Kasus Bali Nine, Mayoritas Warga Australia Dukung Eksekusi Mati Warganya

Cara Australia Sikapi Warga yang Terancam Dieksekusi RI
Terpidana mati Bali Nine, Andrew Chan dan Myuran Sukumaran. (Reuters)

Jajak pendapat yang dilakukan lembaga riset Australia, Roy Morgan, memperlihatkan bahwa mayoritas publik Australia, menilai mereka yang divonis mati terkait perdagangan narkotika di negara lain harus dieksekusi.

Dikutip laman Roy Morgan, Kamis, 29 Januari 2015, sebanyak 52 persen publik Australia mendukung eksekusi atas warga Australia yang divonis hukuman mati di negara lain, sementara 48 persen tidak mendukung.

Mayoritas lebih besar atau sekitar 62 persen, menganggap pemerintah Australia tidak perlu bertindak lebih banyak untuk menghentikan eksekusi Myuran Sukumaran dan Andrew Chan. Hanya 38 persen yang berpendapat sebaliknya.

Jajak pendapat dilakukan dengan responden sebanyak 2.123 orang antara 23-27 Januari 2015. Hasil analisa atas jajak pendapat, mengungkap bahwa 63 persen pemilih Liberal dan 69 persen nasionalis mendukung eksekusi mati.

Berdasarkan jenis kelamin, mayoritas responden pria mendukung eksekusi mati dan wanita menentangnya. Analisa berdasarkan usia, memperlihatkan mereka yang berusia di bawah 35 tahun menentang eksekusi.

Sementara publik Australia berusia 35-49 tahun adalah yang paling banyak mendukung eksekusi mati. Berdasarkan wilayah, hampir semua negara bagian kecuali Victoria, mendukung eksekusi mati warga negara Australia di negara lain.

Terkait dengan penanganan pemerintah dalam menanggapi eksekusi mati dua gembong Bali Nine, secara umum responden berpikir pemerintah Australia tidak perlu melakukan tindakan lebih besar untuk menghentikan eksekusi.

Pria atau wanita, pemilih semua partai, serta segala tingkat usia mengeluarkan pendapat yang sama soal tindakan pemerintah itu.

Kritikan Terhadap Sejumlah Kalangan Yang Menolak Eksekusi

Jurnalis dan tokoh media Australia, Derryn Hinch, mengunggah sebuah video mengkritik para selebriti setempat yang berpartisipasi dalam kampanye '"I Stand for Mercy." Ini ditujukan sebagai protes atas rencana eksekusi mati dua warga negara Australia di Indonesia.

Dikutip Daily Mail, Selasa, 27 Januari 2015, Derryn menyebut para selebriti itu bersikap hipokrit. Dia pun mendeklarasikan dukungannya atas hukuman mati di Australia. Penyiar radio dan presenter televisi itu tidak memberikan simpati pada Myuran Sukumaran dan Andrew Chan.

Menurut Derryn, dua pentolan kelompok penyelundup narkotika itu, yang terkenal dengan jaringan Bali Nine, lari dari resiko yang harus mereka hadapi saat berusaha menyelundupkan heroin ke Indonesia satu dekade lalu.

"Orang-orang seperti Alan Jones, Germaine Greer, Asher Keddie, David Wenham, mereka semua berbaris dan ikut menandatangani dan saya pikir itu hipokrit," kata Derryn dalam rekaman video yang diberinya judul 'Derryn Hinch tentang Eksekusi Bali Nine.'

Dia menegaskan bahwa Chan dan Sukumaran sadar sepenuhnya, tentang resiko yang bakal mereka hadapi jika tertangkap menyelundupkan narkotika di Indonesia. "Sama seperti di China, Malaysia, Thailand, Vietnam, itu resiko yang Anda hadapi," ujarnya.

Derryn pun memperluas kecamannya dengan mempertanyakan sikap para penentang eksekusi Bali Nine, apakah mereka juga mengeluarkan sikap yang sama bagi warga negara Brazil atau Belanda yang dieksekusi di Indonesia, Minggu, 18 Januari 2015.

