Hari Arafah
Hari Arafah adalah hari kesembilan di bulan Dzulhijjah, atau sehari sebelum ‘Idul Adha. Banyak keutamaan dari Hari Arafah ini. Di antaranya adalah:
1. Hari Arafah adalah al-watr (ganjil) dan ‘Idul Adha (Hari Nahr) adalah asy-syaf’u (penggenap) yang Allah SWT bersumpah dengannya dalam Surah Al-Fajr ayat 3:
“Dan (demi) yang genap dan yang ganjil”
Ibnul Jauzi dalam Zaadul Masiir berpendapat yang dimaksud asy syaf’u adalah Hari Nahr (Idul Adha), sedangkan al-watr adalah hari Arafah. Demikian pula pendapat Ibnu ‘Abbas, ‘Ikrimah dan Adh-Dhahak.
2. Allah SWT paling banyak membebaskan hamba-Nya dari neraka.
“Tidak ada satu hari yang lebih banyak Allah memerdekakan hamba dari neraka pada hari itu daripada hari Arafah. Dan sesungguhnya Allah mendekat, kemudian Dia membanggakan mereka (para hamba-Nya yang sedang berkumpul di Arafah) kepada para malaikat. Dia berfirman, ‘Apa yang dikehendaki oleh mereka ini?‘” (HR. Muslim, no. 1348, dan lainnya dari ‘Aisyah)
3. Allah SWT begitu bangga dengan orang yang wukuf di Arafah.
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash, ia berkata bahwa Nabi SAW bersabda,
“Sesungguhnya Allah berbangga kepada para malaikat-Nya pada sore Arafah dengan orang-orang di Arafah, dan berkata: “Lihatlah keadaan hambaku, mereka mendatangiku dalam keadaan kusut dan berdebu” (HR. Ahmad 2: 224. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanadnya tidaklah mengapa).
4. Puasa pada hari itu akan diampuni dosanya selama 2 tahun.
“Puasa satu hari Arafah (tanggal 9 Dzulhijjah), aku berharap kepada Allah, Dia akan menghapuskan (dosa) satu tahun sebelumnya dan satu tahun setelahnya. Puasa hari Asyura (tanggal 10 Muharram), aku berharap kepada Allah, Dia akan menghapuskan (dosa) satu tahun sebelumnya.” (HR. Muslim, no 1162, dari Abu Qatadah).
Sebagian ulama, termasuk Ibnu Hazm rahimahullah, berpendapat sebagaimana zhahir hadits. Bahwa semua dosa terhapuskan, baik dosa besar, maupun dosa kecil. Namun jumhur ulama, termasuk Imam Ibnu Abdil Barr, Imam Ibnu Rajab, berpendapat bahwa dosa-dosa yang terhapus dengan amal shalih, seperti wudhu’, shalat, shadaqah, puasa (termasuk puasa Arafah), dan lainnya, hanyalah dosa-dosa kecil.
Pendapat jumhur ini berdasarkan alasan bahwa Allah SWT memerintahkan tobat untuk yang melakukan dosa besar, ini berarti hukum tobat adalah wajib. Jika dosa-dosa besar terhapus hanya semata-mata dengan amal shalih, tentulah Allah tidak akan memerintahkan untuk bertobat.
Pernyataan Imam An-Nawawiy tentang hal ini adalah: Aku katakan, hadits-hadits ini mempunyai dua penafsiran. Pertama, menghapus dosa-dosa kecil dengan syarat ia tidak melakukan dosa besar. Jika ada dosa besar, maka tidak akan menghapus apapun, baik dosa besar ataupun dosa kecil. Kedua, (dan ini adalah pendapat yang lebih shahih/benar lagi terpilih) ia menghapus setiap dosa kecil. Jadi pengertiannya adalah (Allah) mengampuni semua dosanya, kecuali dosa besar. Telah berkata Al-Qaadliy ‘Iyaadl rahimahullah: ‘Apa yang disebutkan dalam hadits-hadits ini berbicara tentang pengampunan terhadap dosa-dosa kecil, selain dosa besar. Inilah madzhab Ahlus-Sunnah, karena dosa besar hanya bisa dihapus dengan tobat atau rahmat Allah Taala”. (Al-Majmu’ Syarhul-Muhadzdzab, 6/382)
Puasa Arafah
Yang dimaksud Puasa Arafah adalah puasa sunnah yang dilakukan oleh kaum muslimin yang tidak sedang berhaji. Waktu Puasa Arafah adalah ketika kaum muslimin yang sedang berhaji wuquf di Arafah. Jadi puasa Arafah ini terikat oleh ketentuan waktu, tempat dan peristiwa.
Namun karena adanya perbedaan waktu di permukaan bumi ini yaitu misalnya di Padang Arafah para jamaah haji sedang wuquf (itu artinya waktu setempat tanggal 9 Dzulhijjah), sementara di belahan bumi yang lain sedang malam hari (tanggal 9 Dzulhijjah juga), di belahan bumi yang lain lagi harinya yang berbeda (masih tanggal 8 Dzulhijjah atau sudah tanggal 10 Dzulhijjah). Jika seperti itu kapan puasa Arafahnya? Menyikapi hal tersebut ulama berbeda pandangan. Pendapat mereka adalah:
1. Puasa Arafah mengikuti penanggalan Hijriah setempat, yaitu dengan berdasarkan wujudul hilal.
Berdasarkan Lajnah Daaimah (Komite Fatwa dan Penelitian Ilmiyah) Arab Saudi.
“Hari Arafah adalah hari dimana kaum muslimin melakukan wukuf di Arafah. Puasa Arafah dianjurkan, bagi orang yang tidak melakukan haji. Karena itu, jika Anda ingin puasa Arafah, maka Anda bisa melakukan puasa di hari itu (hari wukuf). Dan jika Anda puasa sehari sebelumnya, tidak masalah”. (Fatawa Lajnah Daimah, no. 4052)
Syeikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin Ketika mendapat pertanyaan sebagai berikut, “Jika terdapat perbedaan tentang penetapan hari Arafah disebabkan perbedaan mathla’ (tempat terbit bulan) hilal karena pengaruh perbedaan daerah. Apakah kami berpuasa mengikuti ru’yah negeri yang kami tinggali ataukah mengikuti ru’yah Haramain (dua tanah suci)?”
Syeikh rahimahullah menjawab, “Permasalahan ini adalah turunan dari perselisihan ulama apakah hilal untuk seluruh dunia itu satu ataukah berbeda-beda mengikuti perbedaan daerah. Pendapat yang benar adalah: hilal itu berbeda-beda mengikuti perbedaan daerah. Misalnya di Makkah terlihat hilal sehingga hari ini adalah tanggal 9 Dzulhijjah. Sedangkan di negara lain, hilal Dzulhijjah telah terlihat sehari sebelum ru’yah Makkah sehingga tanggal 9 Dzulhijjah di Makkah adalah tanggal 10 Dzulhijjah di negara tersebut. Tidak boleh bagi penduduk negara tersebut untuk berpuasa Arafah pada hari itu karena hari itu adalah hari Idul Adha di negara mereka.
Demikian pula, jika kemunculan hilal Dzulhijjah di negara itu selang satu hari setelah ru’yah di Makkah sehingga tanggal 9 Dzulhijjah di Makkah itu baru tanggal 8 Dzulhijjah di negara tersebut. Penduduk negara tersebut berpuasa Arafah pada tanggal 9 Dzulhijjah menurut mereka meski hari tersebut bertepatan dengan tanggal 8 Dzulhijjah di Mekah.
