Tidak etis jika seorang gubernur maju sebagai calon presiden namun tidak mundur dari jabatannya. Hal ini diungkapkan oleh ahli sosial politik dari Universitas Indonesia, Ubedilah Badrun.
"Secara etika politik kepala daerah yang mencalonkan diri sebagai
presiden seharusnya mundur dari jabatannya sehingga menjamin adanya
kepastian hukum," kata Badrun saat memberi keterangan sebagai ahli dalam
sidang pengujian UU No.42/2008 tentang Pilpres di Mahkamah Konstitusi,
Jakarta, Rabu.
Menurut dia, kelekatan jabatan gubernur dan praktik kampanye pemilu
presiden tampak terlihat dan memungkinkan adanya keuntungan pribadi dan
konflik kepentingan.
Merujuk dari perspektif Andrew Stark yang menekankan pentingnya etika
politik di mana seorang pejabat politik harus memenuhi keinginan publik
yang memilihnya dan tidak memanfaatkan jabatannya untuk kepentingan
pribadi, Ubedilah menegaskan perlunya kepala daerah meninggalkan
jabatannya sebelum maju menjadi calon presiden.
Ia mengatakan hal ini berkaitan erat dengan keputusan strategis yang
harus diambil oleh seorang kepala daerah, dalam hal ini Jakarta, untuk
memenuhi ekspektasi rakyatnya mengenai kesejahteraan di daerah tempat
dia memimpin.
Selain itu, kata Ubedilah, dalam perspektif etika politik Indonesia
yang berbasis pada nilai-nilai moral Pancasila, UUD 1945, dan sejumlah
undang-undang di antaranya UU 32/2004 yang mengikat seorang gubernur,
hakikat menduduki jabatan gubernur adalah menjalankan amanat rakyat yang
memilihnya dan menaati undang-undang yang mengikatnya.
Oleh karena itu, lanjut dia, secara intitusional dan secara etika
politik, Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo dalam pencalonannya sebagai
calon presiden 2014 yang tidak mengundurkan diri dari jabatannya sebagai
gubernur adalah tindakan dan sikap politik yang tidak etis dan tidak
patut dicontoh oleh seluruh rakyat Indonesia.
"Sikap tidak mundur dari jabatan gubernur yang dilakukan Joko Widodo
yang mencalonkan diri sebagai calon presiden 2014 adalah sikap yang
merusak pembangunan demokrasi," tegas Direktur Pusat Studi Sosial
Politik Indonesia itu.
Pengujian UU Pilpres ini diajukan oleh dua warga Jakarta, yakni Yonas
Risakotta dan Baiq Oktaviany, yang mempersoalkan nonaktifnya Gubernur
DKI Jakarta Joko Widodo setelah mendapat izin Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono sebagai calon peserta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden
(Pilpres) 2014.
Kedua pemohon sebagai warga Jakarta yang punya hak pilih dalam
Pilkada DKI Jakarta 2012 merasa dirugikan karena Jokowi maju sebagai
calon presiden.
Yonas Risakotta dan Baiq Oktaviany ini menguji Pasal 6 ayat (1) dan Pasal 7 UU Nomor 42 Tahun 2008.
Pasal 6 ayat (1) menyebutkan pejabat negara yang dicalonkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik sebagai calon Presiden atau calon Wakil Presiden harus mengundurkan diri dari jabatannya.
Pasal 6 ayat (1) menyebutkan pejabat negara yang dicalonkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik sebagai calon Presiden atau calon Wakil Presiden harus mengundurkan diri dari jabatannya.
Sedangkan Pasal 7 ayat (1) menyebut gubernur, wakil gubernur,
bupati/wali kota, wakil wali kota/wakil bupati yang mencalonkan diri
sebagai presiden atau wakil presiden harus minta izin presiden sebagai
syarat pencalonan. (ROL/kabarpapuanet)
0 Response to "Ahli: Tak Etis Gubernur Nyapres tidak Mundur"
Post a Comment