
Buku karya Nicolaas Jouwe bertajuk: Kembali ke Indonesia: Langkah, Pemikiran dan Keinginan ini berkisah tentang seorang pria berusia 89 tahun, yang dulunya merupakan salah satu pendiri Organisasi Papua Merdeka (OPM), yang telah kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi. Bukan itu saja. Melalui penuturan Jouwe lewat buku ini, terungkap serangkaian fakta-fakta yang membuktikan adanya konspirasi internasional di balik gagasan menginternasionalisasikan Papua sebagai langkah awal menuju Papua Merdeka, lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Buku ini memulai dengan satu pernyataan menarik dari Jouwe, sebagai
bentuk rasa bersalah sekaligus pertobatan atas langkah yang diambilnya
kala itu.
"Saya pribadi menilai pelarian saya ke Belanda merupakan pilihan yang
patut disesali. Namun kini, saya menyadari bahwa Papua merupakan bagian
dari NKRI," begitu tukas Jouwe.
Nicholaas Jouwe lahir di Jayapura pada 24 November 1923. Melalui
penuturannya dalam buku ini, yang sayang sekali diterbitkan dengan
teknik penyuntingan (editing) yang sangat kacau dan tidak sistematis,
Jouwe mulai menetap di Belanda pada 1961. Pada saat Indonesia di bawah
pemerintahan Bung Karno, sedang gencar-gencarnya memperjuangkan
kembalinya Papua ke pangkuan Ibu Pertiwi.
Namun Jouwe yang waktu itu masih muda belia, justru berpihak pada
pemerintah kolonial Belanda, dan bersama beberapa temannya mendirikan
Gerakan Operasi Papua Merdeka yang kemudian disebut Organisasi Papua
Merdeka (OPM). Karena Belanda menjanjikan Jouwe untuk menjadi Presiden
Papua jika kelak sudah merdeka.
Bahkan Jouwe lah yang membuat bendera Bintang Kejora yang pertama kali
dikibarkan pada 1 Desember 1961. “Pada saat itu saya adalah salah satu
anggota Dewan New Guinea (Nieuw Guinea Raad) yang konon dalam pertemuan
yang diselenggarakan oleh Pemerintah Kolonial Belanda dan saya terpilih
secara demokratis di seluruh wilayah Papua,” begitu menurut penuturan
Jouwe.
Menurut Jouwe yang notabene merupakan pelaku sejarah terbentuknya OPM,
peristiwa 1 Desember 1961 itulah yang seringkali dijadikan dasar klaim
pemimpin Papua sekarang bahwa negara Papua pernah ada tetapi dirampas
oleh konspirasi internasional Indonesia, Amerika Serikat dan juga Negara
Kolonial Belanda.
Tentu saja versi OPM ini merupakan pemutar-balikan fakta dan kenyataan.
Padahal melalui kesaksian Jouwe setelah kembali ke Indonesia pada 2009,
2/3 negara anggota dalam Sidang Umum PBB menerima hasil Pepera
(Penentuan Pendapat Rakyat) 1969, sehingga suka atau tidak suka, bangsa
Papua telah menjadi bagian resmi dari NKRI.
Dan ini pula yang jadi dasar Jouwe memutuskan kembali pulang ke
Indonesia. Karena menurut pandangannya, bahwa upaya pemisahan diri Papua
dari NKRI sangat bertentangan dengan sejarah.
Kisah kembalinya Jouwe ke pangkuan Ibu Pertiwi merupakan cerita
tersendiri yang tak kalah menarik. Pada 17 Maret 2009, dengan ditemani
oleh dua orang anaknya, Nancy dan Nico, memutuskan memenuhi undangan
Presiden SBY, kembali ke Indonesia.
Pada Januari 2010, Jouwe resmi bermukim di Jayapura.Lantas, gimana
ceritanya sampai bisa kembali ke Indonesia dan berpihak kembali ke
NKRI?
Pada 2009 sebuah delegasi di bawah pimpinan Nona Fabiola Ohei tiba di
Den Haag dengan membawa surat dari Presiden SBY untuk Jouwe. Fabiola
ketika itu datang menemui Jouwe dengan ditemani oleh Ondofolo (Kepala
Adat) Frans Albert Yoku, Nicolas Simeon Meset, pilot pertama Putra Papua
lulusan ITB, dan Bapak Pendeta Adolf Hanasbey.
Surat SBY itu pada intinya mengundang Jouwe kembali pulang ke Indonesia.
Berdasarkan surat SBY tersebut, Jouwe menemui Fanie Habibie, Dubes RI
di Belanda ketika itu.
Inilah penuturan Jouwe ketika bertemu Fanie Habibie.
Begitu kami berdua bertemu cepat sekali kami jadi akrab satu sama
lainnnya, seperti kami berdua sudah berkenalan lama sekali. Lalu kami
berdua bicara soal kepulangan saya. Kami berbicara banyak lalu Pai Tua
cerita bahwa Pai Tua banyak bersahabat dengan orang Ambon. Dia diangkat
oleh orang-orang Ambon menjadi warga terhormat dari kota Ambon. Ada
sehelai surat penghargaan yang dia miliki.
