Ibu kota Belanda, Amsterdam. |
"Mereka mengagumi nilai-nilai kesopanan yang diajarkan guru Indonesia di sekolah kepada siswa sehingga terbangun sikap menghormati guru dan orang-orang yang lebih tua usianya," kata seorang guru Sekolah Indonesia Nederland (SIN), Djena Roehoeputy di Delft, Belanda, Ahad (21/9).
Dia menjelaskan, beberapa waktu lalu dirinya bersama siswa SIN mengadakan kunjungan ke dua sekolah menengah Atheneum di kota Eindhoven, Belanda, yakni Stedelijk College dan Heerbeeck College. Atheneum merupakan tingkatan tertinggi pada sekolah menengah di Belanda setelah siswa menamatkan pendidikan dasar selama delapan tahun.
Jumlah siswa yang belajar di sekolah menengah ini kira-kira satu per lima dari total jumlah siswa menengah di Belanda. Para siswa belajar selama enam tahun, dan setelah lulus dapat langsung mendaftar ke universitas. Djena mengatakan, pada kunjungan tersebut para siswa SIN berkesempatan untuk menjelaskan mengenai Indonesia meliputi kondisi geografi, sosial dan budaya, serta bagaimana pendidikan di tanah air berjalan.
"Guru dan siswa di Stedelijk College dan Heerbeeck College sangat antusias dengan penjelasan para siswa SIN. Mereka banyak bertanya," kata Djena.
Seorang siswa SIN, Nadia Delfi Zafira mengatakan para siswa sekolah menengah Belanda tersebut tertarik mengenai transportasi umum di Indonesia, khususnya yang biasanya digunakan para siswa untuk berangkat ke sekolah. "Saya jelaskan bahwa siswa di Indonesia berangkat ke sekolah bisa dengan kereta, bis, angkot, becak, bajaj, bahkan ojek,? katanya
Para siswa Belanda tersebut juga terkejut saat mendengar penjelasan mengenai nilai tukar mata uang Rupiah dan Euro, dan perbandingannya ketika dipakai dalam transaksi. "Mereka kaget waktu saya bilang dengan satu Euro yang nilai tukarnya sekitar lima belas ribu rupiah bisa membeli satu porsi nasi goreng di Indonesia," kata Nadia.
Berkaitan dengan pendidikan di Indonesia, Djena mengatakan, para guru Belanda kagum atas pendidikan moral yang diajarkan di sekolah Indonesia, yang tidak dimiliki sekolah Belanda. Pendidikan moral tersebut seperti budaya memanggil guru dan orang yang lebih tua dengan sebutan tertentu, bukan hanya nama, serta budaya mencium tangan guru sebagai tanda hormat.
Selain itu, mereka juga mengagumi upaya siswa Indonesia untuk terus belajar walaupun fasilitas di sekolah terbatas, terutama yang berada di daerah pelosok. "Mereka kagum dengan banyaknya jumlah mahasiswa Indonesia yang belajar pendidikan master dan doktoral di universitas-universitas di Belanda, walaupun harus membayar uang sekolah yang sangat mahal. Menurut mereka ini adalah keseriusan masyarakat Indonesia dalam menuntut ilmu," ujar Djena. (ROL/kabarpapua.net)