"Apakah Anda menentang hukuman mati bagi para teroris?" kata Derryn, menambahkan bahwa dia yakin 75 persen publik Australia akan mendukung pelaksanaan hukuman mati di negara itu, untuk beberapa jenis kejahatan.

Standar Ganda

Profesor hukum Universitas New York Philip Alston, yang juga saudara mantan Menteri Komunikasi Australia Richard Alston, menyebut Australia menyatakan keberatan atas hukuman mati terkait narkotika, hanya jika warga Australia terlibat.

Posisi itu disebutnya kontra produktif, membuat Australia terbuka pada tuduhan standar ganda, dengan membiarkan satu negara mengekskusi warga mereka atau warga negara lain, tapi jangan melakukannya para warga Australia.

Kolumnis Australia Daniel Hoare dalam artikelnya di The Monthly, memberi contoh tidak konsistennya Australia merujuk pada vonis mati pelaku Bom Bali, Amrozi dan Imam Samudra. Pemerintah dan oposisi Australia satu suara, untuk tidak menolak dilakukannya eksekusi mati.

Saat vonis mati dijatuhkan pada 2003, mayoritas publik Australia terutama keluarga para korban Bom Bali, merasa lega. Pada Agustus 2003, jajak pendapat di Australia memperlihatkan 56 persen bahkan setuju hukuman mati diterapkan di Australia untuk teroris.

PM Australia John Howard saat itu, mengatakan tidak akan meminta pemerintah Indonesia mempertimbangkan kembali eksekusi mati, karena menghormati proses hukum di Indonesia. Howard juga menyebut hukuman mati pantas bagi para teroris.

"Faktanya adalah Amrozi melakukan kejahatan di wilayah Indonesia dan dia diadili di bawah sistem peradilan Indonesia. Saya tidak akan mempertanyakan keputusan mereka," kata Simon Crean, pemimpin oposisi Australia.

Chan dan Sukumaran juga melakukan kejahatan di Indonesia, dengan menyelundupkan narkotika. Mereka diadili menurut hukum yang berlaku di Indonesia. Tidak ada alasan bagi Australia untuk bersikap berbeda antara kasus Bali Nine dan Bom Bali.


Strategi

Laman Guardian, Selasa, 27 Januari 2015, menyebut Perdana Menteri Australia Tony Abbott telah berbicara secara personal dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi), tapi pemerintahnya tidak akan mengeluarkan pernyataan terbuka.

Pemerintah Australia belakangan ini cenderung berhati-hati untuk tidak mengkritik Indonesia terlalu keras. Mereka menerapkan strategi mantan Duta Besar Australia untuk Indonesia, Richard Woolcott, untuk tidak memberikan tekanan berlebihan.

Mereka khawatir melakukannya karena akan beresiko merusak harapan bagi dua warga negaranya. Setelah Jokowi menolak grasi yang diajukan Andrew Chan dan Myuran Sukumaran, keduanya disebut akan dieksekusi selambatnya pekan kedua Februari.

"Saya selalu yakin bahwa tanpa memberikan tekanan publik, hasil lebih mungkin dicapai jika negosiasi dilakukan secara privat dan tanpa publikasi," kata Woolcott. Setiap usaha untuk menekan, akan semakin membuat Indonesia sulit merubah posisinya.

Kasus eksekusi mati dinilai kompleks terkait dengan persoalan politik dan sejarah. Walau telah menjadi negara demokrasi yang berkembang cepat, namun intervensi asing masih menjadi isu yang sensitif di Indonesia.

Presiden Institut Indonesia yang berbasis di Australia, Ross Taylor, mengatakan eksekusi mati terpidana narkoba terkait dengan pertanyaan tentang ketegasan, bagi presiden Indonesia. Di mana musuh-musuh politiknya tengah mengintai semua tanda kelemahan.

