Tak Penuhi Panggilan Karena Ajukan Praperadialan, Bupati Morotai Dijemput Paksa Penyidik KPK

 
KPK menilai Bupati Morotai, Maluku Utara, Rusli Sibua tak kooperatif dalam proses penyidikan suap terhadap hakim Mahkamah Konstitusi pada sidang sengketa Pilkada Morotai 2011.

Kepala Bagian Pemberitaan dan Publikasi KPK Priharsa Nugraha mengatakan, Rusli kerap beralasan untuk tidak memenuhi panggilan penyidik. Salah satunya dengan dalih sedang mengajukan gugatan praperadilan. "Alasan itu tidak patut," kata Priharsa, kemarin.

Oleh karena penyidik menganggap Rusli bersikap tidak koperatif, KPK melakukan upa­ya jemput paksa terhadap Bupati Morotai periode 2011-2016 tersebut.

"Kemarin siang penyidik KPK melakukan penjemputan paksa terhadap tersangka RS, jadi yang bersangkutan dijemput untuk dilakukan pemeriksaan sebagai tersangka," kata Priharsa.

Penjemputan itu dilakukan karena dalam dua panggilan, yaitu pada 2 dan 7 Juli 2015, Rusli tidak datang dengan alasan sedang membuat laporan tentang saksi-saksi yang memberikan keterangan tidak benar, dan se­dang mengajukan permohonan praperadilan.

Meskipun ketidakhadiran tersebut disertai keterangan, tapi penyidik menganggap alasan tersebut tidak layak dan patut. Sehingga, penyidik merasa perlu melakukan penjemputan paksa terhadap Rusli. "Ini panggilan ketiga, jadi dilakukan pemang­gilan ketiga dengan disertai surat perintah penjemputan."

Sesuai KUHAP, katanya, jika seorang tersangka atau sese­orang dipanggil tidak hadir tanpa memberikan keterangan, atau memberikan keterangan tapi dianggap tidak patut, maka pe­nyidik dapat memanggil kembali yang bersangkutan disertai surat perintah penjemputan.

Priharsa menambahkan, da­lam upaya penjemputan itu, Rusli tidak melakukan perla­wanan. Sebelumnya, pengacara Rusli, Ahmad Rifai, meminta penyidik KPK menunda penyidi­kan hingga putusan praperadilan yang dibacakan pekan depan.

"Klien kami sedang menga­jukan praperadilan dan KPK juga harus menghormati proses hukum tersebut," kata Ahmad Rifai ketika dikonfirmasi.

Rusli enggan menjalani pemeriksaan pada pemanggilan pertama Kamis pekan lalu. Rusli juga urung menyambangi Gedung KPK di Jakarta, Selasa lalu. Rusli menuding saksi-saksi lain yang telah diperiksa komisi antirasuah justru memberikan keterangan tidak benar.

Rusli tiba di Gedung KPK menumpang mobil operasional pe­nyidik berjenis Kijang berwarna silver, yang diiringi dua mobil berjenis sama di belakangnya.

Rusli tiba di Gedung KPK sekitar pukul 13.30 WIB. Namun, takbanyak komentar yang ter­lontar dari pria yang mengena­kan kemeja berkelir biru itu. Dia langsung masuk ke dalam gedung dengan melempar senyum kepada awak media.

Seperti diketahui, dalam amar putusan Akil, duit suap sebanyak Rp 2,98 miliar diserahkan Rusli untuk memuluskan sengketa Pilkada di Morotai.

Rusli tak terima Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Morotai menetapkan rivalnya, Arsad Sardan dan Demianus Ice, sebagai pemenang. Setelah transaksi suap, versi KPK, ma­jelis hakim memutuskan Rusli menjadi pemenang Pemilihan Bupati Morotai.

