Idul Adha di Tolikara, Pengamat: Negara Tak Mungkin Penuhi Permintaan Konyol GIDI

Muslim Tolikara Bisa Shalat Idul Adha, Tapi GIdI Minta Syarat Ini
Shalat Jumat pertama digelar di dalam markas Koramil Karubaga, Kab. Tolikara pada Jumat, (24/7) pasca pembakaran Masjid. Foto: Kiblat.net

Pengamat Terorisme Mustofa B. Nahrawardaya menegaskan permintaan bersyarat Gereja Injili di Indonesia (GIdI) kepada Menkopolhukam Luhut Panjaitan terkait proses perdamaian di Tolikara merupakan permintaan konyol.

Seperti diberitakan Kiblat.net sebelumnya, pada pertemuan yang digelar Sabtu, (05/09), tokoh gereja di Papua membolehkan umat Islam berlebaran Idul Adha, asalkan tiga syarat yang diajukan GIdI dipenuhi.

“Pertama, soal pembersihan nama (GIdI, red). Ini tentu tidak mungkin dilakukan oleh negara. Karena kalau ini dipenuhi permintaan konyol ini, maka nanti semua organisasi-organisasi teror itu akan melakukan hal sama, itu implikasinya,” ujar Mustofa, Ahad (6/9).

Lanjutnya, jika nanti misalkan Amerika mengecap sebuah organisasi sebagai organisasi teror, otomatis nanti dia akan melakukan permintaan pembersihan nama baik.

“GIdI ini kan sudah jelas membakar masjid, menebar ketakutan di masyarakat. Sudah pasti pelakunya ada, videonya ada. Tidak bisa ditangkal kan,” aktivis muda Muhammadiyah ini bertanya secara retoris.
Menurutnya, sejumlah ormas yang kerap dituduh organisasi teroris padahal tidak ada buktinya saja tidak mungkin dilakukan untuk pembersihan nama baik.

“Apa lagi organisasi yang tindak lakunya sudah ada bukti dokumennya, ada videonya, ada surat-suratnya, kemudian ada bukti-bukti lain yang mendukung. Tapi sangat tidak mungkin. 100juta persen ini tidak mungkin bisa dipenuhi,” katanya.

Kedua, soal permintaan pembebasan kedua tersangka provokator Tragedi Tolikara, menurut Mustofa juga sangat tidak mungkin dipenuhi. Pasalnya, dalam bukti video penyerangan jemaah shalat Idul Fitri pada 17 Juli 2015 lalu ada 200 orang penyerang yang terekam dalam video.

“Pelakunya itu 200 orang yang di rekaman video, sedangkan yang ditangkap baru 2, masih ada 198 orang yang belum ditangkap. Masih ada lagi pengurus GIDI yang belum ditangkap, masih ada lagi organisasi GIDI yang belum dibekukan, masih ada lagi rekening GIDI yang harus dibekukan pula.
Masih ada lagi jaringan mereka yang perlu dipangkas supaya tidak membesar di Indonesia,” tandasnya.
Ia menambahkan, tidak mungkin jika para pelaku-pelaku itu dibebaskan. Justru yang di inginkan oleh umat Islam, agar semua pelaku dan aktor intelektualnya ditangkap untuk memberi efek jera dan tidak dilakukan di lain waktu.

Adapun, lanjut Mustofa, permintaan ketiga terkait penyelesaian Tragedi Tolikara secara hukum adat bisa dilaksanakan bersamaan dengan penegakan hukum positif.

“Dua-duanya dilakukan, hukum positif juga dilakukan. Saya sudah biasa meneliti di papua, karena itu kalau ada orang nabrak orang, dia dihukum positif juga yaitu di sidang di pengadilan, tapi juga disuruh melakukan mengganti dengan babi, jadi dua-duanya dilakukan.

Ditegaskannya, hukum positif harus ditegakkan seiring dengan hukum adat. Sebab, hukum adat itu hanyalah soal ikatan local wisdom (kebudayaan tempatan, red).

“Di Indonesia juga sering kok orang berbuat pidana kemudian dia melakukan perdamaian. Ini sebenarnya hukum adat, dia memaafkan pelakunya, tetapi hukum positif tetap berjalan. Artinya gak ada balas dendam,” pungkas Mustofa. (Kiblat)

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Idul Adha di Tolikara, Pengamat: Negara Tak Mungkin Penuhi Permintaan Konyol GIDI"

Post a Comment