Maher Zein: Unofficial Biography (Bagian 4)

Headline
 
Perang pecah pada 1975, dipicu peristiwa tembak-menembak antara milisi partai Khataib, yakni Lebanese Armed Forces (LAF) dengan Popular Front for the Liberation of Palestine (PFLP-GC). Pergolakan terjadi di jalan–jalan ibu kota Lebanon. Dua pengikut agama yang diturunkan dari satu keluarga, yaitu Ibrahim, berperang sesamanya. Sesama warga negara Libanon.

Setahun kemudian, aktor perang bertambah dengan masuknya tentara Suriah ke Libanon, yang awalnya datang sebagai bagian dari pasukan perdamaian Arab, ADF (Arab Deterrant Forces). Situasi yang sudah rumit itu menjadi kian semrawut manakala pada 1978 Israel yang merasa terancam dengan keberadaan milisi Palestina di wilayah Libanon selatan, memutuskan untuk melakukan invasi ke Libanon.

Memasuki 1980-an, situasi semakin carut-marut. Perang saudara itu sudah berubah menjadi perang antarnegara, yakni Israel vs Suriah, dengan menggunakan wilayah negara kami sebagai zona perang. Jadi setahun sebelum kelahiranku, negara kami tengah berada dalam pergolakan yang paling panas. Paling kacau-balau. Pada kondisi seperti itulah, aku dilahirkan.

Jadi kalau aku bercerita tentang ayah yang menjadi seorang penyanyi terkenal di kota kami, Tripoli, sama sekali jangan membayangkan keadaan seorang penyanyi terkenal dalam situasi aman dan damai. Benar-benar lain, meski masih ada hal-hal pokok yang tetap hidup dalam dunia hiburan. Keceriaan, harapan, optimisme. Hanya karena ayah seorang yang sangat periang dan optimistik, dia bisa memberikan ketenangan dan membimbing kami untuk menikmati kehidupan. Menarik yang terbaik dari apa yang ada dan tersedia di sekitar kami.

Pada saat usiaku enam tahun--1987, aku ingat situasi negaraku kian mencekam. Ibu menjadi lebih sering memintaku untuk tidak banyak bermain di luar rumah. Selain itu pagi hari semakin sering diisinya dengan berdiskusi dengan ayah, apakah aku, kakak dan adik aman untuk berangkat ke sekolah atau tidak. Seringkali, tidak. Situasi juga membuat ayah menjadi lebih sering di rumah. Bagi kami yang masih kecil dan berpikiran terbatas, itu menyenangkan. Bukankah dengan begitu kami bisa lebih sering bersama ayah dan ibu? Itu artinya aku pun bisa lebih sering memintanya mengajariku bernyanyi.

Tentu saja selalu ada sisi lain yang tak terlalu buruk dari sebuah kondisi. Semua itu membuatku kian banyak berlatih bernyanyi di rumah. Sekadar mengisi waktu selain dengan membaca, dan mempelajari pelajaran sekolah yang tak pernah kami lupakan.

Pada era itu, rasa aman tak lagi mendatangi rumah-rumah kami. Kondisi politik dan keamanan kian tidak stabil, terutama karena pada 1988 itu pemerintah harus segera mengadakan pemilihan presiden. Tahun itu masa jabatan Presiden Amin Gemayel segera selesai. Pada kenyataannya pemerintahan Amin Gemayel tidak mampu menyelenggarakan pemilu akibat konlik yang kian rumit. Suriah yang memiliki pengaruh kuat di pemerintahan saat itu mendukung kandidat presiden yang tidak disetujui beberapa kalangan, termasuk Amerika Serikat yang kala itu memiliki pengaruh besar di Libanon.

Karena waktu yang dimiliki Presiden Amin Gemayel semakin terbatas, ia mengambil kebijakan untuk mengangkat Jenderal Michel Aoun, seorang nasionalis, menjadi pejabat pemerintah sementara. Tugasnya menyelenggarakan pemilu secepatnya. Namun pemerintahan ini ditentang Perdana Menteri Salim Hoss. Akibatnya terjadi konflik terbuka antara angkatan bersenjata yang mendukung pemerintah Salim Hoss dengan angkatan bersenjata yang mendukung pemerintah Michel Aoun. Sejak saat itu kami para bocah semakin sering mendengar rencana ayah untuk mengungsi ke luar negeri.

