umum pada 15 Juli. (Catatan: Cohen saat ini adalah seorang konsultan bagi pemerintah Indonesia dan Sekretaris ASEAN, di luar pekerjaannya di Berkeley ... .”


5. Komunitas Yahudi Surabaya

Dalam sebuah telegram bertajuk “Special Envoy Rickman Meets With Jewish Community In Surabaya”, dikawatkan dari Jakarta pada 7 Augustus 2008, Principal Officer Konsulat Amerika di Surabaya, Caryn R. McClelland, menuliskan ikhtisar berikut: “Utusan Khusus untuk Pengamatan & Perlawanan Anti Semitisme, Gregg Rickman, berkunjung ke Surabaya pada 30 Juli 2008, usai mampir di Jakarta. Rickman, ditemani Karen Paikin, dari Kantor Pengamatan dan Perlawanan Anti-Semitisme, dan Yakov Barouch, seorang Rabbi yang tinggal di Jakarta, berkunjung ke synagogue, satu dari hanya dua di Indonesia, dan sebuah pekuburan Yahudi, dan bertemu dengan anggota komunitas Yahudi, yang jumlahnya kurang dari 20 orang.”

Telegram lalu menjelaskan lagi: “Sinagog di Surabaya, awalnya sebuah rumah dan kantor dari seorang dokter warga negara Belanda, telah berfungsi sebagai sinagog sejak 1939. Tak ada pengamanan kcuali sebuah pagar besi rendah yang membalut bangunan. Anggota Keluarga Sayur bertindak sebagai pengurus sinagog dan tinggal di sebuah rumah yang bertetanggaan ... Joseph Sayer dan istrinya Rivka tinggal di sana dengan seorang anak perempuan, Hanna, dan seorang cucu (please protect). Dua cucu lainnya saat ini sedang belajar di luar negeri: satu di Inggris dan satu di Amerika. Keluarga Sayer memegang paspor Belanda, tapi menetap di Indonesia seumur hidup mereka.

“...Rickman juga menemui Helen Nasim (please protect) di kediamannya. Dia punya seorang putra dan seorang cucu. Dia mengungkapkan pesimisme seputar peluang keluarganya tetap di Indonesia, dan bilang kalau dia selalu berusaha merahasiakan identitas keyahudiannya ... .”

Sumber: Gebraknews.com


Subscribe to receive free email updates: