(Foto : istimewa) |
Jakarta - Pada periode 1960-an, Partai Komunis Indonesia—PKI,
adalah partai komunis terbesar di dunia selain partai komunis di
Republik Rakyat Tiongkok dan Uni Sovyet saat itu. Mengapa gerakan
mereka—kalau benar digerakkan PKI, gagal?
John Roosa dalam ‘Pretex for Mass Murder...’ yang terbit 2006 lalu mencoba menulis peristiwa itu hanya berdasarkan dokumen akurat. Risetnya menggunakan arsip yang selama ini jarang disentuh, terutama Dokumen Supardjo, tulisan-tulisan Muhammad Munir dan Iskandar Subekti yang tersimpan di Amsterdam, wawancara dengan banyak tokoh PKI, dsb.
Dalam Dokumen Supardjo—semacam pertanggungjawaban Brigjen Supardjo, salah seorang militer dengan pangkat tertinggi yang terlibat dalam ‘gerakan’ tersebut, Roosa menyebut alasan kegagalan G30S. Mengapa pertanggungjawaban? Karena menurut Roosa, Dokumen Supardjo ditulis sebelum ia tertangkap. Dan "...informasi yang terkandung di dalamnya mempunyai bobot keterandalan dan kejujuran yang khas. Supardjo menulis demi kepentingan kawan-kawannya, bukan bagi para interogator dan penuntut umum yang memusuhinya."
Kesimpulan Supardjo: G30S gagal karena gerakan ini dipimpin seorang sipil, Sjam, yang pengetahuannya cetek soal prosedur kemiliteran. "Dengan menempatkan diri sebagai orang yang berwenang atas sebuah aksi militer, Sjam menimbulkan kekacauan tentang garis komando di dalam kelompok inti," tulis Roosa.
Supardjo menulis, setiba di Halim Perdanakusumah, sehari sebelum kejadian, Supardjo mengaku bingung siapa sebenarnya yang memimpin G30S. Koordinasi yang buruk juga menjadi sebab kegagalan.
"Kerja sama antara kelompok PKI (Sjam dan Pono) dengan kelompok militer (Untung, Latief, dan Soejono) tersusun sangat longgar, sehingga dua kelompok tersebut terus-menerus berdebat tentang apa yang harus dilakukan, bahkan pada saat-saat kritis ketika keputusan harus segera diambil," ujar Roosa dalam buku itu.
Sebab lain, Supardjo—yang menjadi brigadir jenderal pada usia 44 karena kemampuannya sebagai ahli strategi sejumlah pertempuran, menilai perencanaan gerakan kurang matang. Dalam dokumen itu Supardjo menulis, "Rentjana operasinja ternjata tidak djelas. Terlalu dangkal. Titik berat hanja pada pengambilan 7 Djenderal sadja. Bagaimana kemudian bila berhasil, tidak djelas, atau bagaimana kalau gagal djuga tidak djelas." (inilah/kabarpapua.net)
John Roosa dalam ‘Pretex for Mass Murder...’ yang terbit 2006 lalu mencoba menulis peristiwa itu hanya berdasarkan dokumen akurat. Risetnya menggunakan arsip yang selama ini jarang disentuh, terutama Dokumen Supardjo, tulisan-tulisan Muhammad Munir dan Iskandar Subekti yang tersimpan di Amsterdam, wawancara dengan banyak tokoh PKI, dsb.
Dalam Dokumen Supardjo—semacam pertanggungjawaban Brigjen Supardjo, salah seorang militer dengan pangkat tertinggi yang terlibat dalam ‘gerakan’ tersebut, Roosa menyebut alasan kegagalan G30S. Mengapa pertanggungjawaban? Karena menurut Roosa, Dokumen Supardjo ditulis sebelum ia tertangkap. Dan "...informasi yang terkandung di dalamnya mempunyai bobot keterandalan dan kejujuran yang khas. Supardjo menulis demi kepentingan kawan-kawannya, bukan bagi para interogator dan penuntut umum yang memusuhinya."
Kesimpulan Supardjo: G30S gagal karena gerakan ini dipimpin seorang sipil, Sjam, yang pengetahuannya cetek soal prosedur kemiliteran. "Dengan menempatkan diri sebagai orang yang berwenang atas sebuah aksi militer, Sjam menimbulkan kekacauan tentang garis komando di dalam kelompok inti," tulis Roosa.
Supardjo menulis, setiba di Halim Perdanakusumah, sehari sebelum kejadian, Supardjo mengaku bingung siapa sebenarnya yang memimpin G30S. Koordinasi yang buruk juga menjadi sebab kegagalan.
"Kerja sama antara kelompok PKI (Sjam dan Pono) dengan kelompok militer (Untung, Latief, dan Soejono) tersusun sangat longgar, sehingga dua kelompok tersebut terus-menerus berdebat tentang apa yang harus dilakukan, bahkan pada saat-saat kritis ketika keputusan harus segera diambil," ujar Roosa dalam buku itu.
Sebab lain, Supardjo—yang menjadi brigadir jenderal pada usia 44 karena kemampuannya sebagai ahli strategi sejumlah pertempuran, menilai perencanaan gerakan kurang matang. Dalam dokumen itu Supardjo menulis, "Rentjana operasinja ternjata tidak djelas. Terlalu dangkal. Titik berat hanja pada pengambilan 7 Djenderal sadja. Bagaimana kemudian bila berhasil, tidak djelas, atau bagaimana kalau gagal djuga tidak djelas." (inilah/kabarpapua.net)