Logika Menteri Jonan Seperti Bakar Lumbung Padi untuk Bunuh Tikus

Satu minggu terakhir perhatian kita terarah pada tragedi jatuhnya pesawat AirAsia QZ8501 rute Surabaya-Singapura. Hingga tulisan ini dibuat, proses pencarian korban masih terus berlangsung di Selat Karimata, Laut Jawa. Satu per satu korban meninggal ditemukan dan di-identifikasi. Hanya saja, kita masih menunggu bagian pesawat yang dapat mengungkapkan penyebab kecelakaan tragis ini: kotak hitam.

Tentunya ada yang “gatal” dan coba menarik simpulan penyebab utama jatuhnya pesawat ini bahkan sebelum kotak hitam ditemukan.  Penyebab-penyebab “mikroskopik” seperti kealfaan AirAsia mengambil data cuaca dan pesawat yang diterbangkan tanpa izin mulai didengungkan di publik. Lebih jauh, Menteri Perhubungan Ignasius Jonan mencoba menarik simpulan yang lebih “makroskopik” dengan menyasar industri penerbangan di tanah air.

Sebagaimana diberitakan, Jonan akan segera mengeluarkan aturan tentang tarif batas bawah bagi maskapai berbiaya murah atau Low Cost Carrier (LCC) seperti Air Asia. Tarif batas bawah LCC adalah 40% dari tarif batas atas yang ikut diatur pula capping-nya. Argumentasi Jonan adalah agar maskapai yang tergolong LCC tidak mengorbankan faktor keselamatan demi mengejar biaya murah. Dengan adanya aturan tarif batas bawah, maskapai LCC diharapkan akan meningkatkan standar keselamatan.Setidaknya ada beberapa hal yang dapat dikedepankan untuk mempertanyakan logika Jonan ini.

Pertama, aturan yang rencananya akan diberlaukan ini sebenarnya bukan hal baru dan reaksi sesaat dari jatuhnya AirAsia QZ8501. Pemerintah sebelumnya telah mengeluarkan Peraturan Menteri Perhubungan No. 51 Tahun 2014 tentang Mekanisme Formulasi Perhitungan dan Penetapan Tarif Batas Atas Penumpang Pelayanan Kelas Ekonomi Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri (PM No. 51/2014). PM No. 51/2014 (berlaku 1 Nopember 2014) mengatur tarif batas bawah untuk penumpang kelas ekonomi angkutan udara niaga berjadwal di mana termasuk pula di dalamnya LCC atau maskapai dengan pelayanan standar minimum (no frills service). Alasan PM No. 51/2014 juga sama dengan logika Jonan: faktor keselamatan.

Patut ditunggu bagaimana pemerintah menjelaskan signifikansi penerapan tarif yang murah terhadap penurunan standar keamanan. Standar keamanan dalam penerbangan bukanlah sesuatu yang dapat dinegosiasikan begitu juga untuk LCC. Pola bisnis LCC dengan menawarkan tiket yang terus turun untuk perang tarif dengan maskapai lainnya adalah dengan, antara lain, tidak menyediakan makanan bagi penumpang kecuali penumpang rela membayar biaya ekstra, membebankan biaya tambahan untuk bagasi, memberlakukan sistem priority boarding, hingga gimmick subsidi silang antara penumpang biasa dan penumpang yang membeli tiket di harga promosi (diskon) di waktu tertentu: hal mana adalah diskriminasi harga (price discrimination) yang wajar dan diperbolehkan dalam persaingan bisnis.

Kedua, ada baiknya Jonan memeriksa laporan Organisation for Economic Co-Operation and Development (OECD) tahun 2014. Dalam laporan tersebut, terlihat jelas industri penerbangan cenderung terkonsentrasi dan berstruktur oligopoli dengan rasio konsentrasi pangsa pasar empat pelaku usaha terbesar (CR4) adalah sebesar 83% (nilai kosentrasi ini dikategorikan tinggi). Kita tentu ingat beberapa tahun lalu ketika sembilan pelaku usaha dinyatakan Komisi Pengawas Persaingan Usaha  (KPPU) telah melanggar Undang-undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU No.5/1999) karena secara bersama-sama terbukti menetapkan harga beban bahan bakar yang serupa dalam komponen harga tiket. KPPU menilai hal tersebut melanggar pasal penetapan harga (pasal 5) dalam UU No.5/1999. Pelanggaran serupa tentunya lebih mudah terjadi dalam kondisi pasar yang berstruktur oligopoli.

Saat ini, makin berkembangnya LCC justru memberikan andil tetap adanya kompetisi di industri penerbangan. LCC membuat maskapai-maskapai yang full service dan medium service berperang tarif dengan LCC sehingga menetapkan harga yang lebih murah dan diselingi strategi berupa tiket dengan harga promosi di waktu tertentu. Hal mana tentunya menguntungkan konsumen yang dapat terbang dengan biaya lebih murah.

Ketiga, adanya tarif batas bawah juga berpotensi untuk membuat maskapai-maskapai yang tergolong LCC tidak dapat bersaing dengan maskapai asing ketika diberlakukannya kebijakan ASEAN Open Sky tahun ini. Maskapai asing, yang tarif batas bawahnya tidak dibatasi, berpeluang menyediakan harga tiket yang lebih murah ketimbang LCC dalam negeri.

Logika Jonan tampaknya adalah logika reaksioner untuk mencoba memberikan resep kilat terhadap industri penerbangan pasca jatuhnya AirAsia QZ8501. Sekali lagi, standar keselamatan dalam penerbangan bukanlah suatu yang dapat dinegosiasikan. Pemerintah dapat dengan tegas menegakkan aturan agar LCC yang berbiaya operasional rendah tidak mengorbankan ihwal keselamatan. Pemerintah bahkan dapat mencabut izin maskapai-maskapai yang membandel. Logika Jonan ini justru ibarat membakar lumbung padi untuk membunuh seekor tikus.

Oleh: Kurnia Togar P. Tanjung/Mahasiswa Pasca Sarjana FEUI/selasar.com

Subscribe to receive free email updates: