![]() |
Antrian BBM (Antara Foto) |
Oleh: Berly Martawardaya (Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia)
Alkisah ada sebuah negara kaya dengan
minyak, gas, dan batu bara. Produksi minyaknya mencapai 2,7 juta barel
per hari. Tiga belas kilang minyak di negara tersebut sedang ditambah
sehingga pada tahun 2020 dapat mengolah 3,1 juta barel minyak per hari.
Walaupun jumlah penduduknya besar, negara tersebut masih melakukan
ekspor secara signifikan. Perusahaan minyak nasional negara itu adalah
perusahaan rankingke-34 terbesar dunia dari Global Fortune 500,
mengalahkan BP dan Texaco. Perusahaan tersebut mengelola ladang minyak
di 27 negara dengan profit tahun lalu naik 26,9% menjadi USD21,1 miliar
sehingga menjadi perusahaan dengan keuntungan paling besar di benuanya.
Perusahaan minyak nasional tersebut tidak hanya mengelola energi
fosil, tapi juga etanol dan sumber energi terbarukan lainnya. Berbasis
lahan tebu yang luas dan sejarah industri gula yang panjang, dibangunlah
infrastruktur pengolahan gula untuk mengkonversinya menjadi etanol yang
komprehensif sehingga menjadikan negara tersebut sebagai produsen
terbesar etanol di dunia yang bahkan mengalahkan Amerika Serikat. Saat
ini dari 10 juta mobil di negara tersebut menggunakan konverter sehingga
dapat menggunakan etanol yang lebih ramah lingkungan.
Ketahanan Energi
Apakah yang diceritakan di atas adalah Indonesia dan Pertamina di
tahun 2025 setelah program percepatan pembangunan ekonomi berhasil
dijalankan? Salah! Paragraf awal tulisan ini mendeskripsikan Brasil dan
Petrobras pada 2011. Petrobras didirikan pada 1953, hanya lebih dahulu
empat tahun dari Pertamina. Sementara Brasil mengalami surplus energi
dan saat ini berstatus net-exporter, Indonesia menjadi net-importer
minyak dan keluar dari OPEC. Defisit perdagangan minyak meningkat empat
kali lipat dari USD4,02 miliar pada 2009 menjadi USD16,3 miliar di 2011.
Lalu, bagaimana cara menguatkan ketahanan dan daya saing sektor energi Indonesia?
Pertama, penguatan Pertamina dan Perusahaan Gas Negara (PGN) sebagai
perusahaan minyak dan gas nasional. Prioritas pengelolaan cadangan migas
perlu diberikan pada perusahaan nasional kecuali memerlukan teknologi
atau keterampilan tinggi yang tidak dimiliki sumber daya lokal.
Petrobas memegang hak monopoli eksplorasi dan produksi serta
aktivitas terkait, termasuk penjualan, distribusi ritel dan produk
derivatifnya di Brasil selama 1954 sampai 1997.Kompetisi dibuka untuk
perusahaan asing ketika Petrobras sudah kuat dan justru akan memacu
efisiensinya. Contoh ini mengajarkan bahwa untuk membangun ketahanan
energi, tidak berarti perlu dilakukan nasionalisme dari perusahaan migas
asing yang sudah beroperasi di Indonesia. Namun demikian, kasus seperti
Blok Cepu ketika kapasitas Pertamina untuk mengelola sangat mencukupi,
namun hak pengelolaan justru diberikan pada perusahaan asing, hendaknya
tidak terjadi lagi. UU 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi yang
melemahkan Pertamina dan PGN perlu dikaji ulang. Tentunya semua
kebijakan tersebut perlu disertai dengan peningkatan efisiensi business process di Pertamina dan PGN serta pengawasan ketat terhadap korupsi.
Peraturan Presiden 5/2006 tentang Kebijakan Energi Nasional
menetapkan bahwa pada 2025 hanya 20% dari total konsumsi energi nasional
2025 berasal dari minyak, 30% dari gas,dan 33% dari batu bara.
Celakanya data Kementerian ESDM 2010 menunjukkan bahwa minyak bumi masih
merupakan sumber energi terbesar dengan 46,9% disusul batu bara (26,4)%
dan gas (21,3%) Mewujudkan Perpres 5/2006 membutuhkan peningkatan
signifikan produksi gas.
Masalahnya, data BP Migas menunjukkan bahwa dari hampir 10.000 BBTUD
yang diproduksi Indonesia, hampir setengahnya sudah terikat kontrak
untuk di ekspor dengan tujuan utama ke Jepang (67%), Korea Selatan
(16%), Taiwan (14%),dan China (2,7%).
Pola perdagangan gas cukup menarik. Ekspor meningkat dua kali lipat
dari USD9,8 miliar pada 2009 menjadi USD18 miliar pada 2011, tapi impor
gas meningkat empat kali lipat dari USD438 juta menjadi USD1,62 miliar
pada periode yang sama. Indikasinya adalah industri terpaksa mengimpor
karena tidak dapat pasokan dari gas Indonesia yang sudah dikontrak
negara lain. PLN juga sudah berulang kali berteriak untuk menambah
pasokan gasnya. Kondisi ini ibarat ikan yang mati kehausan dalam air!
Cadangan gas di Kalimantan, Sulawesi, dan Papua masih melimpah,namun
tiadanya pipa gas menuju Jawa menjadikan kapal—dengan waktu tempuh lama
dan kalah efisien— sebagai medium utama transportasi.
Selanjutnya, kita harus mendorong energi terbarukan.
Pada tahun 2010, energi air hanya 3,3% dan geotermal hanya 1,5% dari
energi mixnasional. Masih jauh dari target di Perpres 5/2006 untuk 5%
geotermal dan 5% terbarukan. Etanol memiliki potensi tinggi mengingat
produksi gula dan ubi kayu Indonesia yang tinggi. Sementara energi surya
masih belum terdengar di Indonesia, walaupun kita berada di garis
khatulistiwa dengan sinar matahari sepanjang tahun.
Kebijakan Arnold Schwarzenegger sebagai Gubernur California yang
sangat mendorong kemajuan energi terbarukan, patut ditiru di Indonesia.
Mantan aktor laga itu mendorong mobil listrik, menyubsidi sebagian biaya
pemasangan solar cell di rumah penduduknya dan penggunaan smart grid,
sehingga pemilik rumah dapat menjadi net-produsen listrik dan menjual
kelebihannya berperan besar dalam peningkatan penggunaan energi surya.
Kenaikan BBM tidak akan memiliki dampak ekonomi sebesar sekarang bila
sejak dekade lalu dilakukan penguatan PGN dan Pertamina, kita
prioritaskan gas kita untuk pasar domestik, kita bangun infrastruktur
migas, dan kita dorong tumbuh serta berkembangnya sumber energi
terbarukan. Lirik lagu Koes Ploes menyatakan bahwa tanah kita tanah
surga. Penulis setuju. Tanah Indonesia tidak kekurangan energi, hanya
orang yang hidup di atasnya miskin strategi serta implementasi.
Sumber: Selasar.com
0 Response to "Negeri Minim Strategi Energi (Kolom)"
Post a Comment