Rusli disangka melanggar Pasal 6 ayat 1 huruf a UU Nomor 31 Tahun 1999, sebagaimana di­ubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor, juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Kilas Balik
Dalami Suap Sengketa Pilkada Morotai Penyidik KPK Periksa Panitera MK


Pada Jumat (26/6), KPK menetapkan Bupati Morotai Rusli Sibua sebagai tersangka. Rusli disangka menyuap Akil Mochtar selaku hakim MK untuk memenangkan sengketa Pilkada Morotai 2011.

Rusli jadi tersangka setelah KPK melakukan pengembangan penyidikan. Yakni, setelah KPK menerima salinan putusan Akil yang sudah berkekuatan hukum tetap. Dalam putusan itu, Akil menerima hampir Rp 3 miliar dari Rusli.

Kemudian, KPK mendalami kasus suap penanganan seng­keta Pilkada Morotai, Maluku Utara ini. Upaya itu, dibangun penyidik antara lain dengan me­manggil Panitera MK Kasianur Sidauruk sebagai saksi untuk Bupati Morotai Rusli Sibua (RS), tersangka penyuap bekas Ketua MK Akil Mochtar.

Kepala Bagian Pemberitaan dan Publikasi KPK Priharsa Nugraha membenarkan, pihaknya melakukan pemeriksaan terh­adap Kasianur. Pemeriksaan itu guna melengkapi pemberkasan perkara Rusli.

"Iya benar, dia dipanggil sebagai saksi untuk RS," kata Priharsa, Rabu (1/7).

Dia belum bisa memastikan, apakah Kasianur terlibat dalam kasus tersebut. Dia menjelaskan, setiap saksi yang dipanggil peny­idik belum tentu bisa dikatakan terlibat atau tidak terlibat.

"Yang jelas, setiap saksi yang dipanggil, punya informasi yang dibutuhkan penyidik," tegasnya.

Kasianur memenuhi panggilan penyidik siang hari, tapi tak ada komentar yang dilontarkan­nya. Pria yang mengenakan kemeja batik lengan panjang berkelir biru itu, hanya melempar senyum kepada awak media, seraya memasuki ruang steril Gedung KPK.

Selang satu setengah jam kemudian, Kasianur keluar ruang penyidikan. Dikonfirmasi soal pemeriksaannya kali ini, Kasianur menjawab, penyidik mengorek informasi mengenai proses penanganan sengketa Pilkada Morotai di MK.

"Saya diperiksa lanjutan saja seperti yang dulu," ucap Kasianur.

Pada akhir 2014, KPK pernah memeriksa Kasianur sebagai saksi kasus suap yang dilaku­kan Bupati Tapanuli Tengah, Bonaran Situmeang terkait seng­keta Pilkada Kabupaten Tapanuli Tengah tahun 2011.

Kala itu, usai diperiksa selama kurang lebih dua jam, Kasianur mengatakan, dirinya dimintai keterangan oleh penyidik mengenai tahapan persidangan di MK terkait kasus tersebut.

"Tahun 2011 itu, hanya tahapan persidangan saja. Tidak ada yang aneh, saya sampai­kan hanya sejauh itu," ujar Kasianur di Gedung KPK, Senin (15/12/2014).

Dia mengaku, persidangan di MK ketika itu, sudah sesuai dengan hukum acara persidangan yang telah ditentukan. "Atas kebijakan pimpinan ke­tika itu, sesuai pembagian tugas. Volume perkaranya masing-masing panel, tidak ada yang dipilih-pilih," ucapnya.

Kasianur memaparkan, ketika kasus itu terjadi, yang menjadi Ketua MK adalah Mahfud MD dan majelis hakimnya Ahmad Sodiki. "Tapi, kalau ditanya siapa saja yang dihadirkan, kita enggak tahu semuanya," ucapnya.

Tuntaskan Juga Dugaan Suap Sengketa Lain
Syarifuddin Sudding, Anggota Komisi III DPR
Politisi Partai Hanura, Syarifuddin Sudding mengapre­siasi langkah KPK menjemut paksa Bupati Morotai, Rusli Sibua.

