Maher Zein: Unofficial Biography (Bagian 2)


Headline

Oleh: Darmawan Sepriyossa

Karena itulah, aku selalu tergetar membaca karya-karya ‘mereka yang terbuang’ dari tanah kelahiran. Itu tentu saja ungkapan yang sangat tidak tepat, yang entah mengapa begitu sering digunakan para penulis. Terbuang? Aku selalu yakin, tak ada perasaan itu pada para pengungsi, sebenarnya. Yang justru ada, dan begitu besar, adalah keyakinan bahwa bumi Allah itu maha luas. Mereka meninggalkan tanah kelahiran karena tak mempercayai takdir. Para pengungsi keluar dari negerinya dengan kesadaran penuh untuk mencari nasib baik di tempat lain. Di bumi Allah yang terhampar begitu luas.

Novel yang ditulis F.M. Esfandiary, ‘Identity Card’, misalnya, yang kubaca pada saat-saat aku mulai menginjak remaja. Novel karangan seorang yang dibesarkan di Eropa tetap tetap merindukan Iran sebagai kampung halamannya itu bahkan mampu membuat seorang remaja sepertiku, yang tak begitu menyukai sastra, sangat terkesan. Dengan kesederhanaan interpretasiku, aku mampu mencerap bagaimana pengarang bercerita tentang pencarian identitas yang sia-sia di tengah absurditas birokrasi yang rigid dan mengajak frustrasi.

Untunglah, dalam banyak hal kami jauh lebih beruntung dari apa yang diceritakan Esfandiary.

Bocah Demam Panggung

Ayah memberikan benda itu sedikit sebelum usiaku tepat sembilan tahun. Artinya, hampir setahun setelah kepindahan kami ke Stockholm. Sedikit, karena tak lebih dari dua atau tiga bulan saja. Tidak khusus buatku sebenarnya, meski kepadakulah bungkusan besar panjang itu diberikan untuk kubuka. Paling tidak, ayah pun mengajak kakak dan adikku bersama membuka paket itu. Tentu saja, ayah masih memegang bungkusan itu kuat-kuat karena aku tak mungkin memegangnya sendirian. Berat. Kejadiannnya sore hari, setelah ibu menyeduh teh untuk kami nikmati.

“Bukalah,” kata ayah, dan matanya yang sejuk menatapku. Mata itu padat oleh gembira. Dibantu kakak, bahkan ayah sendiri yang justru tampak paling antusias, bungkusan itu kubuka.

Meski tak memekik, kegembiraan segera menyergapku saat benda yang sebelumnya terbungkus rapi itu terbuka. Kertas pembungkusnya pun lama kubiarkan terserak. Aku tak tahu nama benda itu. Yang kutahu, aku pernah melihat ayah memainkannya di panggung. Beliau memencet-mencet deretan hitam-putih dengan gembira, dan benda itu mengeluarkan bunyi-bunyian yang indah. Dengan iringan suara benda yang dimainkannya sendiri itu ayah bernyanyi dan mendapatkan tepuk tangan meriah di akhir lagu.

“Ini untukku?” tanyaku spontan. Mataku berkeliling, dan menumbuk pandangan kakakku yang juga tampak senang. Kami memang jarang bertengkar soal mainan, meski sama-sama bocah laki-laki. Mainan kami pun bahkan kami simpan bersama di sebuah kotak kayu. Aku hanya perlu berkata kepadanya bahwa satu mainan akan kumainkan. Mungkin itu sebuah jeep mini atau boneka kuda dari plastik. Itu akan membuat kakakku menghindari mainan itu pada hari tersebut. Kecuali aku memang memintanya untuk ikut bermain. Pendeknya, kami tak pernah bertengkar soal mainan. Mainan kakak, ya mainanku juga. Demikian sebaliknya.

Ayah tampaknya tahu pasti aku sangat menyukai hadiahnya itu. “Untuk kalian. Belajarlah yang rajin untuk bisa memainkannya dengan baik. Benda ini bisa menjadi kawan terbaikmu dalam senang dan sedih,”kata beliau. Aku tersenyum. Tak sepenuhnya mengerti perkataan ayah. Yang jelas, ia memintaku belajar memainkan alat tersebut.

Oh ya, mungkin aku harus bercerita mengapa ayah sampai merasa harus membelikanku—meski tidak secara khusus, alat music yang belakangan kuketahui bernama keyboards itu. Aku bukan anak terkasih ayah, tentu saja. Ayah dan ibu tak pernah membeda-bedakan kami, anak-anaknya. Tak ada anak emas di rumah kami. Kami empat bersaudara mendapatkan kasih sayang yang adil dan proporsional.

Hanya aku memang memiliki kesenangan sendiri yang sama dengan ayahku: menyanyi, mendengarkan musik. Aku akan lebih cermat mendengarkan nyanyian ayah saat meninabobokan kami dibanding saudara dan saudariku. Setidaknya menurutku, tentu. Aku akan lebih lama tertidur, meski untuk itu harus menahan kantuk yang berulang kami menyergap mataku, mengganduli kelopaknya agar segera menutup. Setidaknya, ketika kakak dan adikku telah tertidur, mataku masih terbuka meski sinarnya hanya tinggal sekitaran ‘lima watt’. Ayah selalu perlu menambahkan paling tidak satu lagu lagi untuk mengantarku tidur. Beliau tahu, aku menyukai lagu-lagunya.

Karena itu, bila memungkinkan aku selalu ditawari ayah untuk menemaninya manakala tampil berpentas. Ayah akan memilihkanku kursi paling depan bila ia tampil di pesta-pesta keluarga. Kecuali bila ayah diundang untuk tampil di atas panggung dalam sebuah konser, aku akan dititipkannya kepada kru sementara beliau bernyanyi menghibur penonton. Di sana, biasanya aku akan menantikan saat nama ayah dipanggil pembawa acara. Itu selalu membuatku berdebar-debar. Seolah yang akan hadir di panggung nanti bukan ayahku, tetapi seorang bintang yang kukagumi. (Bersambung)

Sumber: inilah.com

Subscribe to receive free email updates: