Di waktu-waktu seperti itu kadang aku mengkhayalkan ada
seorang teman baru duduk di samping kursiku, dan aku akan berkata
kepadanya,” Itu ayahku. Keren, kan?”
Tetapi ketika kejadian itu nyata, saat seorang gadis cilik sepantaranku duduk di kursi sebelahku pada sebuah pesta keluarga, kalimat itu tak pernah kuutarakan kepadanya. Bahkan namanya saja aku tak pernah tahu. Aku terlalu pemalu untuk memulai percakapan. Bahkan untuk menyodorkan tangan, mengajaknya berkenalan.
Pengalaman yang terhimpun selama menyaksikan ayah berpentas itu akhirnya mengkristal menjadi minat. Mungkin saja, ada pula sedikit tetesan bakat yang diturunkan ayah kepadaku. Bukan ge er, tetapi ayah sendiri yang bilang padaku bahwa aku menuruni bakatnya.
Pujian itu datang saat tanpa sengaja kunyanyikan sebuah lagu ayah. Berulang-ulang, karena aku begitu menyukai lagu itu. Syairnya mungkin banyak yang tak tepat, atau tertukar tempat. Tapi lagunya, saat itu aku begitu yakin, sudah kunyanyikan dengan benar. Keyakinan seorang bocah, karena saat itu usiaku bahkan belum lagi genap empat tahun. Aku masih cadel untuk melafalkan bunyi ’er’, bahkan.
”Hei, Maher, kau bisa menyanyi, rupanya,” kata ayah. Beliau tampak sangat girang. Aku tersenyum. Bagiku itu tak lagi pujian seorang ayah kepada putranya. Itu pujian seorang biduan pujaan kepada seorang pengagumnya. Itu lain sekali artinya bagiku, meski memang dari mulut ayah-ayah juga kalimat pujian itu terlontar.
”Kamu berlatih baik-baik ya, Nak. Belum perlu waktu khusus. Menyanyilah di mana pun kamu berada. Menyanyi tak sekadar membuat pita suaramu kuat dan perkataanmu menjadi lebih jelas. Menyanyi juga bisa menyegarkan jiwamu. Percayalah,” kata ayah.
Sejak itulah kemudian, di antara kawan-kawan sepermainan aku dikenal sebagai Maher si penyanyi. Itu karena aku benar-benar tak memandang waktu dan tempat. Bila dorongan dari dalam diriku mendesakku untuk menyanyi, aku pun menyanyilah. Itu bisa saat kami bermain mobil-mobilan, misalnya. Kalau sambil menikmati perjalanan pulang sekolah, tak perlu kuceritakan.
Aku selalu bernyanyi, minimal bergumam sendiri menyanyikan lagu-lagu yang sempat kudengarkan. Tentu kebanyakan lagu-lagu ayah. Jangan tanya soal liriknya. Toh aku merasa sudah mendapatkan kesegaran jiwa sebagaimana dikatakan ayahku, hanya dengan menggumamkan lagu-lagu itu. Yang rasanya belum pernah kulakukan hanya bernyanyi saat main petak umpet saja.
Tetapi momen pertamaku di panggung adalah saat aku berusia lima tahun. Atas dorongan ayah, tentu. Tanpa memberitahuku sebelumnya. Hanya dua pekan sebelum hari ’H’ itu, ayah memang lebih kerap bertemu denganku. Ia juga mengajarkan lagu-lagu yang belum pernah kudengar sebelumnya. Liriknya pun lebih cenderung lirik lagu anak-anak. Sepekan kemudian, setelah aku berhasil menghafal dua lagu yang ia berikan, ia memintaku menyanyikannya. Berulang-ulang. Kali ini dengan iringan papan musik itu.
Aku senang sekali. Beda benar rasanya menyanyi tanpa iringan musik apa pun dengan bernyanyi diiringi bunyi indah yang keluar dari perkakas musik tersebut. Mungkin karena aku pun menikmatinya, aku tak mengalami kesukaran saat harus menyesuaikan irama laguku dengan bunyi-bunyi harmonis yang dihasilkan alat musik. Bagiku, dengan mengambil terma ayah, itu bahkan lebih menyegarkan jiwa.
”Ah, cukup. Kau bagus, Maher,” kata ayah. Besok ikut ayah, ya.” Aku hanya mengangguk senang.
Jadi tanpa diberitahu akan kemana dan untuk apa, hari itu kami berempat berangkat. Ternyata tujuan kami sebuah gedung pertemuan di kota kami, Tripoli. Di sanalah, dari pemberitahuan lewat loud speaker, dari hadirnya banyak anak yang-- seperti aku, dituntun orang tua mereka, aku tahu, aku tengah memasuki arena perlombaan menyanyi. Aku ternyata didaftarkan ayah untuk ikut berlomba.
Tetapi ketika kejadian itu nyata, saat seorang gadis cilik sepantaranku duduk di kursi sebelahku pada sebuah pesta keluarga, kalimat itu tak pernah kuutarakan kepadanya. Bahkan namanya saja aku tak pernah tahu. Aku terlalu pemalu untuk memulai percakapan. Bahkan untuk menyodorkan tangan, mengajaknya berkenalan.
Pengalaman yang terhimpun selama menyaksikan ayah berpentas itu akhirnya mengkristal menjadi minat. Mungkin saja, ada pula sedikit tetesan bakat yang diturunkan ayah kepadaku. Bukan ge er, tetapi ayah sendiri yang bilang padaku bahwa aku menuruni bakatnya.
Pujian itu datang saat tanpa sengaja kunyanyikan sebuah lagu ayah. Berulang-ulang, karena aku begitu menyukai lagu itu. Syairnya mungkin banyak yang tak tepat, atau tertukar tempat. Tapi lagunya, saat itu aku begitu yakin, sudah kunyanyikan dengan benar. Keyakinan seorang bocah, karena saat itu usiaku bahkan belum lagi genap empat tahun. Aku masih cadel untuk melafalkan bunyi ’er’, bahkan.
”Hei, Maher, kau bisa menyanyi, rupanya,” kata ayah. Beliau tampak sangat girang. Aku tersenyum. Bagiku itu tak lagi pujian seorang ayah kepada putranya. Itu pujian seorang biduan pujaan kepada seorang pengagumnya. Itu lain sekali artinya bagiku, meski memang dari mulut ayah-ayah juga kalimat pujian itu terlontar.
”Kamu berlatih baik-baik ya, Nak. Belum perlu waktu khusus. Menyanyilah di mana pun kamu berada. Menyanyi tak sekadar membuat pita suaramu kuat dan perkataanmu menjadi lebih jelas. Menyanyi juga bisa menyegarkan jiwamu. Percayalah,” kata ayah.
Sejak itulah kemudian, di antara kawan-kawan sepermainan aku dikenal sebagai Maher si penyanyi. Itu karena aku benar-benar tak memandang waktu dan tempat. Bila dorongan dari dalam diriku mendesakku untuk menyanyi, aku pun menyanyilah. Itu bisa saat kami bermain mobil-mobilan, misalnya. Kalau sambil menikmati perjalanan pulang sekolah, tak perlu kuceritakan.
Aku selalu bernyanyi, minimal bergumam sendiri menyanyikan lagu-lagu yang sempat kudengarkan. Tentu kebanyakan lagu-lagu ayah. Jangan tanya soal liriknya. Toh aku merasa sudah mendapatkan kesegaran jiwa sebagaimana dikatakan ayahku, hanya dengan menggumamkan lagu-lagu itu. Yang rasanya belum pernah kulakukan hanya bernyanyi saat main petak umpet saja.
Tetapi momen pertamaku di panggung adalah saat aku berusia lima tahun. Atas dorongan ayah, tentu. Tanpa memberitahuku sebelumnya. Hanya dua pekan sebelum hari ’H’ itu, ayah memang lebih kerap bertemu denganku. Ia juga mengajarkan lagu-lagu yang belum pernah kudengar sebelumnya. Liriknya pun lebih cenderung lirik lagu anak-anak. Sepekan kemudian, setelah aku berhasil menghafal dua lagu yang ia berikan, ia memintaku menyanyikannya. Berulang-ulang. Kali ini dengan iringan papan musik itu.
Aku senang sekali. Beda benar rasanya menyanyi tanpa iringan musik apa pun dengan bernyanyi diiringi bunyi indah yang keluar dari perkakas musik tersebut. Mungkin karena aku pun menikmatinya, aku tak mengalami kesukaran saat harus menyesuaikan irama laguku dengan bunyi-bunyi harmonis yang dihasilkan alat musik. Bagiku, dengan mengambil terma ayah, itu bahkan lebih menyegarkan jiwa.
”Ah, cukup. Kau bagus, Maher,” kata ayah. Besok ikut ayah, ya.” Aku hanya mengangguk senang.
Jadi tanpa diberitahu akan kemana dan untuk apa, hari itu kami berempat berangkat. Ternyata tujuan kami sebuah gedung pertemuan di kota kami, Tripoli. Di sanalah, dari pemberitahuan lewat loud speaker, dari hadirnya banyak anak yang-- seperti aku, dituntun orang tua mereka, aku tahu, aku tengah memasuki arena perlombaan menyanyi. Aku ternyata didaftarkan ayah untuk ikut berlomba.
”Aku berlomba, Ayah?” tanyaku. Agak gemetar. Mendadak perutku seolah kena sembelit.
”Ya. Kamu kan telah mengasah kemampuanmu. Sekarang waktunya menguji hasil latihanmu selama ini,” kata ayah. Sebaliknya, ia tampak begitu tenang dan yakin. ”Jangan takut, tak ada yang perlu membuatmu merasa ketakutan. Kamu hanya harus bernyanyi dengan baik. Menyanyi dengan jiwa sesegar kamu bangun di pagi hari. Itu tak sulit karena bukankah itu yang kamu lakukan setiap hari?”
Aku mengangguk. Kupandang ibuku sebentar. Ibu tersenyum, bahkan sempat mengecup keningku. Itu cukup membuatku tenang menantikan namaku dipanggil untuk tampil.
Tetapi semua itu ternyata belum cukup untuk membuatku berjalan lebih gagah menuju panggung, saat pengeras suara menyeru namaku. Para penonton barangkali akan melihat lututku sedikit gemetar saat satu demi satu anak tangga menuju panggung aku titi. Paling hanya empat undakan, tetapi rasanya begitu lama untuk sampai di tengah panggung. Tanganku masih gemetar saat kupetik mik dari tempatnya. Untunglah, aku sempat melirik ayah dan ibu.
Ajaib, pandangan mata mereka seketika membuat kakiku terasa menapak panggung lebih mantap. Tak ada desakan dalam tatap mata ayah dan ibu. Aku seolah menyerap tenaga yang besar yang terpancar dari senyuman ibu. Sementara dari ayah, sinar matanya yang lembut seakan hanya melontarkan apa yang sering ia katakan,” Bernyanyilah dengan sepenuh jiwa segarmu. Buat orang-orang ini terkesima.” Tak ada tatapan menghimpit yang menuntut kemenanganku di ajang ini. Aku merasa siap.
Tetapi begitu musik yang mengiringi nyanyianku mulai mengalun, entah mengapa semua seolah gelap. Benakku mendadak seperti kosong. Iringan musik memang membuatku aku tahu irama lagunya, tetapi tak satu kalimat syair pun tersisa di kepala untuk kunyanyikan.
Dua menit lebih aku hanya terpaku di atas panggung, memegang mik yang kian erat kukepal. Aku mendengar musisi pengiring kembali mengulangi intro, memberikan kesempatan kedua untukku. Tapi aku masih tetap tak mampu mengingat kalimat, bahkan kata pertama lagu itu.
Kulirik ayah. Kulihat mulut beliau terbuka menyanyikan lagu itu tanpa suara, hanya kode untukku. Entahlah, tak ada satu kata pun bisa kubaca dari kode yang dibuat ayah. Akhirnya, sebelum musik pengiring mengulang intro ketiga kalinya, aku menangis.
Namun entahlah, barangkali aku memang diberkahi dengan diberikan penonton yang begitu baiknya. Alih-alih menyorakiku, serentak puluhan penonton bertepuk tangan. Yang lain, tak lama mengikuti. Kini gedung itu riuh dengan tepuk tangan yang diberikan penonton untukku. Saat itulah aku baru mampu mengingat syair lagu itu. Dari pertama hingga akhir, aku yakin. Sayang, musisi pengiring sudah berhenti bermain.
Tampaknya penonton melihat hal itu. Mungkin karena kilat di mataku setelah sebelumnya menangis. Di antara mereka ada yang berteriak meminta para musisi memainkan lagu, memberiku kesempatan lagi. Musik kembali mengalun, tapi kemudian kembali berhenti. Seorang pria naik ke panggung dan mengambil satu mik lain yang masih berada pada tempatnya.
