Oleh: Sunardi,
S.Pd, M.PFis*)
Setiap tanggal 1 Mei, kita di
Papua memperingati suatu peristiwa besar yakni kembalinya Papua ke Pangkuan
NKRI. Pada peringatan hari yang sering disebut sebagai hari integrasi Papua ke
NKRI ini, izinkan kami untuk mengajukan suatu tulisan pendek sebagai refleksi
atas perjuangan panjang untuk mewujudkannya. Tujuannya adalah agar generasi
muda bangsa ini bisa merasakan daan menghargai perjuangan dari generasi pendahulunya,
yang saat ini sudah semakin dilupakan.
Sejak zaman Majapahit, Papua telah
menjadi bagian tidak terpisahkan dari negeri yang besar ini, yang saat itu
bernama Nusantara. Perasaan senasib dengan wilayah lainnya semakin menguat,
manakala bangsa Belanda bercokol dan menduduki wilayah ini. Beratnya kehidupan
di bawah pemerintahan kolonial telah mendorong eleman anak bangsa termasuk di
Papua untuk membebaskan dan memperoleh kemerdekaan diri bangsa penjajah.
Kemauan yang kuat untuk merdeka itu mendapatkan momentumnya ketika Jepang yang
saat itu sedang mencengkeramkan kekuasaannya atas negeri ini, bertekuk lutut
terhadap pasukan Sekutu.
Dua hari pasca
bertekuklututnya Jepang kepada Sekutu dalam Perang Dunia Kedua, bangsa
Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Tentara Jepang
di Jakarta telah gagal melarang pengucapan proklamasi itu, selanjutnya berusaha
memboikot meluasnya berita tersebut. Namun, upaya ini gagal. Kantor berita
Domei berhasil menyiarkan proklamasi itu ke seluruh wilayah Indonesia dan bahkan
ke seluruh dunia.
Sehari setelah proklamasi,
pemerintah Indonesia bersama Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) menetapkan
wilayah negara ke dalam 8 provinsi, yaitu Sumatera, Jawa Barat, Jawa Tengah,
Jawa Timur, Sunda Kecil, Kalimantan, Sulawesi dan Maluku. Daerah Irian Jaya
(nama Papua saat itu) dimasukkan ke dalam bagian dari Provinsi Maluku. Hanya
saja, untuk sementara waktu di daerah Irian Jaya belum dapat ditempatkan
pejabat-pejabat pemerintah, karena di daerah ini masih bercokol pemerintah
kolonial Belanda.
Berita proklamasi itu menyebar
melalui Perserikatan Orang-orang Pengasingan Politik Indonesia (Indonesian
Political Exile Association, IPEA) di Australia pada akhir Agustus 1945 melalui
pamflet-pamflet yang mereka buat. Dengan bantuan dari para awak kapal, pamflet
IPEA itu tersiar ke kota-kota besar di Australia, dan selanjutnya masuk ke
wilayah Indonesia seperti Balik Papan, Ujung Pandang, dan Merauke. Dari Merauke
inilah para pejuang di Papua mengetahui bahwa Indonesia telah merdeka.
Rakyat Papua menanggapi berita
tersebut dengan sebuah insiden bendera pada tanggal 31 Agustus 1945 di
Jayapura. Tanggal 31 Agustus merupakan hari kelahiran Ratu Belanda Wilhelmina.
Belanda memerintahkan seluruh masyarakat di Papua untuk mengibarkan bendera
Belanda sebagai perayaan atas ulang tahun ratunya itu. Dalam insiden itu, di
Jayapura dikibarkan bendera Sang Merah Putih secara penuh, sementara bendera
Belanda dikibarkan setengah tiang.
Jauh sebelum itu, putra-putri
Papua telah sering mengadakan rapat-rapat di Jayapura untuk merealisasikan
Indonesia merdeka. Bahkan, tiga hari sebelum proklamasi kemerdekaan, di Kampung
Harapan Jayapura telah dikumandangkan lagu Indonesia Raya oleh Marcus Kaisepo
dan Frans Kaiseipo.
Sekolah Beestur (Pamong Praja)
di Kampung Harapan (sebelumnya bernama Kotanica) ternyata menjadi pusat diskusi
kemerdekaan Indonesia. Mereka berhasil mempengaruhi putra-putra Papua dari
masyarakat sipil, anggota Polisi, dan Batalyon Papua untuk merencanakan
pemberontakan pada 25 Desember 1945 sebagai upaya untuk mewujudkan Papua
menjadi bagian Indonesia. Akan tetapi rencana itu terbaca oleh Belanda,
sehingga pada 14 Desember 1945 dilakukan penangkapan besar-basaran, hingga 250
orang ditahan. Secara kesatria, Silas Papare, Marthen Indey dan Sugoro memikul
tanggung jawab pemberontakkan itu. Ketiganya dijatuhi hukuman penjara. Bahkan
karena dinilai berbahaya, Silas Papare akhirnya dipindahkan ke Serui.
