Pro-Kontra Mekanisme Ahlul Halli Wal ‘Aqdi di Muktamar NU ke-33

Pro-Kontra Mekanisme Ahlul Halli Wal ‘Aqdi  di Muktamar NU ke-33
Mekanisme ahlul halli wal ‘aqdi (AHWA) untuk memilih Rais Aam PBNU periode 2015-2020 pada penyelenggaraan Muktamar ke-33 di Jombang masih pro kontra.

Sebelumnya sempat terjadi kericuhan pada saat proses registrasi dimana sebagian peserta menolak untuk menuliskan 9 nama calon AHWA sebagai syarat mendaftar dan mendapatkan identitas peserta.
Di Arena Muktamar, banyak perwakilan PWNU dan PCNU yang menolak mekanisme ini.

Rois Syuriah PWNU Aceh, Nuruzzahri Yahya, yang akrab dipanggil Waled NU menyatakan penolakan terhadap AHWA.

“Kita menolak, karena sosialisasinya belum jelas,” ujarnya.

Saat ditanya bahwa hal itu sudah ditetapkan dalam Munas, Waled Nu tetap dalam pendiriannya dengan alasan berpegang pada Anggaran Dasar.

“Kita tetap berpegang pada AD/ART itu bagaimana, karena di NU forum tertinggi itu Muktamar, bukan Munas,” jelasnya.

Pendapat serupa juga disampaikan Ketua PWNU NTT, KH. Abdul Karim Makarim.

“Kita datang ke sini kan untuk memilih ketua, kita juga ini sekaligus mewakili suara-suara masyarakat Nahdliyin di daerah masing-masing,” tegasnya.

Seperti diketahui, sebagian pihak memprotes sistem pemilihan via musyawarah mufakat (Ahlul Halli Wal ‘Aqdi/AHWA) sebagian lagi sepakat. Ketidaksetujuan AHWA dari beberapa pengurus wilayah (PW) dan PC karena dinilai menilai bertentangan dengan Bab XIV Pasal 41 poin (a), Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD ART) NU.

Dalam pasal tersebut dikatakan, Rais ‘am dipilih secara langsung oleh muktamirin melalui musyawarah mufakat dalam muktamar setelah yang bersangkutan menyampaikan kesediaannya.

Sedang yang setuju menyatakan tak ingin muktamar NU seperti pemilihan kepala daerah (Pilkada) hingga berakhir dengan suap menyuap.

Sementara itu KH. Ma’ruf Amin dalam Majalah Suara Muktamar Edisi 01 hal. 20 menilai alasan muktamar menggunakan mekanisme AHWA dikarenakan suasana peserta sudah beda.

“Dulu zaman Mbah Wahab dan Mbah Bisri tidak pakai AHWA karena suasananya sangat kondusif.
Perwakilan cabang-cabang semua masih jernih, mereka tidak pernah melenceng,” jelasnya.

Sebelumnya pada saat Muktamar di Situbondo juga pernah memakai mekanisme AHWA dikarenakan kondisinya mendesak (lil-hajah).

“Menurut saya kondisi saat ini bukan sekedar masuk kategori lil-hajah tapi lebih dari itu, yaitu lihajatin massah, karena ada kebutuhan yang sangat mendesak,” paparnya.

Lebih lanjut Kiai Ma’ruf Amin menjelaskan dipergunakannya mekanisme AHWA adalah untuk menutup pintu politik uang dan mencegah kemungkinan orang yang tidak shahibul maqam dapat menduduki posisi Rais ‘am.

Beda lagi dengan Ketua PWNU Banten, H. Makmur Masyur, yang menyatakan bahwa tidak mempermasalahkan soal AHWA atau tidak. Tetapi lebih kepada NU itu sendiri ke depannya.

“Saya datang ke sini bukan untuk memilih orang, kita tidak menghendaki siapa orangnya. Yang kita harapkan mampu membawa NU agar memiliki martabat, nasional maupun internasional,” pungkasnya. (Hidayatullah)

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Pro-Kontra Mekanisme Ahlul Halli Wal ‘Aqdi di Muktamar NU ke-33"

Post a Comment