Pangeran Diponegoro dan “Ideologi Transnasional”

Diponegoro Pangeran Diponegoro dan Ideologi Transnasional
Oleh: Usyaqul Hurr, Pengamat Gerakan Islam

Rabu 27 Agustus 2014 suasana di sekitar tugu proklamasi masih dipadati kendaraan-kendaraan bermotor menginjak pukul.19.30 bertepatan waktu akhir lalu lintas pulang kantor. Sekumpulan orang yang tertarik dengan sebuah diskusi bertajuk “Strategi Menjinakkan Diponegoro” yang merupakan judul buku dari disertasi Prof.DR. Saleh As’ad Djamhari pensiunan ABRI berpangkat akhir Kolonel yang masih aktif mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia program studi ilmu sejarah.

Kesempatan pertama pemaparan diberikan kepada penulis Prof.DR.Saleh yang menjelaskan secara singkat latar belakang hingga “takluk”nya Diponegoro dalam perang Jawa selama 5 tahun (1825-1830). Prof.DR. Saleh menegaskan bahwa latar belakang bangkitnya Diponegoro untuk melakukan perlawanan jelas atas dasar Islam dalam rangka melawan wong kapir dengan tujuan mendirikan Balad Islam tanah Jawa.

Ia juga menambahkan berdasarkan temuan-temuan pada literatur sejarah yang otentik bahwa langkah Diponegoro bukan sekedar membebaskan tanah Jawa dari penjajahan Belanda namun perlawanannya bertujuan mempertahankan budaya Islam dan Jawa dan merubah peradaban masyarakat Jawa dibawah naungan Islam yang bersumber dari Al Quran.

Prof. Peter B.R. Carey sebagai narasumber kedua seorang pakar sejarah perang jawa yang meneliti seputar sepak terjang Diponegoro selama 40 tahun menyampaikan hal senada bahwa perang Jawa yang dipimpin Pangeran Diponegoro berlatarbelakang semangat Islam.

Diponegoro sendiri yang mengganti namanya menjadi Ngabdul Khamid, merubah cara berpakaian meniru cara berpakaian ala orang-orang Turki Utsmani serta menamai jenjang kepemimpinan pasukannya dengan nama kepangkatan yang juga dipakai oleh pasukan Turki Utsmani, ini merupakan fakta bahwa Diponegoro sangat terinspirasi oleh Imperium Turki Utsmani.

Hal ini ditambah dengan dikobarkannya semangat Perang Sabil yang merupakan sebutan Jihad Fisabilillah di masyarakat nusantara pada masa itu. Sejumlah target Diponegoro yang dipandang “radikal” pun turut mewarnai perang tersebut diantaranya perubahan hukum yang berlaku menjadi hukum Islam berlandaskan Al Quran.

Carey juga menambahkan dalam sesi wawancara dengan salah seorang jurnalis bahwa dampak peninggalan perang Jawa dengan ideologi Islam yang digagas oleh Diponegoro pada masyarakat Jawa diantaranya adalah semakin maraknya pesantren-pesantren di Jawa,”Ya pesantren yang tersebar seperti Termas di Pacitan, Wonokromo, Mlangi, Kendal, Ponorogo, Tegal sari. (Itu semua) punya silsilah dari zaman Diponegoro sampai sekarang, kemudian orang-orang di Jawa mengirim putra-putranya untuk belajar di peantren-pesantren khususnya di Jawa Tengah dan Jawa Timur,” jelasnya.
Ketika mendengar pemaparan-pemaparan narasumber termasuk sesi wawancara, penulis menjadi teringat dengan satu terminologi yang mulai dipopulerkan oleh mantan ketua umum PBNU Hasyim Muzadi pada tahun 2007 yaitu apa yang disebut dengan ‘ideologi transnasional’.

Dalam pernyataannya, PBNU diwakili Hasyim Muzadi mendesak pemerintah untuk bersikap tegas kepada ideologi yang dibawa oleh gerakan politik dunia,“Jika tidak, maka jelas akan merusak atau mengganggu keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan Pancasila,” tegas Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi kepada wartawan di Kantor PBNU.

