Australia, Tetangga yang Buruk

Headline

Oleh Darmawan Sepriyossa dan Teguh Setiawan

Skandal mata-mata—yang berakhir tanpa permintaan maaf Australia, hanyalah contoh kecil buruknya Australia memperlakukan Indonesia, tetangganya sendiri. Apa yang membuat sikap buruk itu terus dipelihara Negeri Kangguru?

Barangkali, kita harus memalingkan wajah ke belakang, menelisik sejarah hubungan kedua negara. Tampaknya yang sejak lama diinginkan Australia bukanlah Indonesia, persatuan wilayah yang terentang dari Sabang hingga Merauke. Bagi mereka, negara-negara terpisah semacam Bijeenkomst voor Federaal Overleg (BFO), bikinan Belanda di masa lalu, lebih membuat nyaman. Tak masalah bagi mereka untuk berhubungan satu-persatu dengan para penguasa semisal Presiden Raden Naon Tea dari Negara Sunda; Raja Andi Syafah Namanya dari Kerajaan Sulawesi, dan sebagainya. Mereka tak menginginkan Indonesia, sebuah raksasa berpenghuni ratusan juta jiwa. Apalagi sebagian besarnya Muslim.

Kandasnya harapan terakhir Australia agar wilayah bekas-bekas jajahan Belanda gagal menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) terjadi tahun 1960-an. Belanda, tak mampu menjadikan Papua sebagai wilayah penampungan seluruh pendukungnya yang diharapkan meninggalkan Jawa, Sumatera, Bali, Kalimantan, Sulawesi, dan Ambon, setelah 1949.

Dengan pandangan geopolitik seperti itu, Australia memang berharap Papua, baik Papua Nugini maupun Papua, menjadi buffer zone yang memastikan keamanan sisi utara Australia.

Ketika Soekarno melancarkan operasi militer untuk membebaskan Papua, Canberra hanya bisa menyaksikan Belanda terusir secara menyedihkan dari tanah jajahan terakhirnya di Nusantara. Tetapi terbatasnya kemampuan militer membuat Canberra sama sekali tidak mengirim kapal perang untuk membantu Belanda.

Jangan salah. Pada 1950-an, Australia menggelar Operasi Claret untuk membendung upaya Indonesia mencaplok bekas tanah-tanah jajahan Inggris. Operasi itu tergolong berhasil, hingga Sarawak dan Sabah tidak menjadi bagian Indonesia.

Tetapi selebihnya mereka gigit jari. Warga kulit putih, terutama para pemukim asal Inggris Raya, tidak rela melihat salah satu bangsa besar di Asia berada di depan pintu rumah mereka.

Di tahun 1970-an, Australia tidak bisa berbuat apa-apa ketika Indonesia mencaplok Timor Timur dengan alasan memerangi komunis. Apalagi ketika negeri itu melihat bahwa AS—yang mereka takuti, pun memberi ‘restu’ diam-diam, demi kepentingan Perang Dingin.

Tidak aneh Australia melakukan semua cara untuk melepaskan Timor Timur dari Indonesia setelah Perang Dingin berakhir. Canberra bersedia membayar harga berapa pun, termasuk memberi makan rakyat Timor Timur dan kehilangan penghasilan perdagangan dengan Indonesia, untuk memerdekakan bekas tanah jajahan Portugis dan menjadikannya client state.

Menunggangi misi PBB Interfet, lalu UNAMET-United Mission on East Timor), sebelum badan itu beralih menjadi UNTAET—UN Transitional Administration in East Timor, Australia berhasil menjalankan misinya memisahkan Timor Timur.

Awalnya, misi PBB di Timtim itu adalah Interfet (International Force for East Timor) dipimpin perwira tinggi Australia, Mayor Jenderal Peter Cosgrove. Dari awal, memang ada skenario untuk segera melepaskan Timtim. Banyak publikasi saat itu, diantaranya Majalah Gatra menulis bahwa Interfet, juga UNAMET dituding tidak netral.