Dia ceritakan itu dan dia mulai menanyakan: “Nic, kalau beta panggil se dengan lagu-lagu Ambon apa se bisa iko beta?
Lalu saya katakana pada Fanie: “Bapa, beta besar dalam dua kultur, Papua
dan Ambon, Maluku. Jadi Bapa bilang saja.” Lalu dia katakana lagi:
“Nico, beta punya satu pantun darik Ambon: Laju-Laju perahu laju. Laju
sampai ke Surabaya. Biar lupa kain dan baju, tapi jangan lupa par
beta.”
Saya lalu berkata: “Wah bagus.” Saya juga mau balas: Angin Timur
Gelombang Barat, kapal Angkasa warna Merpati, Bapa di Timur beta di
Barat, apa rasa dalam hati.”
Pai Tua jawab lagi dengan satu pantun: “Naik-naik ke Batu Gajah, Rasa
Haus makan kwini, Beta rasa sengaja saja, Siapa tahu jadi begini.”
Pak Fanie bertanya: Beta mau tahu, cepat Bapa pulang seng?” Saya jawab
dengan pantun lagi: Riang-riang ke Bangkahulu, rama-rama si batang padi,
diam-diam sabar dahulu, lama-lama tokh akan jadi.”
Pak Fanie katakana lagi: Pulang jo.” Dan saya sambung: “Ya, Beta Pulang.”
Setelah makan malam bersama Fanie Habibie, saya memberi satu pantun terakhir kepada Pak Duta Besar.
“Ayam putih mari kurantai, kasih makan ampas kalapa, budi Bapa Dubes sudah sampe, Beta mau balas dengan Apa?”
Pak Fanie jawab lagi: Ya, suda pulang jua.” Saya balas: “Ya, saya pulang.”
Demikian kisah yang dituturkan Jouwe. Maka tak lama setelah itu,
dibuatlah traktat diplomasi ihwal kepulangan Nicolaas Jouwe ke Indonesia
oleh Dubes Fanie Habibie.
Kisah Pertemuan Rahasia Jouwe dengan John F Kennedy
Sisi menarik dari buku ini, adalah pertemuan Jouwe dengan Kennedy pada
1962, yang kita tahu Kennedy bersepakat dengan Bung Karno agar Belanda
secepatnya melepas Papua kembali ke tangan Indonesia.
Menurut pengakuan Jouwe, pertemuan dengan Kennedy inilah yang kelak jadi
salah satu pertimbangan mengapa akhirnya memutuskan kembali bergabung
dengan NKRI.
Yang mengesankan Jouwe adalah, Kennedy bertanya apakah Jouwe tahu
tentang sejarah Papua dan sudah berapa lama Jouwe tahu Papua masuk dalam
orbit koloni Belanda. Dan dengan lugunya Jouwe menjawab, tidak tahu.
Karena yang Jouwe tahu melalui sejarah yang dia pelajari di sekolahnya,
lebih banyak tentang sejarah Belanda, tentang geografinya Belanda,
berapa banyak sungainya dan gunung yang ada di Belanda. Tapi sejarah
Papua itu sendiri Jouwe mengaku terus terang kepada Kennedy tidak tahu.
Nicolaas Jouwe |
“Belanda tidak mau orang dari luar masuk ke situ. Belanda ingin menjaga
agar orang dari luar tidak masuk ke Papua untuk menguasai Papua,” begitu
kata Kennedy kepada Jouwe.
Bahkan Kennedy juga mengatakan bahwa Pemerintah Belanda mempropagandakan
bahwa Pulau Papua penuh dengan berbagai macam penyakit berbahaya
seperti malaria dan lain-lain. Belanda bahkan menakut-nakuti bahwa
barangsiapa datang ke Papua pasti akan mengalami kematian. Singkat
cerita, Belanda lakukan propaganda macam itu agar orang tidak berani
berkunjung ke Papua.
Dari kisah tersebut tersirat memang Kennedy sepenuhnya mendukung
integrasi Papua kepada Indonesia. Dan pertemuan Jouwe dengan Kennedy
ketika itu, justru dalam rangka membujuk Jouwe agar setuju Papua jadi
bagian dari Indonesia.
Bisa dimengerti jika pertemuan dengan Kennedy tersebut bersifat rahasia,
karena Jouwe ketika itu dalam kapasitas sebagai penasehat dan anggota
Kerajaan Belanda dalam perundingan Belanda dan Indonesia. Sehingga
posisi resmi Jouwe justru berada di pihak kepentingan pemerintah
kolonial Belanda.
Jika kita amati saat ini, tak pelak merupakan ironi sejarah. Kennedy,
Presiden Amerika justru berada satu haluan dengan Bung Karno dan
pemerintah Indonesia yang dalam periode 1960-1963 justru sedang
gencar-gencarnya memperjuangkan kembalinya Papua ke tangan Indonesia.
Sedangkan Jouwe yang notabene putra Papua, malah mendukung Belanda, dan
setuju bujukan Belanda untuk mewacanakan Papua Merdeka sebagai kontra
isu terhadap perjuangan Indonesia merebut Papua atau Irian Barat.
