Perang Dunia III Non-Militer Agenda Setting Rahasia Amerika

USA controlling world’s oil prices.
Melihat perkembangan cara berperang abad 21 yang lebih mengutamakan Perang Non Militer mau tidak mau kita harus mengubah paradigma doktrin pertahanan keamanan yang sudah ada.

Tapi pertama-tama kita harus merumuskan dahulu apa yang dimaksud dengan “Ancaman Non Militer”, kemudian baru membuat “Kontra Skema” sesuai dengan skala prioritas ancaman.

Politik Minyak Amerika di Eropa

Sikap ganas yang ditampilkan oleh AS dalam campur tangannya di Yugoslavia adalah juga isyarat kepada kawan dan lawan untuk bekerjasama sesuai dengan tuntutan kepentingan AS.

Efek pembantaian sipil oleh NATO di Yugoslavia ternyata cukup ampuh menekan Uni Eropa yang kemudian menjadi takut bahwa mereka dapat saja menjadi sasaran yang berikutnya dari aksi militer NATO, jika mereka melawan tuntutan-tuntutan AS.

Jerman, Inggris dan Perancis cukup gelisah melihat tujuan-tujuan AS di Eropa bahkan diperoleh informasi bahwa Pentagon telah mempunyai rencana-rencana untuk perang dengan negara sekutunya sendiri. Hal ini terlihat dari salah satu bukti dari upaya AS, yang selalu berusaha menyadap presiden-presiden, pejabat hingga rakyat negara-negara sekutunya itu dan membuat mereka berang.

Dibawah tanah, Kaum Borjuis Eropa tidak bisa menerima keadaan mereka yang ditekan dan didikte terus-menerus oleh Paman Sam. Perebutan sumber daya alam di Asia Tengah dan Eropa Timur antara AS, Jerman, Perancis, Inggris dan Italia dibayangi ketegangan yang sewaktu-waktu bisa saja meledak.

Ketegangan-ketegangan itu telah kelihatan jelas. Kekuatan-kekuatan Eropa, telah lama mencari sebuah jalan untuk mengurangi peranan besar AS dalam perdagangan internasional. Salah satu kontra skema Uni Eropa adalah dengan penyatuan moneter dan menciptakan Euro untuk menandingi Dollar sebagai cadangan mata uang dunia.

Sedangkan Jerman yang berada dibawah kontrol ketat AS – telah menjadikan Rusia sebagai perpanjangan tangan ekonominya. Oleh karena itu, bila terjadi konflik antara Amerika dan Rusia, maka Jermanlah yang paling merasakan dampaknya.

Bukan itu saja, ketegangan perebutan sumber daya antara AS-Jepang juga akan berlanjut mengikuti perebutan sumber daya alam di Asia Tengah dan Eropa Timur. Kepentingan kedua belah pihak sebagai pengimpor minyak besar sangat membutuhkan cadangan pasokan baru dari wilayah-wilayah jarahan baru.

Demikian pula ketegangan perebutan sumber daya antara AS-China meningkat setelah AS semakin memperluas pengaruhnya menerobos Eropa Timur hingga Kaspia.

Seperti kita ketahui, China memiliki kepentingan terhadap saluran pipa yang akan menyalurkan minyak Kaspia ke arah Timur yang ditandatangani pada 1997, sebuah transaksi bernilai 4,3 milyar dollar untuk mendapatkan 60 persen kepemilikan dalam fasilitas minyak Kazakhtan, dan AS tanpanya terus berusaha dengan segala cara untuk mengurangi pengaruh China di daerah ini.

Sebuah perkembangan menarik yang perlu kita cermati juga kedepannya adalah dapatkah AS, Uni Eropa, Jepang dan China saling berbagi kavling secara damai menyangkut perebutan migas dan kontrak-kontrak pembangunan yang bernilai trilyunan dollar di Eropa Timur dan Asia Tengah?

Bila perebutan dilakukan dengan pendekatan konflik maka ketegangan-ketegangan di wilayah yang dijarah pasti akan meningkat – perselisihan etnis bisa saja berubah menjadi sebuah konflik bersenjata bila milyaran dollar terus mengalir sebagai akibat hasil produksi minyak dan gas yang melimpah yang hanya dinikmati oleh segelintir orang saja.

Seperti konflik di Abkhazia, bila kita telusuri akar konflik di Abkhazia sudah berusia panjang. Abkhazia dan Ossetia Selatan adalah dua negara Republik pecahan Georgia di Kaukasus. Keduanya telah berupaya melepaskan diri dari Georgia sejak tahun 1920-an. Setelah Revolusi Rusia tahun 1917, Abkhazia dan Ossetia Selatan ditetapkan sebagai dua republik otonom yang merupakan bagian dari Georgia dan termasuk di dalam wilayah Uni Soviet.

Masalah kedaulatan keduanya semakin kompleks ketika Uni Soviet bubar dan Georgia menyatakan kemerdekaannya yang diikuti dengan konflik bersenjata pada 1992 dan 2008. Rusia kemudian mengakui kedua Republik tersebut sebagai negara merdeka yang terpisah dan berdiri sendiri. Putin bahkan berjanji akan memberikan bantuan militer dalam setiap konflik Abkhazia dengan Georgia.

