Oleh: Musthafa Luthfi
Badai “menggoyang” PM Turki, Recep Tayyip Erdogan
dan partainya, Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) pada akhir 2013
sempat memunculkan analisa bahwa masa-masa kejayaan Erdogan akan segera
berakhir.
“Kita akan melihat dalam waktu dekat kejatuhan emperium Erdogan,”
demikian salah satu pernyataan yang sering dilontarkan sejumlah pejabat
dan analis Barat beserta lawan politiknya di dalam negeri menyusul badai
yang menyerang AKP tersebut.
Mereka seolah memastikan kejatuhan Erdogan dan AKP tidak bakal
meleset menjelang pelaksanaan Pemilu lokal yang berlangsung pada 30
Maret 2014 lalu. AKP yang selalu memenangkan Pemilu sejak 2002 itu,
dianggap sudah tidak populer lagi terutama setelah sejumlah pejabat
partai tersebut diperangkap dalam berbagai kasus yang direkayasa
termasuk kasus korupsi.
Dugaan itu bertambah kuat dengan pecahnya “kongsi” antara AKP dengan
seorang tokoh Muslim paling berpengaruh di Turki namun ditengarai
berhaluan liberal, Fethullah Gulen. The Gulen Movement (GM)
bersama partai-partai nasionalis liberal yang dikomandoi oleh Partai
Rakyat Republik (CHP) dan partai Kurdi bersatu menggunakan berbagai cara
berusaha untuk mempermalukan AKP dengan kekalahan telak pada Pemilu
lokal tersebut.
Bukan hanya publik Turki yang harap-harap cemas menunggu hasil Pemilu
lokal yang dianggap sebagai “referendum” rakyat negeri itu, namun
negara-negara Barat, AS dan regional juga mengikutinya detik demi detik
saat penghitungan suara. Pasalnya mereka seperti menunggu saat-saat
terakhir Erdogan karena yakin orang nomor satu AKP itu bakal jatuh dalam
Pemilu kali ini.
Dalam situasi regional yang tidak menentu sehubungan dengan krisis
Suriah yang masih berlarut dan munculnya krisis baru di Ukraina, banyak
pihak melihat bahwa Pemilu lokal tersebut sebagai Pemilu menentukan
dalam sejarah modern negeri Anatolia itu. Hasil Pemilu tersebut
diperkirakan berpengaruh di tingkat regional terutama di negara-negara
Arab Spring, Teluk hingga Semenanjung Crimea di Ukrania mengingat peran
dan pengaruh besar Turki di kawasan.
Di luar dugaan, Erdogan bersama partainya (AKP) berhasil keluar dari
pintu sempit dan sukses membukukan kemenangan besar dalam Pemilu itu
dengan meraih suara 45 % lebih atau lebih besar dari perolehan pada
Pemilu lokal terakhir pada 2009 yang mencapai 38,9 % suara pemilih. AKP
membukukan kemenangan di sebagian besar daerah termasuk ibu kota Ankara
dan kota terbesar, Istanbul sementara pesaing terbesarnya, CHP hanya
meraih suara di kisaran 28 %.
Kemenangan AKP pada Pemilu lokal ini akan berpengaruh besar dan
semakin menumbuhkan rasa percaya diri Erdogan dan partainya dalam
menghadapi pemilihan Presiden Republik Turki pada Agustus 2014 dan
Pemilu legislatif pada Juni 2015 mendatang. Kemenangan telak dan
bersejarah AKP ini sebagai indikasi popularitas besar para pemimpin
partai khususnya Erdogan yang selalu menantang oposisi bahwa ia akan
mundur bila gagal dalam Pemilu lokal itu.
Persaingan ketat sempat terlihat di Ankara dan Istanbul antara AKP
dan CHP yang diwarnai ketegangan karena sejumlah media melaporkan hasil
Pemilu yang berbeda-beda. Sebelumnya oposisi berharap akan mampu merebut
paling sedikit kursi walikota di Istanbul dan Ankara tetapi kandidat
AKP berhasil menang di kedua kota utama Turki itu sehingga oposisi
menuduh pemerintah melakukan manipulasi.
Tuduhan manipulasi di dua kota utama itu sempat menimbulkan kecemasan
sehingga aparat keamanan sepanjang malam dikerahkan menjaga
lokasi-lokasi strategis untuk mencegah aksi protes meluas. Tuduhan itu
akhirnya tidak mempengaruhi keputusan KPU setempat dan kekhawatiran
protes massa massif oposisi pun tidak terjadi seperti yang diharapkan
sejumlah tokoh oposisi.
Kemenangan partai Erdogan tersebut juga terasa istimewa dikarenakan
prosentase pemilih yang sangat tinggi yakni 88,73 dari 52 juta total
pemilih yang terdaftar dan lebih dari 20 juta pemilih memberikan
suaranya untuk AKP. Hasil Pemilu lokal ini bukan hanya kekalahan telak
oposisi tapi juga kekalahan bagi Fethullah Gulen yang pada Pemilu
sebelumnya mendukung AKP.
Perubahan besar
Berdasarkan hasil Pemilu lokal itu, Erdogan telah memenuhi janjinya
akan mundur sebagai PM bila AKP kalah, namun karena keluar sebagai
pemenang maka dia tetap bertahan di kursi PM. Meskipun demikian, dia
nampaknya dengan sukarela akan melepaskan kursi yang telah didudukinya
sejak 2002 itu untuk suatu perubahan besar dalam sejarah negeri Bosporus
itu.
Karena itulah, pelepasan kursi PM kali ini bukan karena kekalahan APK
akan tetapi karena kemenangan besar yang diperolehnya pada Pemilu lokal
tersebut sehingga langkah Erdogan itu justeru semakin mengkhawatirkan
oposisi. Pasalnya Erdogan akan mencalonkan diri pada pemilihan presiden
(pilpres) mendatang lewat pemilihan langsung oleh rakyat yang pertama
kali sejak Turki modern berdiri pada 1923.
Erdogan, yang telah menjabat sebagai Perdana Menteri untuk tiga masa
jabatan, bermaksud mencalonkan diri dalam Pemilu presiden bulan Agustus
mendatang. Ia diprediksi bakal menjadi presiden pertama yang terpilih
secara langsung sehingga tidak berlebihan bila Pemilu lokal tersebut
sebagai modal kuat menuju kursi kepresidenan bagi sebuah perubahan yang
dicanangkan menjelang seabad Turki modern pada 2023 mendatang.
Banyak pengamat menyebutkan bahwa apabila Erdogan memenangi Pilpres
pada Agustus 2014 mendatang, ia akan memanfaatkan jabatannya tersebut
untuk memperkuat posisi Turki dalam peta politik internasional. Selama
ini jabatan presiden di negeri bekas pusat Kekhalifahan Othmaniyah
(Otoman) itu hanya sebatas jabatan kehormatan meskipun UUD 1980
memberikan wewenang luas dan startegis.
Konstitusi 1980 yang dibuat oleh militer pasca kudeta itu masih
berlaku hingga saat ini, namun tidak seorang Presiden pun hingga saat
ini yang menggunakan wewenang tersebut termasuk Jenderal Kenan Evren
(Presiden dari 1980-1989) yang meletakkan UUD tersebut. Mungkin
penyebabnya karena presiden selama ini tidak dipilih langsung rakyat
tapi ditunjuk berdasarkan kompromi partai-partai di parlemen atau lebih
banyak karena rekomendasi militer.
Tokoh yang menggunakan kewenangan jabatan Presiden hanya Musthafa
Kamal Pasha Ataturk yang berhasil menjatuhkan Khalifa terakhir Otoman
lalu mendirikan negara Turki pada 1923. Adapun presiden setelahnya
hingga presiden sekarang, Abdullah Gull dari AKP hanya sebatas pejabat
kehormatan dan PM lah yang memiliki wewenang luas karena dipilih oleh
rakyat melalui partai yang diusungnya.
Peluang Erdogan untuk terpilih secara langsung dalam Pilpres
mendatang pasca Pemilu lokal itu terbuka lebar selama tidak terjadi
kejutan terutama terkait konspirasi lawan-lawan politiknya. Bila ia
sukses maka tokoh ini akan menjadi Presiden Republik Turki kedua yang
akan menjabat dengan wewenang konstitusional yang tertuang dalam UUD
negara.
Diantara wewenang Presiden yang tertuang dalam UUD 1980 itu adalah
Presiden berhak menginstruksikan sidang parlemen untuk menyampaikan
berbagai persoalan bangsa. Selain itu Presiden juga berhak mengumpulkan
kabinet untuk mengeluarkan keputusan bersama serta yang tak kalah
pentingnya adalah wewenang menunjuk gubernur, rektor dan jabatan tinggi
lainnya.
Itulah sebagian kecil saja dari wewenang Presiden yang tidak sekali
pun pernah digunakan oleh presiden negeri Ataturk itu selama ini.
Karenanya, bila Erdogan sukses menjabat sebagai Presiden lewat Pilpres
langsung maka ia diperkirakan akan mendirikan republik tahap kedua
setelah Musthafa Ataturk.
Turki saat ini berada dalam persimpangan jalan sejarah yang sangat
menentukan menjelang Pilpres Agustus 2014 dan Pemilu legislatif pada
2015 mendatang. Oposisi kelihatannya tidak akan menyerah dengan mudah
dalam Pilpres mendatang meskipun peluang mereka lemah dan akan berjuang
keras untuk dapat unggul pada Pemilu legislatif pada 2015. (Bersambung ke Bagian 2)
Sumber: Hidayatullah.com
0 Response to "Turki Menuju Republik tahap Kedua"
Post a Comment