Menurutnya, langkah tersebut sudah tepat dilakukan penyidik terhadap tersangka yang dinilai tidak kooperatif. Dia pun meminta KPK segera menindaklanjuti dugaan suap sengketa pilkada lain yang masih melibatkan bekas Ketua MK Akil Mochtar.

Sebab, menurutnya, kasus itu semakin lama dibiarkan akan semakin menimbulkan banyak persoalan baru. Seperti kemungkinan hilangnya para saksi dan barang bukti.

"Kasus-kasus itu hendaknya diprioritaskan penyelesaiannya. Jangan dibiarkan terbeng­kalai hingga waktu yang tidak jelas," katanya.

Dengan prioritas pengusutan tersebut, maka akan terdapat kepastian hukum bagi mereka yang diduga terlibat.

Dia mengharapkan, kecenderungan KPK yang menetapkan status tersangka pada banyak orang diimbangi dengan pena­hanan tersangka. "Jadi ada kejelasan sikap. Jangan biarkan para tersangka tersebut bebas berkeliaran," tandasnya.

Menurut dia, penahanan men­jadi hal yang memicu penyidik untuk segera menuntaskan perkara. Sebab, penahanan memiliki batas waktu. Apabila penyidik tak mampu menyelesaikan berkas perkara sesuai waktu yang diatur perundangan, praktis tersangka harus dibebas­kan. "Kalau begitu, penyidik harus menghentikan penyidi­kan perkara."

Jika penghentian perkara tersebut sering dilakukan peny­idik, otomatis kredibilitas KPK bisa dipertanyakan.

Dia pun menginginkan, penetapan status tersangka hendaknya dilakukan secara ekstra hati-hati. Hal itu dilakukan agar KPK tidak seenaknya menentu­kan status hukum seseorang.

"Ini untuk menghindari kesan bisa mempermainkan aturan hukum sesuai selera penyidik. Itu berbahaya bagi nasib penegakan hukum," tuntasnya.

Vonis Untuk Akil Jadi Peringatan Bagi Semua
Supriyadi W Eddyono, Direktur ICJR
Direktur LSM Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Supriyadi W Eddyono menilai, vonis seumur hidup yang di­jatuhkan hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta kepada Akil Mochtar, bisa menjadi peringatan bagi sia­papun yang ingin korupsi.

"Vonis Akil Mochtar tepat bila dilihat kasusnya terjadi saat dia menjabat sebagai hakim atau Ketua MK. Sebab, MK merupakan benteng tera­khir penegakan konstitusi dan sengketa pilkada di Indonesia," kata Supriyadi.

Dia mengatakan, Akil pantas dihukum beratnya, yaitu huku­man penjara seumur hidup. Sebab, sambungnya, bila MK tidak lagi dipercaya dan kredi­bel di mata publik, akan me­nyuburkan korupsi di sengketa pilkada.

Selain itu, bila MK tak lagi kredibel, dirinya memperkira­kan akan terjadi perusakan kehidupan bernegara yang justru dilakukan lingkaran paling elit penjaga moral dan keadilan.

"Kalau puncak pengadilan­nya saja korupsi, bagaimana dengan lapisan yang paling bawah. Bisa dibayangkan men­jadi kacau," tandasnya.

Marwah MK pun menjadi bu­ruk setelah bekas pimpinannya, Akil Mochtar terlibat sengkarut suap. Menurutnya, masyarakat terlanjur mendiskreditkan MK sebagai lembaga yang korup akibat perbuatan Akil.

Negara mengalami keru­gian yang sangat besar, yaitu berkurangnya kepercayaan publik kepada MK.

"Ini tak terhingga nilai keru­giannya." (RMOL)

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Tak Penuhi Panggilan Karena Ajukan Praperadialan, Bupati Morotai Dijemput Paksa Penyidik KPK"

Post a Comment