Gatra edisi 14 Agustus 1999 menulis, seorang ibu, Maria Boe Mali, 26 tahun, datang ke pos pendaftaran. Ibu muda asal Desa Batugede, Kabupaten Bobonaro, itu disambut dua petugas lokal tim UNAMET. Kedua petugas itu, Martinho Dios Reis dan Avina Freitas, melayani Maria dengan baik. "Ibu mau ikut mendaftar. Nanti dalam jajak pendapat, Ibu pilih apa?" Maria menjawab akan memilih opsi bergabung dengan Indonesia. Mendengar jawaban ini, kedua petugas lokal UNAMET itu mengatakan, UNAMET datang bukan untuk Indonesia, melainkan untuk kemerdekaan Timor Timur.

Sukses Australia melepaskan Timor Timur tidak lepas dari operasi mata-mata yang berlangsung sekian lama, tanpa waktu jeda. Sejak 1950-an, menurut Philip Dorling -- National Affairs and Defence Correspondent untuk The Canberra Times – Australia secara aktif menjadikan kedutaan besarnya di Jakarta sebagai pusat operasi intelejen. Semua dibuka Dorling dalam artikelnya di Sidney Morning Herald, 31 Oktober 2013, ’Secret Spy Station on Cocos Islands’.

Masih menurut Dorling, dalam catatan harian tak dipublikasikan, Sir Walter Crocker memaparkan pelanggaran diplomatik yang dilakukan Australia dengan mengoperasikan Defence Signals Directorate (DSD) sejak pertengahan 1950-an, dan seterusnya.

Indonesia bukan tidak melakukan kontra intelijen. Menggunakan Hagelin Cypher Machine buatan Swedia yang ditempatkan di Kedubes Indonesia di Canberra, Indonesia berusaha menyadap pembicaraan elite-elite politik Negeri Kangguru itu.

Dorling mengklaim GCHQ, perangkat intelejen untuk membantu Defence Signal, mengacak cara kerja Hagelin. Kegagalan ini, karena tidak bocor ke publik, membuat hubungan pemimpin kedua negara berjalan adem ayem seperti biasa.

Australia juga menempatkan Defence Signals Radio Facility di Shoal Bay, di luar Darwin, untuk memonitor komunikasi militer Indonesia, dan memberi peringatan kepada militer Australia akan niat Indonesia mengivasi Timor Timur.

Tahun 1999, menurut Dorling, intelijen Australia mendulang sukses luar biasa ketika mampu membocorkan rahasia intelejen pertahanan Indonesia. Ini memperlihatkan betapa intelijen Australia memiliki akses yang luas ke komunikasi militer dan sipil.

Ketika terjadi pembakaran Dili oleh milisi pro-Jakarta, September 1999, militer Australia sama sekali tidak terkejut. Australia bahkan telah memperingatkan penduduk akan kemungkinan itu.

Sejak Australia dipimpin PM Robert Menzies, seluruh perdana menteri Australia diberi tahu adanya penetrasi DSD secara terus menerus terhadap komunikasi diplomatik, militer, dan sipil, terhadap Indonesia.
Kabarnya, Paul Keating--PM Australia paling akrab dengan pemimpin Indonesia, tahu semua pembicaraan Soeharto dengan menteri-menterinya. Terutama yang menyangkut hubungan Indonesia-Australia, dan diplomasi regional. Tidak hanya itu, Keating juga memberikan banyak informasi kepada Soeharto soal Mahathir Mohamad dan pandangan politik Malaysia terhadap Indonesia, karena Canberra juga menyadap ruang kabinet di Kuala Lumpur.

Pada perkembangan selanjutnya, DSD tidak hanya menyediakan data pembicaraan para petinggi Australia, tapi juga mampu menampilkan gambar-gambar paling pribadi SBY, serta rekan-rekan politiknya. Semua operasi ini tidak hanya dijalankan Australia, tapi juga AS, Selandia Baru, Kanada, dan Inggris.

Kelima negara itu, menurut Dorling, terlibat dalam program Five Eyes. Setiap hasil penyadapan tersaji sedemikian rupa, dan bisa dibaca di Washington, Wellington, Ottawa, dan London. Sandi operasi ini adalah STATEROOM , dan dijalankan di ruang rahasia di Kedubes Australia di Jakarta.

Tulisan dimuat di: Inilah.com

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Australia, Tetangga yang Buruk"

Post a Comment