Perjuangan lewat pemberontakan
selalu gagal, maka dibentuklah organisasi bernama Komite Indonesia Merdeka (KIM)
di Melbourne pada 29 September 1945. KIM perwakilan Papua didirikan pada
Oktober 1946 diketuai oleh Dr. J.A. Gerungan, seorang dokter wanita yang
mengepalai rumah sakit di Abepura. Tercatat dalam kepengurusan itu antara lain
Latuperissa (wakil Ketua), Corinus Marsellius Krey (Sekretaris I), dan Subroto
(Sekretaris II). Saat itu Marthen Indey hanya sebagai anggota biasa.
Dalam perjalanannya,
putra-putra Papua yang kemudian memimpin Cabang KIM di Papua ini, yakni Marthen
Indey (Ketua), Corinus M. Krey (Wakil Ketua), dan Petrus Wattebossy
(Sekretaris). Pada 23 Maret 1947, Marthen Indey ditangkap oleh Belanda dan
dipenjara di Jayapura. Ikut pula ditangkap dan dipenjara Corinus M. Krey.
Petrus Wattebossy selanjutnya
mendirikan organisasi perjuangan yang bernama PIDRIS (Partai Irian Dalam
Republik Indonesia Serikat) pada tahun 1949. Petrus menjadi ketuanya, Marthen
Indey menjadi Wakil Ketua, sedangkan Corius M. Krey dan S.D. Kawab menjadi
penasihatnya. Dalam pertemuan Komisi Gabungan Indonesia Belanda pada Mei 1950,
PIDRIS menyatakan pendiriannya bahwa Irian Jaya (nama Papua saat itu) bagian
tidak terpisahkan dari Indonesia.
Perjuangan putra-putri Papua
untuk mewujudkan Papua menjadi bagian integral dari NKRI ini tentu masih
panjang bila kita ceritakan satu per satu. Agar terasa ringkas, baiklah secara
kilasan saja kami rangkumkan sejumlah peristiwa besar lainnya dalam upaya ini,
antara lain:
- Pemberontakkan sekitar tahun 1951, berupa pemberontakkan di Kamp Tentara Ifar dipimpin RJ Teppy, Pemberontakkan Pemuda Genyem dipimpin Karlos Griapon, dan pemberontakan 9 Desember 1951 di Pelabuhan Jayapura dipimpin oleh H.A. Wanda dan Bernard Sawen. Sebagai akibatnya Belanda memenjarakan tokoh-tokohnya, antara lain RJ Teppy (12 tahun penjara), Chris Korua (9 tahun), Derek Griapon (6 tahun), Obeth Lestuni (6 tahun), HA Wanda (4 tahun) dan Karlos Griapon (3 tahun).
- Dibentuk Persatuan Organisasi Gerakan Irian (POGI) di Jayapura 5 Agustus 1958 diketuai oleh HA Wanda.
- Peristiwa pengibaran bendera merah putih di Bosnik Timur, Biak pada saat ulang tahun Ratu Wilhelmina 31 Agustus 1945 (bersamaan dengan pengibaran bendera merah putih di Jayapura).
- Pembentukan Partai Indonesia Merdeka (PIM) di Biak pada 10 Juli 1946 dengan Lukas Rumkorem sebagai ketua. Rumkorem ditangkap dan dipenjara di Jayapura lebih dari setahun.
- Pemberontakan 14 Maret 1948 di Biak. Di antara tokoh yang dipenjara adalah Hanock Rumbrar (9 tahun penjara).
- Pembentukan Tentara Cenderawasih Cadangan (TCC) di Serui pada 15 September 1957 oleh Frits Sony Worabay. Kemudian organisasi ini berkembang di Biak, dengan tokoh-tokohnya Lukas Rumkorem (penasihat), David Waisiri (ketua), Sem Harry Uy (sekretaris).
- Pembentukan Partai Kemerdekaan Indonesia Irian (PKII) pada 29 November 1946, dengan tokoh-tokohnya, Silas Papare (ketua), Alwi Rahman (ketua II), Ari Kamarea (sekretaris I) dan Andreas Samberi (sekretaris II). Organisasi ini di bawah bimbingan Dr. GSSJ Ratulangie ketika diasingkan ke Serui. Organisasi ini berkembang hingga ke Biak, Manokwari dan Sorong.
