Terungkap Ada Permainan Isu Oleh Media dan Tokoh Seputar Pembakaran Masjid di Tolikara

Pembakaran masjid saat shalat Idul fitri 1436 di Papua (inet)
Pembakaran masjid saat shalat Idul fitri 1436 di Papua (inet)
Insiden intoleransi yang terjadi di Tolikara Papua pada hari Idul Fitri yang lalu mendapat perhatian penting masyarakat. Selain disesalkan, juga dikhawatirkan insiden itu meluas.
Lantas berbagai tokoh mengeluarkan pernyataan yang mencoba menyejukkan. Media massa juga berhati-hati memberitakan hal ini.
Hanya saja, ada banyak kejanggalan di sekitar kasus pembakaran masjid ini. Berita media massa maupun pernyataan tokoh bukannya meredakan masalah, malah menimbulkan kegaduhan baru.
1. MetroTV Mengubah Judul Berita
Maraknya informasi penyerangan jamaah sholat Idul Fitri di media sosial banyak merujuk kepada pemberitaan MetroTV. Saya pun mendapat informasi kerusuhan dari teman di media sosial yang memposting berita di MetroTV. Dari link berikut, MetroTV awalnya menulis judul, “Saat Imam Takbir Pertama, Sekolompok Orang Datang dan Lempari Musala di Tolikara”.
Sangat jelas pada judul berita akan adanya serangan yang ditujukan kepada jamaah sholat Ied. Namun selang beberapa lama, MetroTV mengubah judul berita yang tersebar kemana-mana itu menjadi “Amuk Massa Terjadi di Tolikara”.
Seperti ada yang ditutupi dari judul berita. Judul pertama lebih memancing perhatian masyarakat daripada judul kedua.
Awalnya saya sangat apresiasi dengan MetroTV yang berani mengabarkan insiden intoleransi di sana. Pasalnya, MetroTV tengah mendapat penilaian publik sebagai media pendukung pemerintah yang hanya mengabarkan yang baik-baik saja. Bahkan ada yang menuduh MetroTV anti Islam.
Namun pengubahan judul berita itu membuat apresiasi saya surut dan bahkan berbalik kecewa. Tak hanya saya, netizen pun banyak yang kecewa dan melampiaskannya di media sosial.
MetroTV Ganti Judul Berita Kerusuhan Tolikara
2. JK Menyalahkan Speaker
Wakil Presiden RI Jusuf Kalla membuat kehebohan baru. Di hadapan wartawan, beliau memberikan pernyataan yang terkesan menyalahkan speaker alih-alih sikap intoleransi Gereja Injil Di Indonesia (GIDI). Kesannya, umat muslim menjadi biang pemantik kerusuhan.
“Ya ada dua acara agak berdekatan di situ. Ada acara Idul Fitri ada pertemuan pemuka masyatakat gereja. Memang asal muasal soal speaker itu, mungkin butuh komunikasi lebih baik lagi untuk acara dua seperti itu,” ujarnya.
Padahal beberapa hari sebelum kejadian, GIDI mengeluarkan surat edaran yang sangat anti konstitusi: melarang umat agama lain melaksanakan ibadah. Tanpa menyinggung soal speaker, GIDI menginginkan umat Islam tak merayakan Idul Fitri.
Shalat Idul Fitri di tempat kerusuhan tepatnya dilaksanakan di lapangan Koramil 1702-11. Wajar saja di lapangan terbuka itu digunakan speaker, karena suara khotib dan imam sholat ingin didengar oleh jamaah.
Pernyataan JK ini tak meredakan masalah, malah memantik amarah umat muslim kepadanya.
3. Tempo Memposisikan Perusuh Sebagai Korban
Bukan Tempo namanya kalau tidak memframing berita di tengah hiruk pikuk ini. Di sebuah beritanya, ia pasang judul “Rusuh di Tolikara, Semua Korban Adalah Jemaat GIDI.”
Dari judul itu terkesan bahwa justru jemaat GIDI yang menjadi korban kerusuhan. Padahal pemicunya dari mereka. Ada inisiatif dari jemaat GIDI untuk menghentikan aktivitas sholat Idul Fitri dan mereka menghampiri komplek militer tempat sholat Ied digelar. Tentu saja selalu ada aparat yang berjaga di komplek militer. Ketika ada perusuh yang mencoba berbuat onar, tentu saja aparat bertindak.
Berita Tempo ini menafikan pemilik kios dan penghuni rumah yang terbakar. Menafikan umat muslim jamaah sholat Ied yang diserang. Sejatinya mereka adalah korban.
4. Pengalihan Ala Kompas
Lain lagi yang dilakukan kompas. Di link berikut yang tayang pada 17 Juli (pada hari h kerusuhan), Kompas menulis “Belasan Kios dan Rumah Warga Hangus Dibakar Massa Tak Dikenal.
Memang bukan seperti MetroTV yang mengubah judul, tapi dengan judul berita ini Kompas seperti menutup-nutupi peristiwa inti di tempat kerusuhan, yaitu penyerangan terhadap jamaah sholat Idul Fitri. Terbakarnya masjid pun tidak disebut dalam judul, meski sekilas diceritakan juga dalam tulisan.
5. Media Massa Menulis Mushalla, Bukan Masjid
Yang terbakar sejatinya adalah Masjid, bukan Mushada lla. Masjid itu bernama Darul Muttaqin. Pengertian di masyarakat, Mushalla lebih kecil daripada Masjid meski fungsinya sama. Dengan pemilihan diksi ini, seakan beberapa media mencoba mereduksi masalah. Namun salut buat Republika yang konsisten menyebut Masjid.
6. Pernyataan Luhut: Yang Dibakar Kios, Bukan Mushalla
Pernyataan Kepala Staff Kepresidenan, Luhut Binsar Panjaitan ikut membuat gaduh. Dalam pernyataannya, ia mencoba meyakinkan publik bahwa Masjid tidak menjadi sasaran pembakaran. Melainkan, kios dan rumah lah yang dibakar perusuh. Hanya saja, karena letaknya berdekatan, maka masjid ikut terbakar.
Pernyataan ini bisa dipahami, terlepas benar atau tidaknya. Namun memancing rasa gemas bagi sebagian pihak, terutama yang tidak mempercayai pernyataan tim sukses Jokowii ini. Karena aroma pengalihan masalah terasa jelas. “Bagaimana mungkin kios dan masjid berdekatan, namun yang dibakar massa hanya kios yang mengitari masjid?” bantah seorang teman.
Penutup, mungkin ada beberapa hal lagi yang dimainkan oleh secara cerdik oleh media massa dalam kasus ini. Selalu menarik melihat bagaimana media massa menyusupkan opini dalam pemberitaan, atau mengalihkan suatu masalah. Saya percaya tak ada media yang bebas kepentingan.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Terungkap Ada Permainan Isu Oleh Media dan Tokoh Seputar Pembakaran Masjid di Tolikara"

Post a Comment