Diplomasi dalam Ancaman Lenyapnya Palestina

Ahyudin, Presiden ACT

Oleh: Ahyudin (President ACT)

Membayangkan punya Tanah Air seluas sepetak tanah setara separuh kota Jakarta, tadinya berpuluh kali luasnya berangsur hilang berpuluh tahun? Membayangkan anak-anak lahir ditingkah deru pesawat tempur musuh, dijatuhi berton-ton bom mematikan, simultan dengan hilangnya ribuan jiwa, berbilang tahun, yang terhenti sesaat oleh suara-suara hebat di meja-meja diplomasi, lalu secara pasti tanah negeri kembali berkurang. Berkurang. Sampai suatu saat hilang!

Palestina, negeri itu. Palestina bangsa itu, dihadapan Israel bangsa pelahap tanah pelenyap nyawa berlumur permusuhan pada kehidupan, digdaya dalam lindungan banyak negara adikuasa. Satu negeri berteman Tuhannya, berhadapan negeri berteman banyak sekutu pengusung demokrasi dan hak-hak azasi manusia, sekaligus pedagang mesin pemusnah nyawa yang hebat. Siapa musuh kehidupan? Siapa sahabat pembangun peradaban damai? Mesin-mesin perang pun tak beristirahat menyalak kecuali sejenak ladeni basa-basi diplomasi tanpa signifikansi.

Lalu kubaca pesan pemimpin negeriku, Indonesia, di penghujung masa jabatannya, di tahun terakhirnya berkuasa. Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menulis di koran berbahasa Inggris yang terbit di Singapura, The Straits Times (31 Juli 2014), Call for Long-term Peace Effort in Gaza. Paparan Yudhoyono sejenak melecut sadar. Indonesia negeri besar, besar wilayahnya, lapang dadanya setelah beratus tahun diuji penjajahan, berpuluh tahun diguncang konflik komunal, antaragama dan masih bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan 34 provinsi, lima di antaranya berstatus khusus atau istimewa  (Aceh,  Jakarta,  Papua, Papua Barat, dan Yogyakarta). Dari ke-34 provinsi itu, 10 berada di Pulau Sumatera, enam di Pulau Jawa, lima di Pulau Kalimantan, enam di Pulau Sulawesi, tiga di Kepulauan Nusa Tenggara, dua di Kepulauan Maluku, dan dua lagi di Pulau Papua.

SBY mengatakan, “Sebagai seorang Presiden yang saat ini tengah memimpin sebuah negara dengan penduduk Islam terbesar di dunia, tentu saya tidak hanya bersedih dan marah. Hingga saat ini saya juga aktif melaksanakan diplomasi beserta para menteri dan diplomat Indonesia, termasuk dengan Sekjen PBB Ban Ki-moon, dan Presiden Palestina Mahmoud Abbas, tetapi situasi yang ada di Gaza kenyataannya bertambah buruk. Oleh karena itu, dari Jakarta, saya harus meneriakkan seruan moral kepada seluruh bangsa di dunia, utamanya para pemimpin dunia, dan utamanya lagi kepada pemimpin Israel dan Hamas, untuk segera menghentikan kekerasan dan tragedi di kawasan itu. Dengan seruan ini saya berharap para pemimpin dunia segera mengambil tanggung jawab bersama dan benar-benar bisa melakukan atau ‘memaksakan’ gencatan senjata dan mengakhiri operasi-operasi militer yang nampaknya makin tidak pandang bulu.”

Secara keseluruhan, opini  SBY layak mendapat respon positif elemen kemanusiaan dunia, terutama dari anak bangsa Indonesia sebagai stimulan merekat sinersitas global.  Selain sinergi struktural ke negara, perlu langkah sinergis elemen civil society dunia, menggaet elemen berbagai bangsa menyikapi serangan atas Palestina sebagai penghancuran kemanusiaan. Dunia perlu diingatkan, diam atas kebiadaban atau diplomasi tanpa signifikansi kemanusiaan, berarti segaris dengan kekejaman itu sendiri.

Opini simpatik SBY tentang krisis Palestina, bisa menjadi alternatif bersikap. Organisasi Aksi Cepat Tanggap (ACT) yang menerima luapan kepedulian rakyat Indonesia dari berbagai provinsi, perlu menemui Presiden RI secara formal dan hadir  sebagai elemen bangsa mewakili sekian ratus komunitas anak bangsa yang mengamanahkan kepeduliannya untuk Palestina. Apapun sikap SBY, harus disampaikan kepada komunitas filantropi ACT: ribuan masjid, ratusan komunitas, puluhan ribu filantropi perorangan dan sekian ratus ribu follower ACT tentang bagaimana Presiden RI melanjutkan sikap pascapemuatan opini di  harian The Straits Times itu. Opini (atau ‘surat terbuka’) bukan sikap puncak seorang Presiden negara sebesar dna seluas Indonesia. Ada jutaan rakyat Indonesia bersama Pak SBY mendukung sikap lebih signifikan atas Israel segera. Langkah Indonesia selalu dalam sorotan dunia. Mampukah Indonesia menjadi teladan banyak bangsa dalam menunjukkan sikap nyata menyelamatkan kehidupan di Palestina, juga di negeri-negeri lain di mana nyawa manusia dilenyapkan dengan mudah.

Saat dunia menyaksikan, Indonesia mengawal diplomasi mengokohkan kedamaian. Langkah nyata menghentikan penghancuran kemanusiaan harus dipastikan berjalan tulus bukan sekadar jeda serangan yang berakhir pada pengurangan (lagi-lagi) hak Palestina atas tanah air, kedaulatan sekaligus akhir blokade atas akses pendukung kehidupan. Sebagai bangsa yang mengalami penindasan panjang (versi sejarah dunia menyebut 350 tahun di bawah VOC), tentu faham pahitnya dijajah.  Bangsa besar, bukan sekadar kebesaran wilayah dan besarnya penduduk, tapi kesanggupannya menolong bangsa-bangsa lainnya sebagai sudah dilakoni anak-anak bangsa melalui institusi kemanusiaan seperti Aksi Cepat Tanggap yang masih meneruskan penunaian amanah kemanusiaan rakyat Indonesia untuk Palestina.

Terakhir, jelang Idul Fitri lalu, ACT telah menunaikan pendistribusian 50 ton gandum, 5 ton daging dan seribu paket pakaian lebaran untuk anak-anak Palestina. Ini, sejenak menjadi hiburan di tengah kehilangan banyak sanak-saudara warga Palestina di Jalur Gaza. Sebentuk cinta dari Indonesia, perlu dukungan nyata menjadikan Palestina berdaulat dan mandiri, tak lagi dalam belas kasih semata dari bangsa-bangsa lain. Palestina, saudara kita, bagian satu tubuh kemanusiaan dengan Indonesia dan dunia, yang membuat kita cacat selama Palestina belum berdaulat. Pangan, sandang, medis, hanya wujud bantuan fase darurat, bukan inti dari bantuan itu sendiri. Dan SBY, bisa memilih, akankah ia husnul khatimah, mengakhiri jabatan kepresidenannya dengan akhir yang baik. 

Sumber: ROL

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Diplomasi dalam Ancaman Lenyapnya Palestina"

Post a Comment