Jadi Korban Pencemaran Nama Baik, Romli Atmasasmita Justru Diserang Koran Tempo dan Kompas

Ahli hukum pidana yang merupakan konseptor Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Romli Atmasasmita, yang menjadi korban pencemaran nama baik justru merasa diserang oleh Koran Tempo dan harian Kompas. Pemberitaan kedua media itu pada Senin kemarin (27/7), menurut Romli, telah menyesatkan publik dan merupakan “pembunuhan karakter” atas dirinya.

Lewat akun Twitter-nya pada Senin kemarin, Romli menyuarakan tanggapannya yang bernada kesal atas headline Koran Tempo edisi 27 Juli 2015, yang berjudul “Bareskrim Jangan Kriminisasi Narasumber”. Menurut Romli, headline itu aneh dan ganjil. “Hukum Indonesia hanya akui setiap orang. Setiap orang adalah orang perorangan atau korporasi merupakan badan hukum atau tidak merupakan badan hukum. Itu saja. ICW perkumpulan, anggotanya perorangan. Narasumber yang perorangan dalam kapasitas perorangan tanggung jawabnya pribadi. Dalam kapasitas pengurus, tanggung jawab perkumpulan diwakili pengurusnya,” tutur Romli.

Romli menilai headline Koran Tempo itu menyesatkan publik dari sudut hukum yang berlaku di Indonesia. Headline tersebut, tambahnya, membuktikan Koran Tempo memihak pada terlapor pencemaran nama baik dan menegasikan hak pelapor yang punya kedudukan sama di muka hukum. “Koran Tempo lupa tentang hak-hak dasar setiap orang yang dilindungi UUD 1945. Tidak paham beda delik aduan dan delik biasa, Koran Tempo lupa Pasal 50 KUHP, salah satu pasal tentang hal-hal yang menghapuskan pidana karena melaksanakan ketentuan undang-undang,” katanya lagi.

Romli juga mengatakan Kabareskrim wajib melaksanakan KUHP dan KUHAP, Undang-Undang Kepolisian, dan undang-undanglain. “Wajib menerima pengaduan masayarakat dan menindaklanjuti. Salahnya di mana?” ujar Romli.

Ia menjelaskan, delik penghinaan atau pencemaran nama sama dengan delik aduan. Jika proses penyidikan gagal karena kelompok tertentu via pers, lanjutnya, terjadi perbuatan menghalang-halangii proses hukum. “Koran Tempo tidak memuat juga, bahkan tidak mau tahu, penjelasan Kapolri dan Kabareskrim soal delik aduan dari Sarpin dan Romli,” katanya.

Kalau Kabareskrim Komjen Budi Waseso tunduk pada desakan petisi untuk melepaskan jabatannya dan menghentikan kasus pidana tanpa bukti yang jelas, ungkap Romli, Kabareskrim Komjen Budi Waseso dapat diancam pidana dengan Pasal 216 KUHP. Dilanjutkan Romli, penanda tangan petisi juga dapat diancam pidana karena termasuk Pasal 55 KUHP ayat(1) ke-1: “setiap orang yang melakukan, menyuruh melakukan, dan turut serta melakukan….”

“Silahkan desak Kabareskrim untuk hentikan kasus saya dengan ICW atau siapa pun, termasuk pejabat negara dan kasus dihentikan pasti saya lawan secara hukum! Kasus saya dan Emerson, Adnan Topan, dan Said bukan urusan Dewan Pers, tapi urusan Bareskrim. MOU tidak dapat dijadikan alasan untuk menunda pemeriksaan. Kedudukan MOU d ibawah Undang-Undang Polri dan Undang-Undang KUHAP, bukan alas hukum, tapi soal etika kelembagaan saja. Bareskrim harus lanjutkan pemeriksaan mereka sampai tuntas sesuai KUHAP,” ujar Romli.

MOU atau nota kesapahaman yang dimaksud Romli adalah MOU antara Dewan Pers, Polri, dan Kejaksaan Agung. Dalam MOU itu antara lain ada kesepakatan dari ketiga pihak tersebut untuk menyerahkan kasus-kasus jurnalistik terlebih dulu ke Dewan Pers.

