Penjual Amplop |
Di antara pedagang lainnya yang memiliki modal lebih besar menjual memilih pakaian, makanan atau elektronik. Namun, pria paruh baya itu rupanya tengah menjajakan barang dagangannya yakni amplop.
Ketika sebagian penjual ramai dikunjungi pembeli, ia hanya bisa meratapi karena tak satu pun dari orang-orang yang lewat menengok barang dagangannya. Sampai suatu saat seorang pemuda menghampiri pria itu bermaksud ingin membeli beberapa amplop.
Kaget bukan kepalang saat ditanya berapa harga amplop yang dijualnya. "10 amplop saya jual seharga Rp 1.000", kata pria itu. Kenapa semurah itu, ia lantas menunjukan kwitansi pembelian amplop yang seharga Rp 7.500, berarti ia hanya mengambil untung Rp 250 saja.
Bagi Anda berpenghasilan lebih, uang sekecil itu tentu tidak ada artinya. Namun uang Rp 1.000 ternyata begitu penting bagi pria itu. Demi membeli satu bungkus nasi saja ia harus menjual puluhan bungkus amplop.
Berikut ini penuturan oleh Rinaldi Munir, menyaksikan ketabahan sang bapak tua.
Setiap menuju ke Masjid Salman ITB untuk
shalat Jumat, saya selalu melihat seorang bapak tua yang duduk terpekur
di depan dagangannya. Dia menjual kertas amplop yang sudah dibungkus di
dalam plastik. Sepintas barang jualannya itu terasa “aneh” di antara
pedagang lain yang memenuhi pasar kaget di seputaran Jalan Ganesha
setiap hari Jumat. Pedagang di pasar kaget umumnya berjualan makanan,
pakaian, DVD bajakan, barang mainan anak, sepatu dan barang-barang
asesori lainnya. Tentu agak aneh dia “nyempil” sendiri menjual amplop,
barang yang tidak terlalu dibutuhkan pada zaman yang serba elektronis
seperti saat ini. Masa kejayaan pengiriman surat secara konvensional
sudah berlalu, namun bapak itu tetap menjual amplop. Mungkin bapak itu
tidak mengikuti perkembangan zaman, apalagi perkembangan teknologi
informasi yang serba cepat dan instan, sehingga dia pikir masih ada
orang yang membutuhkan amplop untuk berkirim surat.
Kehadiran bapak tua dengan dagangannya
yang tidak laku-laku itu menimbulkan rasa iba. Siapa sih yang mau
membeli amplopnya itu? Tidak satupun orang yang lewat menuju masjid
tertarik untuk membelinya. Lalu lalang orang yang bergegas menuju masjid
Salman seolah tidak mempedulikan kehadiran bapak tua itu.
Kemarin ketika hendak shalat Jumat di
Salman saya melihat bapak tua itu lagi sedang duduk terpekur. Saya sudah
berjanji akan membeli amplopnya itu usai shalat, meskipun sebenarnya
saya tidak terlalu membutuhkan benda tersebut. Yach, sekedar ingin
membantu bapak itu melariskan dagangannya. Seusai shalat Jumat dan
hendak kembali ke kantor, saya menghampiri bapak tadi. Saya tanya berapa
harga amplopnya dalam satu bungkusa plastik itu. “Seribu”, jawabnya
dengan suara lirih. Oh Tuhan, harga sebungkus amplop yang isinnya
sepuluh lembar itu hanya seribu rupiah? Uang sebesar itu hanya cukup
untuk membeli dua gorengan bala-bala pada pedagang gorengan di dekatnya.
Uang seribu rupiah yang tidak terlalu berarti bagi kita, tetapi bagi
bapak tua itu sangatlah berarti. Saya tercekat dan berusaha menahan air
mata keharuan mendengar harga yang sangat murah itu. “Saya beli ya pak,
sepuluh bungkus”, kata saya.
Bapak itu terlihat gembira karena saya
membeli amplopnya dalam jumlah banyak. Dia memasukkan sepuluh bungkus
amplop yang isinya sepuluh lembar per bungkusnya ke dalam bekas kotak
amplop. Tangannya terlihat bergetar ketika memasukkan bungkusan amplop
ke dalam kotak.
