Jokowi dan Empat Program Keagamaan yang Mencemaskan (Bagian 2, habis)

Tim Sukses Jokowi: dari kiri Ribka Tjiptaning Proletariyati, Megawati, Musdah Mulia,Megawati dan Rieke Dyah Pitaloka


Oleh: Kholili Hasib

Pemerintah daerah dan masyarakat yang bersangkutan prihatin, kemaksiatan dan kriminalitas sudah demikian hebatnya merusak anak-anak muda. Para pemimpin daerah berharap, dengan adanya peraturan ini, daerahnya menjadi aman dan bebas dari segala bentuk kejahatan. Kaum Muslimin selalu mengedepankan nilai-nilai keadaban, akhlakul karimah dan keagamaan.

Justru, misi Perda syariah selaras dengan Pancasila. Memang, nilai dan  ajaran Islam ada yang diserap ke dalam Pancasila, hal ini wajar sebab mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim.

Menciptakan masyarakat yang bermoral, berakhlak, tentram, bebas dari kejahatan dan kemunkaran adalah termasuk dari ajaran Pancasila. Perda ini dibuat juga dalam rangka membentuk manusia Indonesia yang religius, sadar dan bertanggungjawab terhadap agamanya. Dengan kondisi yang demikian, maka akan tercipta masyarakat yang aman dan tentram seperti yang telah dicita-citakan.

Perda syariah terbukti telah membawa angin kedamaian. Tidak ada warga non-Muslim yang disakiti. Malah, terbitnya perda mampu menyinari kehidupan masyarakat.

Apakah hasil positif dan terbukti membawa masyarakat ke dalam kehidupan yang tertib, aman dan beradab ini harus dicabut?

Bukan tindakan arif bijaksana bila perda ini dicabut. Perda ini seharusnya ditaati karena toh ini murni keinginan pemimpin daerah dan warga masyarakat.

Justru jika perda syariah dicabut, akan melanggar proses demokratisasi dan hak untuk menjalankan aturan agama.

Padahal, setiap warga negara mempunyai hak untuk menjalankan ajaran agama masing-masing. Sebagaimana diatur dalam UUD 1945 pasal 29 ayat 2: “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaat itu”.

Sikap-sikap mencurigai umat Islam bisa menciptakan suasana tidak kondusif. Bahkan, seperti pernah dimuat beberapa media, salah satu timses menginstruksikan untuk mengawasi khutbah-khutbah di Masjid. Ide-ide seperti tersebut sama saja berdiri menantang ulama nusantara.

Keempat, menuju Islam moderat yang tunduk Barat?

Hari Sabtu, (01/08/2014), kubu  Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) meyakini akan menekan penyebaran paham radikal di Tanah Air. Duet pemimpin nasional itu katanya akan mengusung konsep revolusi mental yang menjadi pondasi utama pembentukan mental warga negara melalui pendidikan.

“Revolusi mental yang menjadi konsepsi Pak Jokowi akan menjadi jalan meredam paham radikal yang masuk ke Indonesia,” kata juru bicara pasangan Jokowi-JK, Abdul Kadir Karding saat dihubungi wartawan, Sabtu (01/08/2014) (JPNN.com, Sabtu, 02 Agustus 2014 , “Revolusi Mental Ala Jokowi-JK Mampu Tekan Radikalisasi”).

Seperti diketahui, Indonesia kerap menjadi target radikalisasi dari negara-negara asing. Menurut Karding, mayoritas warga yang menjadi korban paham radikal berasal dari keluarga dengan kesejahteraan rendah dan paham keagamaan yang lemah.

Oleh karenanya, sambung Karding, pemerintahan Jokowi-JK akan membangun sistem pendidikan yang memprioritaskan pembentukan karakter. Sistem pendidikan yang tidak hanya menjadi jalan penyaluran ilmu pengetahuan duniawi tapi juga penanaman nilai-nilai keagamaan, kebangsaan, dan budi pekerti.

“Revolusi mental itu pendidikan yang dikembangkan dengan memuat nilai keagamaan moderat, inklusif, dan toleran,” papar Ketua DPP PKB ini.

Pasca serangan 11 September di WTC, pemerintah Amerika Serikat (AS) mencanangkan program “deradikalisasi“ yang itu juga diduplikasi di Indonesia baik oleh pemerintah atau alat-alat negara seperti BNPT.

Program deradikalisasi ini awalnya muncul dari roadmap RAND Corporation,  LSM dari Amerika Serikat yang pembiayaannya kebanyakan konglomerat Yahudi.  Salah satu program terpopulernya adalah war on terrorism (perang melawan teroris).

Hal ini pernah ditulis oleh Angel Rabasa, Cheryl Benard, Lowell H.Schwartz, dan Peter Sickle dengan dalam monografi terbitan RAND Corporation (2007) berjudul “Building Moderate Muslims Networks“.

“Penafsiran radikal dan dogmatis Islam telah mendapatkan tempat dalam beberapa tahun terakhir di kalangan ummat Islam melalui jaringan Islam dunia dan Diaspora Muslim masyarakat Amerika Utara dan Eropa. Meskipun mayoritas di seluruh dunia Muslim, kaum moderat belum mengembangkan jaringan yang sama untuk memperkuat pesan mereka dan untuk memberikan perlindungan dari kekerasan dan intimidasi. Dengan pengalaman yang cukup, membina jaringan orang-orang berkomitmen untuk ide-ide bebas dan demokratis selama Perang Dingin. Amerika Serikat memiliki peran penting sebagai pengatur permainan dalam “lapangan bermain“ untuk Muslim moderat. Para penulis mendapatkan pelajaran dari AS dan sekutu Perang Dingin, jaringan bangunan pengalaman, menentukan penerapan mereka untuk situasi saat ini di dunia Islam, menilai efektivitas program pemerintah AS, keterlibatan dengan dunia Muslim, dan mengembangkan peta jalan untuk mendorong pembangunan jaringan Muslim moderat,” begitu isinya.

Sebagaimana halnya Rand Corporation, International Crisi Group juga ada di balik proyek deradikalisasi. ICG memang fokus pada persoalan teroris di Asia tenggara khususnya Indonesia. Hal ini sebagaimana laporan mereka “Indonesian Jihadism: Small Groups Big Plans” Asian Report No204 19 April 2011. ICG memberikan rekomendasi kepada BNPT dan Menteri Hukum dan HAM.

Kampanye deradikalisasi cukup berbahaya untuk umat Islam karena berpotensi menyimpangan dan akan melahirkan tafsiran-tafsiran yang menyesatkan.

Khususnya terhadap penafsiran nash-nash syariah. Contohnya penyimpangan pada makna jihad, tasamuh (toleransi), syura, demokrasi, hijrah, thagut, muslim dan kafir,  bahkan klaim terhadap kebenaran.

Ujungnya upaya gerakan deradikaliasi ala Amerika adalah “mengkriminalisasi ide-ide syariah, daulah Islam dan khilafah”.

Tujuan deradikalisasi adalah ingin melahirkan “Islam rahmatanlil alamin” (bukan dalam pengertian Al-Quran dan Sunnah), tetapi Islam toleran yang tunduk pada Barat.

Jika ini yang dimaksud tim sukses Jokowi, tentu saja, semua programnya kelak akan berhadapan dengan umat Islam yang telah lama ‘dianiaya secara politik’ dan berpotensi memecah belah umat.

Kini, saatnya umat mengawasi semua pernyataan dan janjinya.
*)Penulis adalah anggota MIUMI Jawa Timur

Sumber: Hidayatullah.com

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Jokowi dan Empat Program Keagamaan yang Mencemaskan (Bagian 2, habis)"

Post a Comment