Oleh: Kholili Hasib
Tiga, cara Allah
meringankan Beban
Puluhan kiai dan ulama
pesantren di mayoritas kantong-kantong NU di Indonesia menitipkan amanah kepada
Prabowo-Hatta.
Meminjam istilah Dr Adian Husaini, wakil Ketua MIUMI (Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia) kekalahan Prabowo sekaligus menjadi nasehat bagi kita semua, bahwa kita harus melihat semuanya dengan perspektif islami.
Meminjam istilah Dr Adian Husaini, wakil Ketua MIUMI (Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia) kekalahan Prabowo sekaligus menjadi nasehat bagi kita semua, bahwa kita harus melihat semuanya dengan perspektif islami.
Jika tidak jadi Presiden,
Allah subhanallah telah meringankan Prabowo Subianto dari beban teramat berat
di akhirat. Sebab bagi seorang Muslim, kata Adian, kekuasaan merupakan salah
satu jalan untuk ibadah. Sebab masih masih banyak jalan lain untuk ibadah.
“Perjuangan santri dan ulama
adalah untuk menegakkan kebenaran. Sukses tidaknya perjuangan jangan hanya
diukur dari diraih tidaknya kursi kekuasaan”, demikian nasihat Adian Husaini.
Empat, Tak cukup di
Mimbar
Bangsa Indonesia, khususnya
kaum Muslimin, memang harus terus diedukasi. Para cendekiawan dan ulama harus
sering turun ke ‘bawah’. Fakta membuktikan, tidak semuanya umat ini mendengar
fatwa para ulama. Masih banyak mereka yang hanya melihat persoalan secara
duniawi saja.
Rupanya tak cukup bagi umat
sekedar dihimbau sekali hanya melalui mimbar. Sebab para ulama, dai, tokoh
agama harus perlu menjelaskan satu-persatu dengan cara turun ke bawah, langsung
pada umat.
Fakta membuktikan, masyarakat
memang cerdas dalam memilih sosok namun tidak cerdas membedakan mana haq
dan mana bathil.
Lima, cermin
masyakat, cermin Kita
Mengutip KH Arifin Ilham, umat
Islam tidak kalah, sebab sejatinya jumlah umat Islam adalah kelompok mayoritas
yang bisa saja dimenangkan Allah, jika Allah berkehandak. Hanya masalahnya,
sedikit sekali umat Islam –bahkan menganggap kecil bahkan masih banyak
yang main-main– urusan kepemimpinan seperti ini. Sebagian malah suka
berteriak-teriat di luar tapi tak ikut ambil bagian/berkontribusi dan tak ikut
memberi penyadaran.
Alkisah ada seorang khawarij
yang datang menemui Ali bin Abi Thalib ra seraya berkata, “Wahai
khalifah Ali, mengapa pemerintahanmu banyak di kritik oleh orang tidak
sebagaimana pemerintahannya Abu Bakar dan Umar?!” Sahabat Ali Menjawab, “Karena
pada zaman Abu Bakar dan Umar yang menjadi rakyat adalah aku dan orang-orang
yang semisalku, sedangkan rakyatku adalah kamu dan orang-orang yang semisalmu!”
Sesunnguhnya keadaan rakyat
itu ya mencerminkan bagaimana pemimpinnya.
كَمَا تَكُوْنُوْنَ
يُوَلَّى عَلَيْكُمْ
“Bagaimanapun keadaan kalian (rakyat),
maka begitulah keadaan pemimpin kalian.”
Enam, memperbaiki
diri
Jika ingin mendapatkan
pemimpin yang baik maka, mari kita mulai berjuang memperbaiki diri kita dari
sekarang untuk mendapatkan pemimpin yang baik di masa yang akan datang. Kita
kaum Muslimin masih gemar berpecah-belah. Mengungkit-ungkit persoalan kecil
dalam agama sehingga menjadi isu besar.
Bahkan ada yang suka mencela
ulama dan menyesatkan gara-gara ikut Pemilu yang dianggap haram. Bisakah untuk
mengutakaman persatuan umat yang suka memvonis itu menahan diri untuk tidak
mencela?
Tujuh,
berkhusnudzon pada Jokowi
Kini, amanah di pundak Jokowi.
Sebagai seorang Muslim, Jokowi, sudah sepatutnya juga mendengarkan nasihat
santri, ulama dan keraguan umat Islam selama ini atasnya. Amanahnya
adalah, dirikan negeri ini berdasarkan atas iman dan takwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa. Bukankah ketika menjadi Wali Kota Solo, Jokowi sempat merapat juga ke
ulama?
Kepada presiden baru, kami
menitipkan, bahwa negara ini lebih beradab jika pemimpin memerikan prioritas
dan penghargaan yang tinggi kepada ulama, ilmuan dan orang-orang yang berjasa
dalam pengembangan ilmu pengetahuan.
Dalam negara yang beradab,
maka pengaturan anggaran harus diproritaskan untuk membangun kemandirian
bangsa, sehingga bangsa ini tidak tergantung kepada bangsa lain, agar tidak
menjadi bangsa yang hina dan gambang didekte oleh bangsa asing.
Rakyat yang mayoritas Muslim
ini wajib didorong untuk dapat melaksanakan ajaran agamanya dengan baik,
agar mereka menjadi manusia yang jujur dalam keimanannya kepada Allah, tidak
mengikuti prilaku iblis.
Agar semua terlaksana dengan
baik, seorang pemimpin harus menempatkan Allah sebagai Tuhan satu-satunya yang
berhak disembah dan ditaati. Karena itu sangat tepat keputusan Mahkamah
Konstitusi RI tahun 2010, yang mempertahankan UU No. 1/PNPS/1965 yang melarang
berkembangnya aliran atau paham yang merusak bangsa dan agama yang tidak diakui
di Inonesia.
Mari camkan pesan Imam
al-Gazali: “Sesungguhnya, kerusakan rakyat disebabkan oleh kerusakan para
penguasanya, dan kerusakan penguasa disebabkan oleh kerusakan ulama, dan
kerusakan ulama disebabkan oleh cinta harta dan kedudukan, dan barang siapa
dikuasai oleh ambisi duniawi ia tidak akan mampu mengurus rakyat kecil, apalagi
penguasanya. Allah-lah tempat meminta segala persoalan.” (Ihya’
Ulumuddin II hal. 381).
Karena itu sudah wajar jika
umat Islam menginginkan Jokowi ikut menjaga akidah umat Islam, memberantas
kezaliman dan nahi munkar, serta mengawal umat Islam agar bisa
melaksanakan syariatnya.
Delapan, itulah Takdir
Tauhid kita mengajarkan ada
takdir Allah di setiap kejadian, bahkan termasuk jarum jatuh ke bumi atau
debu-debu yang beterbangan. Kekuasaan itu milik Allah dan akan selalu
dipergilirkan oleh Allah. Kejadian ini bukan semata-mata kemenangan media atau
tim sukses, tapi memang Allah yang berkendak.
Sebagaimana firman Allah :
قُلِ اللَّهُمَّ
مَالِكَ الْمُلْكِ تُؤْتِي الْمُلْكَ مَن تَشَاء وَتَنزِعُ الْمُلْكَ مِمَّن
تَشَاء وَتُعِزُّ مَن تَشَاء وَتُذِلُّ مَن تَشَاء بِيَدِكَ الْخَيْرُ إِنَّكَ
عَلَىَ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
“Katakanlah : Wahai Tuhan Yang mempunyai
kekuasaan, Engkau berikan kekuasaan kepada yang Kau hendaki, Engkau cabut
kekuasaan kepada yang Kau hendaki, Engkau muliakan orang melalui kekuasaan
kepada yang Kau hendaki, dan Engkau hinakan melalui kekuasaan kepada Yang Kau
hendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa
atas segala sesuatu.” (QS Ali Imran : 26).
Jikapun ada yang merasa kalah,
tetaplah gembira, setidaknya yang kalah telah ikut bersama barisan ulama, meski
Allah tidak mentakdirkannya.
Sumber: Hidayatullah.com
0 Response to "8 Hikmah Menanggapi Kemenangan Sementara Jokowi Versi KPU (Bagian 2, habis)"
Post a Comment