Separatis Abkhazia, yang secara budaya dan agama berbeda dari penduduk Georgia, mengobarkan perang sengit setelah runtuhnya Uni Soviet yang menewaskan lebih dari 250.000 orang. Kremlin mengakui kemedekaan Ossetia Selatan dan Abkhazia, pada 26 Agustus 2008 setelah pasukan Rusia memukul mundur pasukan Georgia yang ingin menguasai lagi Ossetia Selatan. Namun PBB, Uni Eropa dan NATO menolak mengakui kedaulatan Abkhazia dan Ossetia Selatan.

Beberapa saat setelah kemenangan tentara Rusia, Wakil Presiden AS Dick Cheney segera berkunjung ke Azerbaijan, Georgia, dan Ukraina, pada 3-5 September 2008. Kunjungan Cheney tersebut semakin menegaskan kepentingan AS di negara-negara bekas pecahan Uni Soviet itu.


Abkhazia map russia.

Sejak awal tahun 1990-an, perusahaan-perusahaan raksasa migas AS telah berhasil menguasai hak untuk mengembangkan sejumlah proyek, seperti eksplorasi ladang minyak Tengiz di Kazakhstan, ladang Azeri – Chirag – Guneshi di Azerbaijan, dan ladang gas alam Dauletabad di Turkmenistan. Bukan itu saja, langkah strategis AS lainnya adalah membuat rute baru jaringan pipa migas menghindari Rusia dan Iran.

Jauh sebelum kenaikan harga minyak, yakni tahun 1998, seorang petinggi perusahaan minyak UNOCAL, John J Maresca, saat tampil di depan Komite Hubungan Internasional, sub-komite Asia-Pasifik, House of Representatives AS, memaparkan betapa besar potensi migas di sekitar Kaspia. Menurut Maresca, Kaspia punya cadangan hidrokarbon yang belum tersentuh.

Cadangan gas terukur di Azerbaijan, Uzbekistan, Turkmenistan, dan Kazakhstan lebih dari 236 triliun kaki kubik. Sedangkan total cadangan minyak di wilayah itu kemungkinan lebih dari 60 miliar barrel. Bahkan, ada perkiraan cadangan minyak Kaspia mencapai 200 miliar barrel.

Oleh karena itulah AS sangat berkepentingan membangun rute jaringan pipa migas baru di wilayah Asia Tengah karena jaringan pipa yang ada saat ini masih berada di bawah kekuasaan Rusia. Sampai-sampai Presiden George W Bush, yang mewakili kalangan industri migas AS, mengundang Vladimir Putin ke rumah peristirahatannya secara pribadi, memancing bersama.

Sebelum Bush, pada pertengahan tahun 1990-an, pemerintahan AS di bawah Presiden Clinton telah mendapatkan dua proyek jaringan pipa utama untuk mengekspor migas Kaspia, dengan tidak melalui wilayah Rusia, Iran dan China.

Proyek pertama adalah ekspor gas Turkmenistan melalui Afganistan dan Pakistan ke Samudra Hindia, namun proyek ini gagal karena keamanan di Afganistan dan Pakistan yang tidak mendukung.

Sedang proyek kedua membangun jaringan pipa melingkar ke barat melalui negara-negara di Kaukasus, yaitu Georgia dan Azerbaijan. Jaringan itu akan digabung dengan jaringan pipa bawah laut yang menghubungkan Kazakhstan dan Turkmenistan di sisi timur Kaspia, yang menyambung dengan jaringan pipa Baku (Azerbaijan) – Tbilisi (Georgia) – Ceyhan (Turki).

Jaringan pipa ini menjadi jalur utama ekspor energi Kaspia ke kawasan Mediterania, dan bila berhasil merupakan pukulan telak terhadap dominasi rute energi Rusia dari Kaspia ke Barat.

Tidak mengherankan bila Presiden Clinton menunjuk Condoleezza Rice sebagai Menteri Luar Negeri AS saat itu. Condoleezza Rice, adalah seorang pakar Uni Soviet sekaligus petinggi di perusahaan minyak Chevron, pada 1991-1995. Jadi wajar saja bila Chevron berhasil menguasai hampir seluruh ladang minyak Tengiz dan Kazakhstan yang memiliki cadangan potensial 25 miliar barrel.

Demikian pula halnya dengan Wakil Presiden Dick Cheney yang juga merupakan pucuk pimpinan perusahaan infrastruktur perminyakan Halliburton dan merupakan anggota Dewan Penasihat Tengizchevroil di Kazakhstan, perusahaan perminyakan yang didirikan Pemerintah Kazakhstan setelah runtuhnya Uni Soviet, dengan kepemilikan Chevron 50 persen, Exxon Mobil 25 persen, dan Pemerintah Kazakhstan melalui KazMunazGas 20 persen, sisanya 5 persen dimiliki LukArco Rusia.

Rusia tidak tinggal diam, pada Desember 2007, Rusia berhasil membuat kesepakatan dengan Kazakhstan dan Turkmenistan untuk membangun sebuah jaringan pipa gas baru sepanjang Pantai Timur Kaspia menuju Rusia. (viva/kabarpapua.net)

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Perang Dunia III Non-Militer Agenda Setting Rahasia Amerika"

Post a Comment