MEA, “Bunuh Diri” Politik Negara (analisis)

bendera asean MEA, “Bunuh Diri” Politik Negara

Oleh: Ayu Rahayu, Mahasiswi Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan 2010

PADA tahun 2015 mendatang Indonesia dan negara-negara di wilayah Asia Tenggara akan membentuk sebuah kawasan yang terintegrasi yang dikenal sebagai Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). MEA merupakan bentuk realisasi dari tujuan akhir integrasi ekonomi di kawasan Asia Tenggara.

Menurut Arya Baskoro (Associate Researcher), terdapat empat hal yang akan menjadi fokus MEA pada tahun 2015 yang dapat dijadikan suatu momentum yang baik untuk Indonesia. Pertama, negara-negara di kawasan Asia Tenggara ini akan dijadikan sebuah wilayah kesatuan pasar dan basis produksi. Dengan terciptanya kesatuan pasar dan basis produksi maka akan membuat arus barang, jasa, investasi, modal dalam jumlah yang besar, dan skilled labour menjadi tidak ada hambatan dari satu negara ke negara lainnya di kawasan Asia Tenggara.

Kedua, MEA akan dibentuk sebagai kawasan ekonomi dengan tingkat kompetisi yang tinggi, yang memerlukan suatu kebijakan yang meliputi competition policy, consumer protection, Intellectual Property Rights (IPR), taxation, dan E-Commerce. Dengan demikian, dapat tercipta iklim persaingan yang adil; terdapat perlindungan berupa sistem jaringan dari agen-agen perlindungan konsumen; mencegah terjadinya pelanggaran hak cipta; menciptakan jaringan transportasi yang efisien, aman, dan terintegrasi; menghilangkan sistem Double Taxation, dan; meningkatkan perdagangan dengan media elektronik berbasis online.

Ketiga, MEA pun akan dijadikan sebagai kawasan yang memiliki perkembangan ekonomi yang merata, dengan memprioritaskan pada Usaha Kecil Menengah (UKM). Kemampuan daya saing dan dinamisme UKM akan ditingkatkan dengan memfasilitasi akses mereka terhadap informasi terkini, kondisi pasar, pengembangan sumber daya manusia dalam hal peningkatan kemampuan, keuangan, serta teknologi.

Keempat, MEA akan diintegrasikan secara penuh terhadap perekonomian global. Dengan membangun sebuah sistem untuk meningkatkan koordinasi terhadap negara-negara anggota. Selain itu, akan ditingkatkan partisipasi negara-negara di kawasan Asia Tenggara pada jaringan pasokan global melalui pengembangkan paket bantuan teknis kepada negara-negara Anggota ASEAN yang kurang berkembang. Hal tersebut dilakukan untuk meningkatkan kemampuan industri dan produktivitas sehingga tidak hanya terjadi peningkatkan partisipasi mereka pada skala regional namun juga memunculkan inisiatif untuk terintegrasi secara global.

Pernyataan di atas sangat berbanding terbalik dengan kondisi Indonesia saat ini, yang justru masih dalam kondisi belum siap dengan MEA tersebut, industri skala besar dan rumah tangga ketar ketir menyikapinya, karena mengingat begitu banyaknya hal yang harus ditekan apalagi dalam hal pembiyayaan produksi, ditambah pada tahun 2014 ini pemerintah mulai “berulah” dengan menaikkan tarif dasar listrik (TDL) dan bahan bakar minyak (BBM) kondisi tersebut menambah beban pengusaha baik skala besar ataupun kecil.

Apalagi jika MEA telah berjalan maka persaingan pasar/perdagangan di Indonesia dengan negara ASEAN lainnya akan semakin kentara, dan sudah barang tentu Indonesia akan tertinggal jauh mengingat kondisi SDM yang kompetensinya masih jauh dibanding negara ASEAN lain yang sudah tersertifikasi, walaupun pada faktanya pemerintah berencana hendak melakukan sertifikasi kepada para pekerja Indonesia sebanyak 68.000 orang, namun itu hanya akan menjadi syarat tertulis untuk bersaing dengan negara lain namun kenyataanya secara softskill tetap jauh tertinggal. Selain itu, ketertinggalan indonesia dari segi SDA, bukan karena SDA di Indonesia minim namun masalahnya adalah saat ini Indonesia melakukan beberapa perjanjian dengan negara asing sehingga banyak SDA yang dikelola oleh asing dan tidak menjadikan Indonesia sebagai negara yang berdaulat.

Selain itu, peralatan produksi masih minim, kurang penambahan dan perawatan juga apabila akan ditambah kapasitas alatnya harus dengan biaya yang sangat mahal dan itu di bebankan kembali kepada rakyat yang menjalankan usaha tersebut.