Inilah pendapat yang paling kuat dalam masalah ini karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika kalian melihat hilal (Ramadhan) hendaklah kalian berpuasa dan jika kalian melihat hilal (Syawal) hendaknya kalian berhari raya” (HR Bukhari dan Muslim).
Orang-orang yang di daerah mereka hilal tidak terlihat maka mereka tidak termasuk orang yang melihatnya. Sebagaimana manusia bersepakat bahwa terbitnya fajar serta tenggelamnya matahari itu mengikuti daerahnya masing-masing, demikian pula penetapan bulan itu sebagaimana penetapan waktu harian (yaitu mengikuti daerahnya masing-masing)”. (Majmu’ Fatawa wa Rasail Syeikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin, 20/47-48, Darul Wathan – Darul Tsaraya, cetakan terakhir, tahun 1413 H)
2. Puasa Arafah sesuai hari ketika jamaah haji wukuf. Ini adalah kaidah awal dalam puasa Arafah. Hal ini didasarkan hal berikut:
HR. Bukhari Muslim ini: “Jika kalian melihat hilal (Ramadhan) hendaklah kalian berpuasa dan jika kalian melihat hilal (Syawal) hendaknya kalian berhari raya” dimaksudkan untuk puasa Ramadhan dan bukan untuk puasa Arafah.
Berbuka kalian adalah di hari kalian berbuka, penyembelihan kalian adalah di hari kalian menyembelih, dan Arafah kalian adalah di hari kalian melakukan wuquf di Arafah” (Diriwayatkan oleh Asy-Syaafi’i dalam Al-Umm 1/230 dan Al-Baihaqiy 5/176; shahih dari ‘Athaa’ secara mursal. Lihat Shahiihul-Jaami’ no. 4224).
Dalam nash-nash tentang Puasa Arafah ini hanya disebutkan puasanya saja tanpa disebutkan puasa di hari ke-9 bulan Dzuhijjah. Berbeda halnya dengan puasa ‘Aasyuura yang disebutkan tanggalnya secara spesifik:
Dari ‘Abdullah bin ‘Abbaas radliyallaahu ;anhumaa, ia berkata: “Ketika Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam berpuasa di hari ‘Aasyuuraa dan memerintahkannya, para shahabat berkata: ‘Sesungguhnya ia adalah hari yang diagungkan oleh orang-orang Yahudi dan Nashrani’. Maka beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Tahun depan, insya Allah, kita akan berpuasa di hari kesembilan”. Ibnu ‘Abbas berkata: “Sebelum tiba tahun depan, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah wafat” (Diriwayatkan oleh Muslim no. 1134).
Yang berfatwa senada itu adalah Syaikh Al-‘Ubailan dan Syeikh Muhammad Al-Maghrawiy.
Bagaimana Dengan Kita Di Indonesia?
Perbedaan waktu antara Indonesia dan Mekah adalah 4 jam untuk WIB, 5 jam untuk WITA dan 6 jam untuk WIT, dengan waktu Indonesia yang lebih dahulu. Itu artinya jika jam 5 pagi di Mekah maka di Jakarta sudah jam 9 pagi. Tetapi perbedaan itu tidak membedakan harinya. Hari Senin di Indonesia demikian pula di Mekah.
Di era saat ini, saat teknologi komunikasi sudah canggih, bukanlah perkara yang sulit bagi kita untuk bisa mengetahui kapan para hujjaj sedang wuquf. Itu artinya sangat mudah bagi kita untuk mengetahui kapan harus Puasa Arafah sesuai dengan kaidah awal Puasa Arafah yaitu saat hujjaj wuquf di Arafah. Tidak seperti zaman Rasulullah atau zaman para shahabat, yang untuk mengabarkan berita dari Mekah ke Madinah saja perlu waktu seminggu. Perbedaan yang tidak semestinya seperti sekarang ini hanyalah karena kurangnya koordinasi antara ulama-ulama di negara-negara berpenduduk muslim. Wallahu ’alam. (dakwatuna/kabarpapua.net)