”Panitia memberi kesempatan kepada anak tampan ini untuk bernyanyi,” kata dia, menunjuk dan tersenyum kepadaku. ”Tetapi kami telah sepakat untuk tidak menganggapnya sebagai bagian penilaian. Terimakasih.”
Tanpa menunggu respons penonton, pria itu segera turun. Yang dilakukannya benar. Karena kalaupun kemudian ada sedikit riuh diantara penonton sebagai reaksi terhadap keputusan itu, suara-suara itu segera lenyap setelah musisi pengiring kembali bermain.
Aku sendiri tak mengacuhkan kejadian itu. Saat itu aku tak sepenuhnya mengerti, bahkan. Yang jelas, begitu aku merasa intro telah cukup dan tiba bagianku menyanyi, aku pun menyanyikan lagu yang kini sepenuhnya telah kembali kuhafal itu dengan girang. ”Menyanyilah dengan jiwamu. Jangan berpikir bagaimana penonton akan menilaimu. Bernyanyi saja,” kuingat perkataan ayah itu. ”Buat mereka terkesima.”
Dan tampaknya, aku memang membuat semua terkesima. Mungkin sebenarnya bukan karena suaraku. Seberapa merdu sih suara seorang bocah balita? Tetapi karena akulah peserta paling bontot dalam perlombaan itu, belum lagi insiden lupa yang sebelumnya terjadi, membuat rasa-rasanya tepuk tangan bagikulah yang paling meriah. Tepuk tangan yang membahana di akhir lagu membuat lututku tak lagi gemetar. Ingin rasanya aku menambah porsi dan menyanyikan satu lagu lagi, bila boleh.
Kebahagiaan itu tak berhenti, sebab ayah dan ibu segera menyongsongku ke arah panggung. Tak seperti tadi, akulah satu-satunya peserta yang tak diantar orang tua hingga bibir panggung. Ibu mendekapku seraya mengelus-elus punggungku. Ayah dengan tawanya yang lebar memberiku pujian. “Begitu, Jagoan. Bernyanyilah untuk jiwamu, maka siapa pun yang mendengar akan bertepuk tangan untukmu.”
Kata-kata itu mungkin sebenarnya terlalu abstrak untuk bocah lima tahunan. Tetapi itu justru membuat diriku setelah akil balig sadar, jangan pernah menyepelekan seorang anak. Benak seorang anak ternyata selalu terbuka, bahkan untuk sesuatu yang saat ia dengar atau lihat pertama kali, belum ia mengerti sama sekali.
Kami pulang dari acara itu dengan kegembiraan meluap. Benar, aku tak mendapatkan tempat dalam perlombaan itu, sesuai keputusan panitia. Tetapi ayah-ibuku pun tidak melakukan protes. Melihat aku bisa membawakan lagu dengan baik di atas panggung untuk pertama kalinya saja, tampaknya telah membuat mereka begitu bahagia.
Setelah momen itulah, kata ayah dan ibu, aku menunjukkan minat yang teramat besar akan musik. Ketika aku beranjak besar, ayah berkata, saat itu setiap kali aku melihat dirinya tak terbebani pekerjaan, aku selalu memintanya menyanyi. Lalu aku akan menikmatinya, memperhatikan bagaimana ia menyanyikan lagu itu, bagaimana ayah mengucapkan lirik-liriknya. Persis Simon Cowel di era ini, manakala melakukan tugasnya sebagai juri American Idol. Bedanya denganku, aku tidak cerewet dan begitu peka akan kesalahan sebagaimana Cowel, pasti.
Pernah kata ibu, aku merajuk dan tak mau makan hanya karena ayah menolak menyanyikan lagu karena harus segera pergi memenuhi undangan untuk tampil. Aku memaksa ikut, tetapi saat itu ayah punya banyak alasan kuat untuk menolak. Ibu berkata, aku baru mau menghabiskan makan malamku tepat sebelum tidur, itu pun karen atak kuat lagi menahan perutku yang menjerit-jerit kelaparan.