- Pendirian perkumpulan perempuan bernama Ibunda Irian pada 5 Juli 1947 di Serui dengan tokoh-tokohnya Regina Aibui (ketua I), Sopia Papare (ketua II), Maria Da Costa (bendahara I), dan Yomina Yacobs (Bendahara II). Organisasi ini diprakarsai oleh Ibu Syam Ratulangie.
- Silas Papare pergi ke tanah Jawa dan membentuk Badan Perjuangan Irian (BPI) di Yogyakarta pada tahun 1949.
- Di Sorong dibentuk Persatuan Pemuda Indonesia (PPI) pada 17 Agustus 1950.
- Seorang kepala suku di Sorong bernama Sangaji Malan pada 11 November 1946 mengibarkan bendera merah putih di Masjid Doom. Karena dinilai selalu menentang Belanda, Sangaji Malan dipenjara hingga 14 tahun meskipun kemudian mendapat remisi sehingga total masa penjara menjadi 8 tahun 4 bulan.
Daftar itu masih sangat
panjang jika mau diteruskan, sehingga kami cukupkan dulu sampai di sini karena
sudah sangat memadai sebagai gambaran perjuangan putra-putri Papua saat itu. Belanda
sebenarnya sudah mengakui kemerdekaan Indonesia pada 27 Desember 1949, hanya
saja Belanda belum bersedia menyerahkan Papua. Diplomasi secara langsung
Indonesia dan Belanda tanpa perantara dari tahun 1950 hingga 1953 tidak
membuahkan hasil. Indonesia mulai membawa masalah Papua ke forum internasional
dari tahun 1954 hingga 1957. Masalah Papua dibahas berkali-kali dari mulai
sidang umum PBB IX hingga sidang umum PBB XII, tidak ada hasil konkrit yang
diperoleh. Justru PBB mengembalikan masalah Papua kepada Indonesia dan Belanda
untuk menyelesaikannya sendiri.
Melihat upaya diplomasi
ternyata gagal total, Indonesia mulai menekan dunia internasional dengan menggelar
operasi Trikora pada tahun 1958 yang mendapat sambutan luas dari masyarakat
Papua. Menanggapi hal ini, menjelang tahun 1960-an Belanda justru memperkuat
posisinya di Papua dengan memberikan peraturan kepegawaian yang memberikan posisi-posisi
strategis kepada orang-orang asli Papua. Kebijakan Belanda lainnya untuk merayu
masyarakat Papua, misalnya di bidang pendidikan didirikan Premaire Middle
School (PMS setingkat SMP) di Biak dan Jayapura, Hogere Burger School (HBS setingkat
SMA) di Jayapura, dan Kweek School (setingkat SPG) di Jayapura.
Secara politis, pada 5 April
1961 Belanda membentuk Komite Nasional Rakyat Irian Jaya (Nieuw Guinea Raad).
Kemudian pada 19 Oktober 1961 dibentuk Komite Nasional Papua dengan tugas
menyusun perangkat-perangkat seperti bendera dan lagu kebangsaan Papua. Namun
upaya Belanda ini tidak mendapat sambutan luas oleh masyarakat Papua. Karena
hal itu hanyalah akal-akalan Belanda untuk mempertahankan kekuasaannya atas
Irian Jaya.
Perjuangan bangsa Indonesia
dan rakyat Papua melalui Trikora akhirnya membuka mata Amerika. Konfrontasi
terbuka Indonesia dan Belanda menjadikan dunia internasional takut Papua akan
menjadi ‘trouble spot’ di Asia Tenggara. Wal hasil, Amerika bersedia menjadi
penengah dalam sebuah perjanjian New York 1962 dan mulai menekan Belanda.
Setelah penjanjian New York
ini, langkah pengembalian Papua ke NKRI menjadi semakin jelas. Sebagai bagian
dari persetujuan New York ini, secara resmi pada tanggal 1 Oktober 1962 Belanda
menyerahkan Papua kepada UNTEA (United Nations Temporary Executive Authority
atau Badan Pemerintah Sementara PBB). Selama pemerintahan UNTEA berlangsung,
bendera PBB dikibarkan bersama bendera Belanda hingga tanggal 31 Desember 1962.
Sedangkan bendera Indonesia mulai berkibar bersama-sama bendera PBB sejak 31
Desember 1962.