Rencana itu terealisasi setahun kemudian, 1989. Saat aku berusia delapan tahun itulah, keluarga kami meninggalkan Tripoli, Libanon dan menetap di Stockholm, Swedia. Di tahun yang sama anggota parlemen Libanon menggelar perundingan di Ta’if, Arab Saudi, yang menghasilkan Ta’if Accord. Setelah itu, meski tetap menyisakan bara, perang terbuka semakin berkurang di jalanan Libanon. Setahun kemudian, 1990, dipandang sebagai akhir dari perang saudara yang melanda negeri kami itu.
Barangkali untuk menghibur hati kami, anak-anaknya, selain karena melihat bakatku, sekitar setahun setelah kami menetap di Stockholm, seperti telah kukatakan, ayah membelikan kami perangkat keyboard.

Kreativitasku berkembang pesat setelah ayah membelikan kami keyboard itu. Aku tak pernah belajar memainkan piano atau pun keyboard secara formal sebenarnya. Bukan karena ayah tak pernah membawaku kepada guru-guru musik, teman-teman baiknya selama ini. Sejak masih di Tripoli, ayah kerap membawaku menyambangi mereka. Tetapi mereka lebih sering memintaku menyanyikan satu dua lagu. Mereka meminta aku melakukan hal itu tampaknya untuk menera ketinggian suaraku, mengira-ngira keras lembutnya. Semacam itulah. Itu yang membuatku kadang harus mengulang-ulang sebuah lagu. Apalagi bila lagu itu mereka sukai. Bila ada lebih dari seorang guru musik pada saat itu, tak jarang mereka berdebat berkepanjangan tentang warna suaraku itu.
Alhasil, jarang sekali mereka mengajariku bagaimana memainkan alat-alat musik. Tetapi harus kuakui, karena saran teman-teman ayah yang guru musik itulah, aku jadi lebih tahu bagaimana memfungsikan pita suara dan tenggorokku kelak, ketika aku memutuskan untuk berkarier di music.

Begitu pula ketika kami sudah tinggal di Swedia. Ada komunitas muslim yang orang-orangnya tak hanya berasal dari Libanon yang sering ayah datangi. Di komunitas ini nama besarnya sebagai penyanyi masih dikenal orang. Ada juga di antara mereka beberapa orang yang mengerti musik. Kebiasaan di Tripoli pun dilakukan ayah di sini: membawa aku kepada mereka. Meminta komentar mereka akan suaraku, serta mengajariku alat musik. Hanya entahlah, meski mereka menyatakan menyanggupi, dengan cara yang sangat sopan malah, kesempatan belajar alat musik itu belum pernah kesampaian. Mungkin saja memang aku sendiri yang memilih mengotak-atik dan belajar sendiri. Barangkali karena aku pun cenderung agak pendiam, meski bukan seorang yang tertutup.

Dengan kata lain, aku belajar memainkan alat-alat music secara otodidak. Kira-kira perlu waktu setahun sebelum akhirnya aku bisa mengiringi nyanyianku dengan bunyi harmonis hasil kerja jemariku yang berlarian di atas tuts-tuts keyboard. Hasil kerja keras yang panjang, yang diawali sehari setelah ayah membelikan keyboard itu. Benar, karena sehari setelah keyboard itu menjadi milik kami, aku seolah menafikan mainan-mainan lain dari kotak mainan kami. Hari-hariku dipenuhi dengan upaya bagaimana membuat keyboard itu menghasilkan bunyi-bunyian yang indah dan nikmat, bukan kebisingan yang keluar akibat hentakan jari yang berlompatan tak keruan dari tuts ke tuts.

Sepekan kemudian, aku sudah bisa memainkan nada-nada sederhana yang kudengar dari radio atau pun pesawat televisi. Kakakku sempat bercerita saat aku beranjak remaja. “Waktu kau kecil, kau jarang sekali memberi kami kesempatan untuk mencoba memainkan keyboard itu. Tetapi sedikit sifat egoismu itu ternyata sungguh berguna. Kau cepat menguasai alat musik itu, untuk seorang bocah otodidak.”

Setelah setahun aku mulai berani mengiringi siapa pun yang mau menyanyi. Aku bahkan berani meminta ayah menyanyi dan mengiringinya dengan permainan keyboardku. Saat-saat itu aku melihat ayah begitu bahagia. Timbul dalam hatiku keinginan untuk menjadi seperti ayah saat dewasa. Menjadi seorang penyanyi. (Bersambung)

Sumber: inilah.com

Subscribe to receive free email updates: