Erdogan dan Gulen |
Diperkirakan dukungan mayoritas rakyat Turki akan memudahkan AKP
untuk merebut dua kursi sekaligus (Presiden dan Perdana Menteri)
sehingga keputusan strategis mendatang hanya dilakukan oleh satu pihak.
Tapi banyak pengamat yang khawatir bila hal itu terjadi sebab kekuatan
sesungguhnya apabila AKP dapat berbagi peran dengan oposisi agar mampu
membangun Turki kuat yang semakin disegani bangsa-bangsa lain guna
menghantarkan ke tahun 2023 saat peringatan seabad negeri itu.
Gulen
Salah satu yang mungkin perlu dipertimbangkan Erdogan kedepan adalah melakukan islah
(rekonsiliasi) dengan tokoh Islam sekaliber Fethullah Gulen agar
hubungan sekutu kembali terjalin seperti sebelumnya. Gulen, tokoh aliran
Sunni Sufi yang memiliki pengaruh besar di negeri tersebut tetap
berpeluang untuk menggoyang AKP bila balas dendam dan permusuhan terus
dipelihara.
Dalam beberapa bulan menjelang Pemilu lokal sejumlah perbedaan
persepsi yang tidak terendus massa akhirnya muncul ke permukaan yang
sempat mengejutkan publik Turki dan Barat mengingat selama ini AKP dan
Gerakan Gulen (The Gulen Movement) dikenal sebagai dua aliansi
yang kuat. Diantara perbedaan tersebut adalah yang terkait upaya
Islamisasi AKP, keinginan Gulen menguasai keamanan dan kebijakan
terhadap Israel.
Gulen kelihatannya kurang sependapat dengan upaya Islamisasi Erdogan
dan lebih melihat masalah keagamaan adalah masalah pribadi masing-masing
sehingga lebih mendukung agar dasar sekularisme tetap dipertahankan.
Sedangkan yang terkait dengan Israel, Gulen tidak sependapat dengan
kebijakan penghentian embargo atas Gaza, Palestina seperti yang
diupayakan pemerintahan Erdogan.
Muhammad Fethullah Gulen, demikian nama lengkapnya, penulis buku dan
pendiri banyak lembaga pendidikan Turki ini lahir pada 1941 di sebuah
desa kecil di wilayah Erzurum Turki. Tokoh yang saat ini tinggal di
wilayah Pennsylvania, AS itu dikenal sebagai tokoh sangat toleran dengan
agama-agama lain dan salah satu sponsor utama dialog antar agama
monoteistik yang dibuktikan lewat upaya bersama dengan Vatikan dan
pusat-pusat agama Yahudi.
Gulen yang dikenal mampu secara fiansial sukses mengembangkan
lembaga-lembaga pendidikan, media massa mulai dari surat kabar terkemuka
hingga saluran TV dan usaha lainnya. Sejak 1990 ia mengedepankan
dirinya sebagai konseptor Islam sosial moderat dan terbuka bagi semua
agama bahkan berhasil mengundang Paus Yohanes Paulus II ke Turki
sehingga ia dikenal Barat terutama AS sebagai tokoh demokrasi sejati
yang pantas didukung.
Pada 1999 ia meninggalkan Turki karena merasa keamanan dirinya tidak
terjamin akibat perbedaan visi dengan pemerintahan saat itu dan hingga
saat ini masih menetap di AS. Pada Juni 2012, PM Erdogan membujuknya
agar kembali ke Turki, namun ia menolak dengan alasan seruan kembali
harus dari rakyat dan situasi di Turki masih belum kondusif.
Yang jelas dalam satu dekade belakangan ini sebelum terjadi
perselisihan dengan AKP, Gulen melalui korporasi lintas sektor yang
menyebar di Turki dilaporkan berhasil menancapkan pengaruhnya dalam
tubuh AKP sehingga setiap perubahan yang dilakukan Erdogan tak luput
dari pengaruh Gulen. Dilaporkan pula bahwa sejumlah tokoh AKP adalah
para loyalis Gulen.
Mengingat pengaruhnya yang demikian besar, sejumlah pengamat Turki
menyebut Gulen sebagai penguasa di belakang layar dan memiliki sayap
cukup kuat dalam tubuh AKP. Saat muncul perselisihan Erdogan-Gulen di
permukaan, negeri itu sudah berada dalam ambang Pemilu lokal sehingga
sulit untuk didamaikan.
AKP oleh sejumlah pengamat setempat diibaratkan sebagai sebuah
lembaga dari banyak unsur aliran Islam dan nasionalis konservatif yang
disatukan oleh kepentingan dan ideologi yang sama. Bila demikian halnya,
sebenarnya jalan menuju rekonsiliasi tetap terbuka lebar karena
rekonsiliasi ini sedikitnya akan memuluskan jalan Erdogan menuju
pembangunan Turki tahap kedua yang lebih kuat.
Sumber: Hidayatullah.com
0 Response to "Turki Menuju Republik tahap Kedua (Bagian 2, habis)"
Post a Comment