Pada 1 Desember 1962, UNTEA
menghadapi demonstrasi dari sejumlah masyarakat yang dipimpin oleh Nicolas
Youwe dan MD Kaisiepo yang menginginkan Papua merdeka sendiri. namun,
demonstrasi ini tidak mendapat sambutan dari masyarakat Papua. Akhirnya keduanya
melarikan diri ke negeri Belanda. Beberapa bulan yang lalu, Nicolas Youwe sudah
kembali ke tanah air dan menyatakan penyesalannya atas tidakkan puluhan tahun
yang lalu itu.
Akhirnya saat-saat yang
dinantikan itu pun tiba, tepatnya pada tanggal 1 Mei 1963 bendera PBB
diturunkan dan hanya bendera merah putih yang berkibar di seluruh wilayah tanah
Papua. Selanjutnya, kewajiban Indonesia adalah melaksanakan penentuan pendapat
rakyat (Pepera) di Papua. PBB memantau semua proses Pepera ini.
Sebenarnya pelaksanaan Pepera
dinilai menggelikan oleh banyak kalangan. Pasalnya, Indonesia yang sudah merdeka dan berdaulat diwajibkan
melaksanakan Pepera pada suatu wilayah yang sudah sah menjadi miliknya. Namun
karena ini bagian isi dari perjanjian New York, maka Indonesia pun
menyelenggarakannya.
Mengingat sulitnya medan di
Papua, dibentuklah Dewan Musyawarah Pepera (DMP) di masing-masing kabupaten
yang akan mewakili rakyat Papua dalam Pepera ini. Jumlah anggota DMP ini dibuat
sebanding dengan banyaknya penduduk masing-masing kabupaten. Awalnya, ditetapkan
1 anggota DMP untuk mewakili 750 orang penduduk. Namun melihat jumlah penduduk
Fakfak yang hanya 40.000 jiwa dan Jayawijaya hanya 165.000 jiwa, maka dibuat
ketentuan baru dengan batas minimal anggota DMP sebanyak 75 orang dan maksimum
175 orang di setiap kabupaten. Rinciannya yaitu kabupaten Jayapura 83.750 jiwa
dengan 110 orang anggota DMP, Teluk Cenderawasih 91.870 jiwa dengan 130 orang
DMP, Manokwari 49.874 jiwa dengan 75 orang DMP, Sorong 75.474 jiwa dengan 110
orang DMP, Fakfak 43.184 jiwa dengan 75 orang DMP, Merauke 144.171 jiwa dengan
175 orang DMP, Paniai 156.000 jiwa dengan 175 orang DMP, dan Jayawijaya 165.000
jiwa dengan 175 orang DMP. Ternyata keputusannya adalah sangat menggembirakan,
Papua memilih tetap menjadi bagian dari NKRI.
Demikian kilasan sejarah anak
bangsa di tanah Papua ini. Semoga dengan tulisan singkat ini kita bisa semakin
menghargai perjuangan para pendahulu bangsa. Semoga pula perjuangan panjang
dari para pahlawan bangsa akan mendapat balasan dari sisi Tuhan Yang Maha
Kuasa.
Papua saat ini terus
mendapatkan perhatian serius dari pemerintah terutama dalam hal mengejar
ketertinggalannya di berbagai bidang dari daerah lain di negeri ini. sebagai
bentuk kemauan kuat untuk memajukan Papua, negara telah mensahkan berlakunya Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) Bagi Provinsi Papua. Sejak
pemberlakuan UU ini, Papua di bawah pemerintahan Republik Indonesia terus
berbenah dan terus menjadikan dirinya berdiri sejajar dengan wilayah lainnya di
Indonesia. Saat ini sebagai perbaikan UU Otsus, pemerintah tengah menggodok
pemberlakuan RUU Pemerintahan Otsus di Tanah Papua yang akan dinilai oleh
banyak pengamat akan bisa menyelesaikan berbagai permasalahan yang masih
menyisa di Tanah Papua. kita doakan semoga semua berjalan dengan lancar.
Akhirnya, selamat hari
integrasi Papua ke NKRI. Selamat kembali ke pangkuan ibu pertiwi wahai wilayah
paling timur negeri ini. Engkau adalah bagian tak terpisahkan dari negeri yang
besar ini yang harus terus dijaga, dimajukan, dimakmurkan dan disejahterakan.
Semoga.
*) Penulis adalah guru SMA DDI
Entrop, Juara 1 lomba menulis essay nasional tahun 2007, dan Ketua Kelompok
Studi Papua Sejahtera.
0 Response to "Menilik Sejarah Kembalinya Papua ke Pangkuan NKRI, Sebuah Refleksi di Hari Integrasi Papua"
Post a Comment