Hasyim menambahkan, “Seperti Hizbut Tahrir, Ikhwanul Muslimin, Mujahidin, Al-Qaeda dan sebagainya. Mereka itu adalah gerakan politik, bukan gerakan keagamaan. Karena, gerakan seperti itu muncul dari situasi politik di negara asalnya. Dan itu tidak hanya pada Islam, di agama lain pun ada” (lihat link berikut http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,1-id,8920-lang,id-c,warta-t,PBNU++Ideologi+Transnasional+Harus+Di+Indonesia+kan+Dulu-.phpx )

Pernyataan Hasyim Muzadi ini diamini oleh sejumlah pihak yang sepemikiran dengannya, walaupun Hasyim Muzadi menyebut ada agama lain yang juga memiliki gerakan serupa, namun pernyataan tersebut jelas ditujukan kepada gerakan Islam dimana pada tahun-tahun itu kampanye antiterorisme dan radikalisme sedang gencar dikampanyekan.

Bahkan NU masih aktif terus memelihara isu ini guna memarginalkan gerakan Islam yang dipandang oleh mereka kurang menghargai budaya Indonesia, kesimpulan yang premature dari NU yang lebih berisi provokasi menyatakan bahwa maraknya gerakan Islam yang didasari ‘ideologi transnasional’ dapat memicu friksi di tengah masyarakat, pada kenyataannya kesimpulan itu harus dikaji ulang berdasarkan fakta di lapangan. (lihat link http://nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,2-id,48929-lang,id-c,daerah-t,Ideologi+Transnasional+Ciptakan+Friksi+di+Masyarakat-.phpx )

Bila kita kembali melihat sejarah munculnya organisasi Nahdlatul Ulama, maka kita akan melihat akar mereka dari pondok-pondok pesantren yang tersebar di pulau Jawa, basis massa utama NU pada awal berdirinya adalah kaum santri. Silahkan buka kembali lembaran sejarah berdirinya NU, maka anda akan menemukan kata ‘pesantren’ sebagai kunci lahirnya NU.

Kita kembali kepada fakta sejarah perang Jawa yang dipimpin oleg Diponegoro yang telah member dampak pada perkembangan pesantren-pesantren di Jawa dan bangkitnya kaum santri. Diponegoro yang terinspirasi oleh Khilafah Turki Utsmani pada masa itu bisa dikatakan sedang menjalankan gerakan politik yang berlandaskan ‘ideologi transnasional’, Khilafah Turki Utsmani jauh dari pulau Jawa, ia adalah kekuatan politik diluar nusantara.

Sejatinya memang ajaran Islam itu bersifat universal, tidak terikat ruang dan waktu, Islam akan bisa disesuaikan dan dikembangkan di wilayah manapun di dunia. Islam memang lahir sebagai sebuah ‘ideologi transnasional’

Alangkah bijaknya bila mereka yang sekarang menggugat ‘ideologi transnasional’ yang diidentikkan dengan gerakan Islam khususnya PBNU mengkaji ulang sejarah. Mereka tidak boleh lupa akar serta basis mereka yang lahir di Jawa.

Pesantren-pesantren yang menjadi basis mereka diantaranya adalah buah perjuangan tokoh Islam bernama Pangeran Diponegoro alias Pangeran Ngabdul Khamid yang berjuang untuk menegakkan Balad Islam Tanah Jawa dengan gagasan transnasional yang diimpor dari Khilafah Turki Utsmani. PBNU tidak boleh menjadi “kacang yang lupa kulitnya” kecuali PBNU memang hanyalah kacang tanpa kulit.

 Catatan:
“Namaku bukan Dipanegara lagi, tetapi NgabdulKhamid” (Babad I, hal.188)
“Bagi Diponegoro, ia adalah Khalifah Nabi Allah dalam perang suci di tanah Jawa” (Peter B.R. Carey, Takdir Riwayat Diponegoro, hal.322)

Sumber: Islampos

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Pangeran Diponegoro dan “Ideologi Transnasional”"

Post a Comment