Seharusnya penyelesaian konflik dengan berperang sudah tidak mendapatkan tempat lagi di alam demokrasi negeri ini yang semakin terbuka. Namun kenyataannya, hal itu masih terjadi di sebagian wilayah di Papua. Hal ini terlihat nyata dalam konflik berkepanjangan di Kompleks Jayanti, Kampung Mimika Gunung, Distrik Kuala Kencana, Kabupaten Mimika.
Adalah suku Moni dan Suku Dani, terlibat dalam perang suku karena perebutan hak ulayat atas tanah. Kedua suku ini saling mengkalim bahwa mereka menempati atau menggarap lahan di tanah yang mereka anggap sah secara adat. Perang ini telah berlangsung sejak 29 Januari 2014 yang lalu dan hingga kini belum ada tanda-tanda akan berakhir.
Sudah banyak kalangan yang turun tangan untuk membantu menyelesaikan permasalahan mereka. Mulai dari aparat keamanan dari Polres Mimika, Pemerintahan Daerah Kabupaten Mimika, hingga pemerintahan provinsi mencoba menengahi, konflik itu belum juga terpecahkan. Bahkan Wakapolda Papua, Brigjen (Pol) Paulus Waterpauw sendiri sempat turun untuk memimpin upacara perdamaian pada 21 Februari lalu. Saat itu kedua suku bersepakat mengakhiri perang yang selalu pacah hampir setiap pekan itu yang secara simbolik ditandai dengan upacara pematahan busur dan anak panah. Namun, nyatanya pertumpahan darah itu masih terus terjadi.
Hingga kini, perang telah memakan 9 nyawa melayang dan lebih dari 300 orang luka-luka terkena panah. Korban luka-luka tidak hanya pada kedua belah pihak yang berkonflik, tetapi pihak aparat keamanan yang membentuk barikade di tengah-tengah antara kedua kampung suku yang bertikai ini.
Hal yang unik dari perang suku ini yaitu ketika perang akan berkecamuk, kedua suku tersebut mulai mencorat-coret wajah dan menenteng busur dan panah sembari meneriakkan kode-kode tertentu. Mereka belum mau berhenti berperang sebelum korban jiwa yang jatuh memiliki jumlah yang sama di kedua suku. Beruntung bahwa aparat sering dapat melerai memuncaknya eskalasi perang dengan menembakkan gas air mata dan menyemprotkan water cannon.
Dalam upaya penyelesaikan konflik ini, kini dibantu pemerintahan daerah dan kepolisian kedua suku didorong untuk mengambil langkah dalam menentukan batas-batas wilayah. Namun, masih menyisakan kekhawatiran perang akan pecah kembali, mengingat telah banyak upaya sejenis sebelumnya yang dilakukan namun belum membuahkan hasil. Kita doakan saja, agar suku Moni dan suku Dani akan segera sadar bahwa pertumpahan darah dengan berperang bukanlah solusi atas berbagai persoalan yang menimpa. Semoga perang segera berakhir.
Adalah suku Moni dan Suku Dani, terlibat dalam perang suku karena perebutan hak ulayat atas tanah. Kedua suku ini saling mengkalim bahwa mereka menempati atau menggarap lahan di tanah yang mereka anggap sah secara adat. Perang ini telah berlangsung sejak 29 Januari 2014 yang lalu dan hingga kini belum ada tanda-tanda akan berakhir.
Sudah banyak kalangan yang turun tangan untuk membantu menyelesaikan permasalahan mereka. Mulai dari aparat keamanan dari Polres Mimika, Pemerintahan Daerah Kabupaten Mimika, hingga pemerintahan provinsi mencoba menengahi, konflik itu belum juga terpecahkan. Bahkan Wakapolda Papua, Brigjen (Pol) Paulus Waterpauw sendiri sempat turun untuk memimpin upacara perdamaian pada 21 Februari lalu. Saat itu kedua suku bersepakat mengakhiri perang yang selalu pacah hampir setiap pekan itu yang secara simbolik ditandai dengan upacara pematahan busur dan anak panah. Namun, nyatanya pertumpahan darah itu masih terus terjadi.
Hingga kini, perang telah memakan 9 nyawa melayang dan lebih dari 300 orang luka-luka terkena panah. Korban luka-luka tidak hanya pada kedua belah pihak yang berkonflik, tetapi pihak aparat keamanan yang membentuk barikade di tengah-tengah antara kedua kampung suku yang bertikai ini.
Hal yang unik dari perang suku ini yaitu ketika perang akan berkecamuk, kedua suku tersebut mulai mencorat-coret wajah dan menenteng busur dan panah sembari meneriakkan kode-kode tertentu. Mereka belum mau berhenti berperang sebelum korban jiwa yang jatuh memiliki jumlah yang sama di kedua suku. Beruntung bahwa aparat sering dapat melerai memuncaknya eskalasi perang dengan menembakkan gas air mata dan menyemprotkan water cannon.
Dalam upaya penyelesaikan konflik ini, kini dibantu pemerintahan daerah dan kepolisian kedua suku didorong untuk mengambil langkah dalam menentukan batas-batas wilayah. Namun, masih menyisakan kekhawatiran perang akan pecah kembali, mengingat telah banyak upaya sejenis sebelumnya yang dilakukan namun belum membuahkan hasil. Kita doakan saja, agar suku Moni dan suku Dani akan segera sadar bahwa pertumpahan darah dengan berperang bukanlah solusi atas berbagai persoalan yang menimpa. Semoga perang segera berakhir.
0 Response to "Masih Ada Suku di Papua yang Selesaikan Konflik Lewat Perang"
Post a Comment