Maka, apabila dianalisis kembali tentu Indonesia belum siap dengan pasar bebas di kawasan Asing Tenggara tersebut, bahkan cenderung memaksakan dan pada akhirnya rakyat yang akan menelan kesengsaran akibat persaingan yang ketat, karena sebelumnya pun pada Januari 2010 Indonesia pun pernah mengadakan perjanjian dengan Cina terkait perdagangan bebas acfta, hal ini pun lebih banyak merugikan rakyat Indonesia karena faktanya Cina semakin gencar dan bebas bahkan legal menjual produk-produknya di Indonesia sehingga berdampak kerugian bagi pengusaha-pengusaha besar atau kecil di Indonesia.

Pada prinsipnya pasar bebas merupakan bagian dari paket liberalisasi ekonomi. Liberalisasi ekonomi, selain berarti menghilangkan peran dan tanggungjawab pemerintah dalam sektor ekonomi, kemudian menyerahkan semuanya kepada individu dan mekanisme pasar (kekuatan penawaran dan permintaan). Liberalisasi ini sekaligus akan merobohkan hambatan untuk perdagangan internasional dan investasi agar semua negara bisa mendapatkan keuntungan dari perdagangan dan mengalirnya investasi. Pandangan ini jelas bertentangan dengan Islam dilihat dari tiga aspek:

Pertama, dihilangkannya peran negara dan pemerintah di tengah-tengah masyarakat, yang notabene harus berperan dan bertanggung jawab terhadap seluruh urusan rakyatnya. Padahal dengan tegas Rasulullah saw. bersabda: Pemimpin (kepala negara) adalah pengurus rakyat dan ia bertanggung jawab atas pengurusan mereka (HR Muslim).

Kedua, perdagangan bebas, dimana seluruh pemain dunia (baca:ASEAN), bisa bermain di dalam pasar domestik tanpa hambatan, tanpa lagi dilihat apakah pemain tersebut berasal dari Dar al-Harb Fi’lan atau tidak, juga jelas bertentangan dengan Islam. Sebab, Islam memandang perdagangan internasional tersebut berdasarkan pelakunya; jika berasal dari Dar al-Harb Fi’lan, seperti AS, Inggeris, Perancis, Rusia, dsb, jelas haram.

Ketiga, perdagangan bebas, dari aspek kebebasan masuknya investasi dan dominasi asing di dalam pasar domestik, jelas menjadi sarana penjajahan yang paling efektif, dan membahayakan perekonomian negeri ini. Dalam hal ini, jelas haram, karena Allah SWT berfirman: “Allah sekali-kali tidak akan memberikan jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang Mukmin” (Q.s. an-Nisa’ [04]: 141).

Selain itu, Nabi saw. juga bersabda: “Tidak boleh ada bahaya dan dhirar di dalam Islam” (H.r. Ibn Majah)
Perjanjian perdagangan bebas seperti MEA merupakan bentuk penghianatan terhadap rakyat yang seharusnya dilindungi dari ketidakberdayaan ekonomi. Dengan perjanjian tersebut, sengaja atau tidak, Pemerintah telah membunuh usaha dan industri dalam negeri baik skala besar apalagi skala kecil, yang tentu akan berdampak pada makin meningkatnya angka pengangguran.

Sesunguhnya Islam telah menawarkan kepada umat suatu sistem ekonomi yang dapat membangun kemandirian negara sekaligus menjamin berkembangnya industri-industri dalam negeri serta sektor ekonomi lainnya. Sistem Ekonomi Islam mengatur kepemilikan individu, kepemilikan negara dan kepemilikan umum. Kewajiban negara adalah memastikan tersedianya bahan baku, energi, modal dan pembinaan terhadap pelaku ekonomi rakyatnya. Negara juga wajib mengatur ekspor dan impor barang sehingga betul-betul bisa mendatangkan kemaslahatan bagi masyarakat. Eskpor bahan mentah, misalnya, seharusnya dibatasi.

Sebaliknya, ekspor barang-barang hasil pengolahan yang lebih memiliki nilai tambah harus terus ditingkatkan selama telah memenuhi kebutuhan dalam negeri. Sebaliknya, impor barang-barang yang bisa mengancam industri dalam negeri harus dibatasi. Impor seharusnya hanya terbatas pada barang-barang yang bisa memperkuat industri di dalam negeri. Semua itu dilakukan antara lain dalam melindungi berbagai kepentingan masyarakat. Sebab, kewajiban negaralah untuk menjadi pelindung bagi rakyatnya.
 
Sumber: Islampos

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "MEA, “Bunuh Diri” Politik Negara (analisis)"

Post a Comment