Tetapi itulah, perang yang kian berkembang di Libanon membawa masalah besar buat semua warga negara kecil indah itu. Termasuk keluarga kami. Perang yang akarnya bisa dirunut justru setelah negeri kami, Libanon, memperoleh kemerdekaan dari Prancis, November 1943. Kami yang begitu berwarna dengan aneka perbedaan, agama maupun etnis, ternyata tak mampu menata perbedaan itu menjadi sesuatu yang menguntungkan. Ketenangan kami dulu dalam kekuasaan Prancis, ternyata semu adanya. (Bersambung)
”Ya. Kamu kan telah mengasah kemampuanmu. Sekarang waktunya menguji hasil latihanmu selama ini,” kata ayah. Sebaliknya, ia tampak begitu tenang dan yakin. ”Jangan takut, tak ada yang perlu membuatmu merasa ketakutan. Kamu hanya harus bernyanyi dengan baik. Menyanyi dengan jiwa sesegar kamu bangun di pagi hari. Itu tak sulit karena bukankah itu yang kamu lakukan setiap hari?”
Aku mengangguk. Kupandang ibuku sebentar. Ibu tersenyum, bahkan sempat mengecup keningku. Itu cukup membuatku tenang menantikan namaku dipanggil untuk tampil.
Tetapi semua itu ternyata belum cukup untuk membuatku berjalan lebih gagah menuju panggung, saat pengeras suara menyeru namaku. Para penonton barangkali akan melihat lututku sedikit gemetar saat satu demi satu anak tangga menuju panggung aku titi. Paling hanya empat undakan, tetapi rasanya begitu lama untuk sampai di tengah panggung. Tanganku masih gemetar saat kupetik mik dari tempatnya. Untunglah, aku sempat melirik ayah dan ibu.
Ajaib, pandangan mata mereka seketika membuat kakiku terasa menapak panggung lebih mantap. Tak ada desakan dalam tatap mata ayah dan ibu. Aku seolah menyerap tenaga yang besar yang terpancar dari senyuman ibu. Sementara dari ayah, sinar matanya yang lembut seakan hanya melontarkan apa yang sering ia katakan,” Bernyanyilah dengan sepenuh jiwa segarmu. Buat orang-orang ini terkesima.” Tak ada tatapan menghimpit yang menuntut kemenanganku di ajang ini. Aku merasa siap.
Tetapi begitu musik yang mengiringi nyanyianku mulai mengalun, entah mengapa semua seolah gelap. Benakku mendadak seperti kosong. Iringan musik memang membuatku aku tahu irama lagunya, tetapi tak satu kalimat syair pun tersisa di kepala untuk kunyanyikan.
Dua menit lebih aku hanya terpaku di atas panggung, memegang mik yang kian erat kukepal. Aku mendengar musisi pengiring kembali mengulangi intro, memberikan kesempatan kedua untukku. Tapi aku masih tetap tak mampu mengingat kalimat, bahkan kata pertama lagu itu.
Kulirik ayah. Kulihat mulut beliau terbuka menyanyikan lagu itu tanpa suara, hanya kode untukku. Entahlah, tak ada satu kata pun bisa kubaca dari kode yang dibuat ayah. Akhirnya, sebelum musik pengiring mengulang intro ketiga kalinya, aku menangis.
Namun entahlah, barangkali aku memang diberkahi dengan diberikan penonton yang begitu baiknya. Alih-alih menyorakiku, serentak puluhan penonton bertepuk tangan. Yang lain, tak lama mengikuti. Kini gedung itu riuh dengan tepuk tangan yang diberikan penonton untukku. Saat itulah aku baru mampu mengingat syair lagu itu. Dari pertama hingga akhir, aku yakin. Sayang, musisi pengiring sudah berhenti bermain.
Tampaknya penonton melihat hal itu. Mungkin karena kilat di mataku setelah sebelumnya menangis. Di antara mereka ada yang berteriak meminta para musisi memainkan lagu, memberiku kesempatan lagi. Musik kembali mengalun, tapi kemudian kembali berhenti. Seorang pria naik ke panggung dan mengambil satu mik lain yang masih berada pada tempatnya.
”Panitia memberi kesempatan kepada anak tampan ini untuk bernyanyi,” kata dia, menunjuk dan tersenyum kepadaku. ”Tetapi kami telah sepakat untuk tidak menganggapnya sebagai bagian penilaian. Terimakasih.”