"Jika dia memberi pengampunan pada Chan dan Sukumaran, bahaya yang nyata baginya adalah bahwa kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia mendapat tekanan dari negara besar. Dia akan terlihat sedang di-bully. Itu akan berarti dia menandatangani hukuman mati politiknya," kata Taylor.

Upaya Hukum

Sydney Morning Herald (SMH), Kamis, 29 Januari 2015, menulis dua warga negara Australia terpidana mati kasus narkoba telah mendapat sedikit harapan dari Pengadilan Denpasar, untuk mengajukan peninjauan kembali (PK).

Juru bicara pengadilan Denpasar, Hasoloan Sianturi yang dikutip SMH, mengatakan tergantung ketua Pengadilan Denpasar untuk memutuskan, apa yang akan dilakukan dengan permohonan peninjauan kembali Andrew Chan dan Myuran Sukumaran.

Hasoloan menyebut pengadilan akan mengizinkan PK didaftarkan di penjara Kerobokan, Bali, di mana dua warga Australia yang terkenal sebagai jaringan Bali Nine itu ditahan, menunggu eksekusi mati yang disebut akan dilaksanakan awal Februari.

Mahkamah Agung (MA) dan  Mahkamah Konstitusi (MK) disebut masih berbeda pendapat, tentang apakah PK dapat diajukan lebih dari satu kali jika ada bukti baru yang diajukan. Upaya PK yang dilakukan pada 2010 berakhir dengan kegagalan.

Namun Todung Mulya Lubis yang bertindak sebagai pengacara Chan dan Sukumaran, mengatakan hakim membuat kesalahan serius. Todung mengatakan MK menyatakan PK dapat dilakukan lebih dari satu kali, namun tergantung pada hakim apakah akan mengabulkannya.

Pakar hukum Asia dari Universitas Melbourne, Tim Lindsey, mengatakan Jaksa Agung tidak punya kewenangan untuk memutuskan, apakah PK kedua dapat diajukan. Lindsey menambahkan, walau MK memutuskan tidak ada batas untuk PK, tapi MK tidak memiliki kekuatan agar putusannya dapat diberlakukan.

"Ini merefleksikan persoalan konstitusional yang mereka miliki," ucap Lindsey.

Hubungan Bilateral

Duta Besar Indonesia untuk Australia, Nadjib Riphat Kesoema, mengaku telah menyiapkan langkah khusus untuk memberi penjelasan pada publik Australia tentang pengaruh buruk narkoba, jika eksekusi terhadap anggota Bali Nine dilaksanakan.

Dia menyebut data 4,5 juta orang yang meninggal akibat penyalahgunaan narkoba di Indonesia, yang setara dengan populasi Selandia Baru. Dia yakin publik Australia akan memahami tindakan tegas Indonesia dalam kasus narkoba.

"Berdasarkan informasi yang dipaparkan dalam editorial harian The Australian, lebih dari 50 persen warga Australia menyatakan agar siapa pun yang pergi ke luar negeri, termasuk ke Indonesia, maka mereka harus mematuhi aturan yang berlaku di negara penerima," kata Nadjib.

Walau begitu Nadjib mengatakan persoalan diplomatik sebagai dampak eksekusi mati, dengan penarikan duta besar seperti dilakukan Belanda dan Brasil, mungkin saja terjadi. "Sangat wajar pemerintah suatu negara membela warganya," ucap Nadjib.

Tapi Nadjib menyatakan keraguan terganggunya hubungan bilateral Indonesia-Australia, terkait eksekusi mati Sukumaran dan Chan. Kerjasama kedua negara, disebutnya terlalu berharga untuk dikorbankan hanya karena kasus Bali Nine.

"Kedua negara memiliki ribuan kerjasama yang dilakukan antar pemerintah, bisnis dan universitas. Bahkan, kerjasama sudah dilakukan antar sektor. Jadi, sudah antar bidang pelabuhan, rumah sakit, universitas dan lain-lain," papar Nadjib. (ren/viva/kabarpapua.net)

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Kasus Bali Nine, Mayoritas Warga Australia Dukung Eksekusi Mati Warganya"

Post a Comment