Sementara itu, Kompas pada Senin kemarin menurunkan berita dengan judul “Delik Defamasi Bisa Ancam Demokrasi”. Romli pun menanggapi berita itu lewat akun Twitter-nya juga pada Selasa ini (28/7). Menurut dia, berita Kompas tersebut telah menyesatkan informasi publik dan “pembunuhan karakter” Romli. “Seolah-olah Romli antidemokrasi dan antipegiat antikorupsi. Kompas media nasional dikenal secara internasional telah ceroboh buat berita yang mendiskreditkan Romli Atmasasmita seakan sebagai pecundang reformasi. Berita Kompas tentang diri saya kan hanya untuk alihkan perhatian dari kasus Emerson cs,” tulisnya.

Seperti pernah diberitakan, Romli Atmasasmita melaporkan dua aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW) dan mantan Penasihat KPK ke Bareskrim Mabes Polri. Ketiga terlapor itu adalah Emerson Yuntho, Adnan Topo, dan Said Zainal. Romli melaporkan ketiganya pada 21 Mei lalu.

Musababnya, dua aktivis ICW Emerson Yuntho dan Adnan Topo membuat pernyataan soal Panitia Seleksi KPK. Keduanya meminta Presiden Joko mempertimbangkan nama Romli masuk dalam susunan anggota Pansel KPK. Alasannya: orang yang tak berintegritas dan diragukan komitmennya terhadap pemberantasan korupsi karena menjadi ahli dalam sidang Komisaris Jenderal Polisi Budi Gunawan.

Romli pun tak terima dengan tudingan itu. “Memangnya saya koruptor, saya residivis? Karena saya jadi saksi, terus saya dibilang prokoruptor, saya punya konflik kepentingan? Kok, main tembak saja,” kata Romli.

Akan halnya Said dilaporkan Romli juga karena itu, menganggap Romli memiliki konflik kepentingan jika dicalonkan sebagai anggota panitia seleksi KPK terkait keterangan Romli sebagai ahli dalam persidangan Budi Gunawan. Malah, Said juga menuding hal yang sama kepada pakar hukum tata negara Margarito Kamis, yang juga menjadi ahli yang dimintai keterangannya dalam persidangan Budi Gunawan.

Seperti dikutip dalam berita Kompas itu, Presiden Imparsial Al Araf mengatakan, apa yang dilakukan oleh Adnan dan Emerson itu bagian dari partisipasi publik dalam kerangka demokrasi untuk mengontrol kekuasaan, supaya tidak ada penyelewengan kekuasaan dalam konteks pimpinan KPK. Ia juga mengatakan, aduan Romli terhadap kedua orang itu sebenarnya sengketa jurnalistik karena terkait dengan pernyataan mereka di media massa.

Selain itu, Kompas juga mengutip pendapat ahli hukum Abdul Fickar. Dikatakan Fickar, Emerson dan Adnan tidak bisa dijerat dengan pasal pencemaran nama baik karena mereka berpendapat dalam konteks kepentingan umum, bukan hubungan pribadi dengan pelapor.

Tampaknya, kasus ini akan terus berkepanjangan. Karena, terasa ada upaya penggalangan opini yang melibatkan banyak pihak dan media. Kalau memang untuk kepentingan umum dan sebagai partisipasi publik mengontrol kekuasaan, mengapa pula harus mendiskreditkan seseorang dengan berasumsi di depan publik, dengan jelas menyebutkan nama pula dan orang itu tidak sedang menjadi pejabat publik atau pejabat negara pula serta tidak sedang terjerat kasus hukum apa pun? Kalau ini sengketa jurnalistik, mengapa pula para terlapor tidak membuat klarifikasi ke media massa yang memuat pernyataan mereka atau meminta Dewan Pers “menegur” media-media itu, tapi justru meminta Dewan Pers untuk menyerukan agar Kabareskrim Polri membatalkan pengaduan Romli? Lalu, siapa yang akan memulihkan nama baik Romli yang telah dicemarkan itu, yang pasti langsung atau tidak langsung berimplikasi kepada keluarga besarnya?

Dengan kerumitan persoalan semacam itu, karena ini negara hukum, tampaknya jalur hukum memang harus ditempuh agar persoalan tidak berlarut-larut dan dapat dituntaskan. Bisa juga, karena ini delik aduan, “bujuklah” Romli untuk mencabut aduannya. (Pribuminews)

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Jadi Korban Pencemaran Nama Baik, Romli Atmasasmita Justru Diserang Koran Tempo dan Kompas"

Post a Comment