Saya bertanya kembali kenapa dia menjual
amplop semurah itu. Padahal kalau kita membeli amplop di warung tidak
mungkin dapat seratus rupiah satu. Dengan uang seribu mungkin hanya
dapat lima buah amplop. Bapak itu menunjukkan kepada saya lembar
kwitansi pembelian amplop di toko grosir. Tertulis di kwitansi itu nota
pembelian 10 bungkus amplop surat senilai Rp7500. “Bapak cuma ambil
sedikit”, lirihnya. Jadi, dia hanya mengambil keuntungan Rp250 untuk
satu bungkus amplop yang isinya 10 lembar itu. Saya jadi terharu
mendengar jawaban jujur si bapak tua. Jika pedagang nakal ‘menipu’ harga
dengan menaikkan harga jual sehingga keuntungan berlipat-lipat, bapak
tua itu hanya mengambil keuntungan yang tidak seberapa. Andaipun terjual
sepuluh bungkus amplop saja keuntungannya tidak sampai untuk membeli
nasi bungkus di pinggir jalan. Siapalah orang yang mau membeli amplop
banyak-banyak pada zaman sekarang? Dalam sehari belum tentu laku sepuluh
bungkus saja, apalagi untuk dua puluh bungkus amplop agar dapat membeli
nasi.
Setelah selesai saya bayar Rp10.000 untuk
sepuluh bungkus amplop, saya kembali menuju kantor. Tidak lupa saya
selipkan sedikit uang lebih buat bapak tua itu untuk membeli makan
siang. Si bapak tua menerima uang itu dengan tangan bergetar sambil
mengucapkan terima kasih dengan suara hampir menangis. Saya segera
bergegas pergi meninggalkannya karena mata ini sudah tidak tahan untuk
meluruhkan air mata. Sambil berjalan saya teringat status seorang teman
di facebook yang bunyinya begini: “bapak-bapak tua menjajakan barang
dagangan yang tak laku-laku, ibu-ibu tua yang duduk tepekur di depan
warungnya yang selalu sepi. Carilah alasan-alasan untuk membeli
barang-barang dari mereka, meski kita tidak membutuhkannya saat ini.
Jangan selalu beli barang di mal-mal dan toko-toko yang nyaman dan
lengkap.”
Si bapak tua penjual amplop adalah salah
satu dari mereka, yaitu para pedagang kaki lima yang barangnya tidak
laku-laku. Cara paling mudah dan sederhana untuk membantu mereka adalah
bukan memberi mereka uang, tetapi belilah jualan mereka atau pakailah
jasa mereka. Meskipun barang-barang yang dijual oleh mereka sedikit
lebih mahal daripada harga di mal dan toko, tetapi dengan membeli
dagangan mereka insya Allah lebih banyak barokahnya, karena secara tidak
langsung kita telah membantu kelangsungan usaha dan hidup mereka.
Dalam pandangan saya bapak tua itu lebih
terhormat daripada pengemis yang berkeliaran di masjid Salman,
meminta-minta kepada orang yang lewat. Para pengemis itu mengerahkan
anak-anak untuk memancing iba para pejalan kaki. Tetapi si bapak tua
tidak mau mengemis, ia tetap kukuh berjualan amplop yang keuntungannya
tidak seberapa itu.
Di kantor saya amati lagi bungkusan
amplop yang saya beli dari si bapak tua tadi. Mungkin benar saya tidak
terlalu membutuhkan amplop surat itu saat ini, tetapi uang sepuluh ribu
yang saya keluarkan tadi sangat dibutuhkan si bapak tua.
Kotak amplop yang berisi 10 bungkus
amplop tadi saya simpan di sudut meja kerja. Siapa tahu nanti saya akan
memerlukannya. Mungkin pada hari Jumat pekan-pekan selanjutnya saya akan
melihat si bapak tua berjualan kembali di sana, duduk melamun di depan
dagangannya yang tak laku-laku.