Bukannya didengar aspirasinya, para pekerja yang menyampaikan protes terhadap kebijakan McDonald justru diberikan sanksi oleh perusahaan. Atas tindakan tersebut, badan pengawas tenaga kerja pemerintah Amerika Serikat menilai McDonald telah melakukan pelanggaran berat.
Dikutip dari laman CNN News, Minggu 21 Desember 2014, The National Labor Relations Board mengatakan, beberapa pekerja memprotes McDonald dan pemilik waralabanya yang mengenakan sanksi diskriminatif pada para pekerja yang ikut protes menuntut kenaikan gaji.
Menurut penasihat The National Labor Relations Board, pemilik restoran cepat saji itu mengurangi jam kerja pada beberapa pekerja yang ikut dalam demo.
McDonald dan pemilik waralabanya juga terlibat dalam tindakan koersif lainnya terhadap karyawan, seperti melakukan pengawasan, interogasi, dan membatasi kemampuan pekerja melakukan komunikasi dengan serikat pekerja.
Adapun, gerakan dari pekerja yang menuntut upah lebih tinggi dan pengobatan yang lebih baik sudah berlangsung dalam tiga tahun terakhir di beberapa negara. Mereka menuntut kenaikan gaji hingga US$15 per jam.
Sebagian besar 14.000 restoran McDonald di Amerika Serikat dimiliki oleh franchise. Hal ini memungkinkan perusahaan untuk bertanggung jawab terhadap pelanggaran yang dilakukan itu.
Protes berasal dari 291 pelanggaran ketenagakerjaan yang diajukan sejak November 2012, ketika demo ke restoran cepat saji ini dimulai.
Penasihat umum lembaga buruh menemukan 86 kasus yang diajukan di puluhan kota AS, termasuk New York, Los Angeles, Atlanta, Chicago, Philadelphia, dan lainnya.
Protes adalah tahap awal permasalahan hukum yang panjang. Namun, yang menjadi masalah adalah apakah McDonald bisa dianggap sebagai "majikan bersama" dengan pemilik waralabanya.
Penasihat The National Labor Relations Board akan membawa kasus ini ke ranah hukum administrasi dan hakim yang akan menentukan apakah McDonald dapat bertanggung jawab di bawah National Labor Relations Act. Sidang perkara ini akan dimulai pada Maret 2015. (viva/kabarpapua.net)