Tanpa menunggu respons penonton, pria itu segera turun. Yang dilakukannya benar. Karena kalaupun kemudian ada sedikit riuh diantara penonton sebagai reaksi terhadap keputusan itu, suara-suara itu segera lenyap setelah musisi pengiring kembali bermain.
Aku sendiri tak mengacuhkan kejadian itu. Saat itu aku tak sepenuhnya mengerti, bahkan. Yang jelas, begitu aku merasa intro telah cukup dan tiba bagianku menyanyi, aku pun menyanyikan lagu yang kini sepenuhnya telah kembali kuhafal itu dengan girang. ”Menyanyilah dengan jiwamu. Jangan berpikir bagaimana penonton akan menilaimu. Bernyanyi saja,” kuingat perkataan ayah itu. ”Buat mereka terkesima.”
Dan tampaknya, aku memang membuat semua terkesima. Mungkin sebenarnya bukan karena suaraku. Seberapa merdu sih suara seorang bocah balita? Tetapi karena akulah peserta paling bontot dalam perlombaan itu, belum lagi insiden lupa yang sebelumnya terjadi, membuat rasa-rasanya tepuk tangan bagikulah yang paling meriah. Tepuk tangan yang membahana di akhir lagu membuat lututku tak lagi gemetar. Ingin rasanya aku menambah porsi dan menyanyikan satu lagu lagi, bila boleh.
Kebahagiaan itu tak berhenti, sebab ayah dan ibu segera menyongsongku ke arah panggung. Tak seperti tadi, akulah satu-satunya peserta yang tak diantar orang tua hingga bibir panggung. Ibu mendekapku seraya mengelus-elus punggungku. Ayah dengan tawanya yang lebar memberiku pujian. “Begitu, Jagoan. Bernyanyilah untuk jiwamu, maka siapa pun yang mendengar akan bertepuk tangan untukmu.”
Kata-kata itu mungkin sebenarnya terlalu abstrak untuk bocah lima tahunan. Tetapi itu justru membuat diriku setelah akil balig sadar, jangan pernah menyepelekan seorang anak. Benak seorang anak ternyata selalu terbuka, bahkan untuk sesuatu yang saat ia dengar atau lihat pertama kali, belum ia mengerti sama sekali.
Kami pulang dari acara itu dengan kegembiraan meluap. Benar, aku tak mendapatkan tempat dalam perlombaan itu, sesuai keputusan panitia. Tetapi ayah-ibuku pun tidak melakukan protes. Melihat aku bisa membawakan lagu dengan baik di atas panggung untuk pertama kalinya saja, tampaknya telah membuat mereka begitu bahagia.
Setelah momen itulah, kata ayah dan ibu, aku menunjukkan minat yang teramat besar akan musik. Ketika aku beranjak besar, ayah berkata, saat itu setiap kali aku melihat dirinya tak terbebani pekerjaan, aku selalu memintanya menyanyi. Lalu aku akan menikmatinya, memperhatikan bagaimana ia menyanyikan lagu itu, bagaimana ayah mengucapkan lirik-liriknya. Persis Simon Cowel di era ini, manakala melakukan tugasnya sebagai juri American Idol. Bedanya denganku, aku tidak cerewet dan begitu peka akan kesalahan sebagaimana Cowel, pasti.
Pernah kata ibu, aku merajuk dan tak mau makan hanya karena ayah menolak menyanyikan lagu karena harus segera pergi memenuhi undangan untuk tampil. Aku memaksa ikut, tetapi saat itu ayah punya banyak alasan kuat untuk menolak. Ibu berkata, aku baru mau menghabiskan makan malamku tepat sebelum tidur, itu pun karen atak kuat lagi menahan perutku yang menjerit-jerit kelaparan.
Tetapi itulah, perang yang kian berkembang di Libanon membawa masalah besar buat semua warga negara kecil indah itu. Termasuk keluarga kami. Perang yang akarnya bisa dirunut justru setelah negeri kami, Libanon, memperoleh kemerdekaan dari Prancis, November 1943. Kami yang begitu berwarna dengan aneka perbedaan, agama maupun etnis, ternyata tak mampu menata perbedaan itu menjadi sesuatu yang menguntungkan. Ketenangan kami dulu dalam kekuasaan Prancis, ternyata semu adanya. (Bersambung)
Sumber: inilah.com