Dalam buku tangan-tangan Amerika, karya Hendrajit dan kawan-kawan,
terungkap bahwa keputusan Kennedy menekan Belanda agar melepas Papua,
pada akhirnya memicu kemarahan para pengusaha tambang di Amerika yang
dikuasai oleh dinasti Rockefeller, karena lepasnya Belanda dari Papua,
telah mengacaukan semua rencana-rencana bisnis jangka panjang
pengusaha-pengusaha Tambang Amerika, Inggris dan Belanda yang sudah
disiapkan saat itu.
Sehingga Kennedy dan Bung Karno, praktis sejak saat itu dinyatakan
sebagai musuh bersama yang harus disingkirkan. Ketika Kennedy tewas
terbunuh di Dallas, Texas, pada 1963, Presiden Lyndon B Johnson yang
menggantikan Kennedy, menerapkan kebijakan luar negeri yang lebih
bermusuhan terhadap pemerintahan Bung Karno.
Penggalan kisah pertemuan dan percakapan Nicolaas Jouwe bersama Kennedy,
semakin memperkuat berbagai studi sejarah sebelumnya yang menyatakan
bahwa Kennedy memang sepenuhnya mendukung lepasnya Papua dari Belanda,
dan mengembalikannya kepada Indonesia.
Terbukti bahwa pertemuan bersama Kennedy tersebut dilangsungkan setelah
Perjanjian Belanda dan Indonesia ditandatangani di New York 15 Agustus
1962 mengenai Papua Barat. Sedangkan pertemuan Jouwe dengan Kennedy
berlangsung pada 16 September 1962.
Namun Jouwe sejak 1961, jadi setahun sebelum bertemu Kennedy pada 1962,
praktis sudah bermukim di Belanda. Hanya karena dijanjikan jadi
presiden Papua, Jouwe malah ikut merintis terbentuknya OPM, seraya tetap
menjadi Pejabat Negara Pemerintahan Belanda, dan menjadi perutusan
pemerintahan Kerajaan Belanda ke Amerika untuk menghadiri sidang-sidang
di Perserikatan Bangsa-Bangsa mewakili Pemerintahan Belanda.
Jouwe dan Perspektif Baru Memaknai Papua
Salah satu bentuk pertobatan Jouwe ketika kembali bergabung dengan NKRI
adalah sumbangannya dalam membentuk opini baru kepada masyarakat
terhadap sejarah Papua masuk dalam orbit penjajahan Belanda.
Sejarah penjajahan Belanda bermula pada 1928 ketika Ratu Belanda
memerintahkan Gubernur Jenderal Marcus dari Hindia Belanda di Batavia
untuk melakukan aneksasi Papua Barat yang meliputi wilayah tersebut.
Pada 1928 ada daerah Jerman di Pasifik yang berbatasan dengan Belanda.
Papua kemudian dianeksasi menjadi daerah dari Kerajaan Belanda sekaligus
dimasukkan ke dalam daerah koloni Hindia Belanda. Sejak saat itu, Papua
dinyatakan sebagai daerah milik Belanda. Sehingga Hindia Belanda
memiliki wilayah jajahan dari Sabang sampai Merauke.
Ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, Belanda menolak
melepaskan sebagian wilayah Hindia Belanda, dan membagi jadi dua bagian:
Sebagian dari Sorong sampai dengan yang sekarang disebut Jayapura, satu
bagian lagi dari Sabang sampai Maluku yang diakui Belanda sebagai
Indonesia.
Menurut pandangan Jouwe yang tidak dipahami anak-anak Muda Papua
sekarang, Papua sejatinya sudah masuk Indonesia secara resmi melalui New
York Agreement pada 15 Agustus 1962 di mana dinyatakan bahwa Belanda
harus serahkan West Papua kepada Indonesia.
Dengan demikian, niat baik Jouwe untuk bertemu masyarakat Papua dan
menjelaskan sejarah ini, patut kita beri apresiasi yang
setinggi-tingginya. Karena secara gamblang Jouwe mengatakan, hanya
melalui cara inilah penderitaan masyarakat Papua akibat hasutan kelompok
tertentu dapat segera diakhiri.
Menarik, karena pastilah yang dimaksud Jouwe kelompok tertentu adalah
para elit OPM, yang notabene Jouwe adalah salah satu pendiri dan
perintisnya.
Bravo Nicolaas Jouwe.
Penulis : Hendrajit, Direktur Eksekutif Global Future Institute
Sumber: http://www.theglobal-review.com/content_detail.php?lang=id&id=13464&type=4#.UuyGBsQW0YM
Bravo Nicolaas Jouwe.
Penulis : Hendrajit, Direktur Eksekutif Global Future Institute
Sumber: http://www.theglobal-review.com/content_detail.php?lang=id&id=13464&type=4#.UuyGBsQW0YM
![]() |
Nicolaas Jouwe sesaat tiba di Sentani, Jayapura |
0 Response to "NICOLAAS JOUWE, Kisah Pendiri OPM yang kembali ke Pangkuan Ibu Pertiwi"
Post a Comment