Sultan Brunei Larang Restoran Buka Sepanjang Puasa Ramadhan



Kesultanan Brunei Darussalam secara resmi melarang rumah makan untuk buka pada siang hari selama bulan Ramadan. Ini adalah tahun kedua Brunei menerapkan larangan tersebut.

Diberitakan Channel NewsAsia, Kamis (18/6), larangan ini berlaku mulai subuh hingga magrib untuk semua rumah makan di Brunei tanpa pandang bulu, termasuk restoran yang dimiliki warga non-Muslim.

Larangan juga berlaku untuk semua warung yang menjual makanan dan minuman, kecuali fasilitas medis. Bagi Non-Muslim, makanan dan minuman bisa dipesan, namun harus dimakan di rumah atau jauh dari pandangan warga yang berpuasa.

Larangan yang diberlakukan sejak tahun 2014 ini adalah bagian dari penerapan hukum Syariah di Brunei, negara kecil Asia Tenggara yang berpopulasi 420 ribu orang, 66 persennya Muslim.

Wacana penutupan rumah makan selama Ramadan juga sempat ramai di Indonesia. Muncul pro dan kontra di masyarakat setelah Menteri Agama Lukman Hakim mengatakan dalam Twitter-nya bahwa warung-warung tidak perlu dipaksa tutup untuk menghormati hak warga yang tidak berpuasa.

Di Brunei juga sempat muncul pro-kontra saat larangan pertama kali diterapkan tahun lalu. Brunei Times melaporkan ada sedikitnya 17 pengusaha restoran mengirim surat protes pada Kementerian Agama Brunei, meminta izin melayani pelanggan non-Muslim selama siang hari Ramadan.

Tidak keberatan

Mayoritas pemilik usaha tahun ini mengaku tidak keberatan dan mematuhi pada larangan tersebut. Menurut mereka, buka di siang hari Ramadan juga tidak akan mendapatkan banyak pelanggan.

"Bisnis sangat sepi. Perlu diingat, di Brunei tidak banyak orang. Tidak seperti di Singapura atau Malaysia. Jadi tidak ada gunanya tetap membuka warung," kata Jessica, mantan pemilik restoran.

Banyak warga non-Muslim di Brunei menerima hukum Syariah Islam yang diterapkan di negara itu. Bahkan larangan untuk memajang pernak-pernik Natal dan aksesoris agama lainnya juga tidak mengundang protes dari warga.

"Mayoritas warga Brunei menerima filosofi Kerajaan Islam Melayu--bahwa ini adalah negara Muslim. Kita harus mematuhi peraturan dan larangan," kata Teh, seorang pensiunan keturunan Tionghoa.

Professor James Chin, Rektor Institut Asia Tasmania mengatakan masyarakat minoritas telah terbiasa dengan gaya hidup di Brunei. Warga keturunan Tionghoa telah tinggal di negara itu sejak abad ke-15.

"Warga minoritas di Brunei menerima kenyataan bahwa Brunei adalah negara Islam-Melayu dengan kepemimpinan monarki absolut dan mereka hanya harus mengikuti peraturan jika ingin tinggal di negara itu," kata Chin.

Selain itu, larangan bagi warga non-Muslim dirasa tidak berat dan sepadan dengan jaminan kesejahteraan dan keamanan yang mereka terima di salah satu negara terkaya dunia itu. Di Brunei, ongkos kesehatan dan pendidikan ditanggung negara.

"Ini adalah negara yang damai dan semua orang di sini sangat baik dan gemar membantu," kata Catherine Wong, ahli nutrisi asal Malaysia yang memutuskan jadi warga Brunei lima tahun lalu.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Sultan Brunei Larang Restoran Buka Sepanjang Puasa Ramadhan"

Post a Comment