Papua Merdeka Tinggal Selangkah?

Papua Merdeka Tinggal Selangkah? [1] 
Oleh: Tika Af’idah

Sebuah gerakan mengumpulkan masa di dunia maya  berupa petisi online  sedang dikumpulkan untuk mendesak Presiden Joko Widodo tim perdamaian PBB masuk ke Papua Barat.

Petisi yang dibuat oleh seseorang bernama Michael Taylor sudah ditanda-tangani 100.203 tanda tangan. Entah siapa orang bernama Michael Taylor. Namun nama ini  selama ini dikenal di dunia sebagai seorang atlet baseball yang tidak ada hubungannya dengan Papua Barat.

Petisi tersebut dibuat berdasarkan laporan bahwa ada sebuah pembantaian massal yang terjadi di Papua Barat, dan jurnalis dilarang masuk ke Papua. Berikut adalah deskripsi yang disertakan di dalam petisi online tersebut:

“Sudahkah Anda mendengar tentang pembantaian masal di Papua Barat, Indonesia? Banyak yang belum pernah mendengar Papua Barat, dan bahkan lebih sedikit lagi yang tahu apa yang terjadi di sana. Seperti itulah yang Pemerintah Indonesia mau.

Sejak invasi ke Papua Barat lebih dari 50 tahun yang lalu, Pemerintah Indonesia telah memerintahkan pemblokiran media. Akses untuk jurnalis asing yang ingin melaporkan keadaan di Papua telah sangat dibatasi. Mereka yang telah masuk ke Papua dengan visa turis telah dideportasi, ditangkap, bahkan dipenjara. Jurnalis lokal bahkan mengalami kejadian lebih buruk. Mereka diancam, diintimidasi, dipukuli, bahkan menghilang atau dibunuh. Jelas menunjukkan bahwa Pemerintah Indonesia tidak menginginkan siapa saja tahu apa yang mereka lakukan di Papua Barat.

Lebih dari 500.000 rakyat tewas dalam pembantaian terhadap suku lokal. Ribuan orang diperkosa, disiksa, dipenjara, atau menghilang setelah ditangkap. Banyak desa telah dibumihanguskan, satu generasi telah punah. Hak Asasi Manusia seperti kebebasan berpendapat ditentang dan rakyat Papua hidup dalam ketakutan,” demikian tulis petisi.

Dan beberapa paragraf lainnya yang menyebutkan hal yang sama dan berulang-ulang yang telah disebutkan di atas. Bahwa akses untuk jurnalis dan relawan kemanusiaan sangat susah.

Bahwa Presiden Jokowi telah berjanji akan melakukan sesuatu terhadap Papua, namun masih tidak ada tindakan jelas, dan lain sebagainya.

Penandatangan petisi ini sebagian besar berasal dari Eropa dan Amerika Serikat, yang jelas mereka tidak tahu apa-apa tentang kondisi Papua, bahkan mungkin tidak bisa menemukan Indonesia di peta.

Berita yang disertakan oleh Taylor di petisi ini adalah satu artikel dari situs milik International Parliamentarians for West Papua (IPWP), yang salah satu motornya adalah pengurus Operasi Papua Merdeka (OPM).

Petisi ini jelas ditulis untuk menyetir opini publik bahwa Papua tidak aman dan tindakan harus segera diambil, berdasarkan satu artikel ketinggalan jaman yang berasal dari situs propaganda.

Padahal baru Mei lalu Bupati Sorong Utara, Stepanus Malak menyatakan bahwa Papua kini lebih aman daripada Pulau Jawa.

Dengan berkembangnya sektor perekonomian dan pendidikan, menjadikan kehidupan di Papua adem ayem. OPM dan organisasi pemberontak lainnya geraknya menjadi terbatas karena hal itu.

”Yang diketahui oleh masyarakat itu kerusuhan suku, kerusuhan OPM, rumah honai, dan yang jelek-jelek saja. Padahal, Papua sekarang tidak seperti itu. Kalau tidak percaya datang saja ke Papua,” ujarnya dikutip koran-sindo.com.

Terkait hal yang disebutkan dalam petisi ini, kemungkinan akan disinggung dalam kunjungan bilateral Perdana Menteri Inggris David Cameron pada 27 Juli 2015. Hal ini dikarenakan keberadaan Kantor OPM di Oxford, Inggris, yang resmi dibuka pada Mei 2013 silam.

Campur Tangan Asing

Kasus Papua nampaknya banyak dianggap enteng berbagai pihak. Di hadapan kita pernah dinampakkan contoh kasus. Timor-Timur tahun 1999.

Sebagaimana diketahui, pasca lengsernya Soeharto, Presiden BJ Habibie memutuskan untuk mengadakan referendum, yang belakangan ditengarai penuh dengan kecurangan. Referendum yang berada di bawah tanggung jawab United Nations Mission in East Timor (UNAMET)  dipenuhi [perekrutan local staff yang diambil hanya dari orang-orang yang pro kemerdekaan atau yang akan memilih opsi merdeka.

Kecurangan lain ‘rekayasa’ Barat adalah temuan wartawan O’kanne dari media The Guardian, setelah tiga hari melaksanakan investigasi terhadap lebih dari 100 pengungsi di Timor Timur, hanya satu orang pengungsi yang mengaku bahwa anggota keluarganya tewas terbunuh.

Investigasi ini dilakukan karena munculnya wawancara televisi seorang sukarelawan dari Australia yang mengklaim bahwa ia melihat mayat-mayat berserakan di markas Polda Dili. Atas dasar temuannya itulah The Guardian seperti yang ditulis Republika, Selasa 28 September 1999 memuat topik besar bahwa “pembantaian massal di Timor Timur bohong besar”.

Tanggal 28 Agustus 1999 di kab. Maliana, anggota UNAMET atas nama Pieter Bartu (asal Australia) memutarbalikkan berita-berita tentang kejadian-kejadian di daerah Maliana, sehingga menyebabkan terjadinya ketegangan antara masyarakat pro kemerdekaan dan pro otonomi. Pieter Bartu inilah yang mengusulkan kepada pimpinan UNAMET untuk mengganti DANDIM, KAPOLRES dan beberapa Bintara KODIM Maliana sehingga menyebabkan masyarakat pro otonomi semakin tidak menyenangi UNAMET.

Kecurangan secara terang – terangan dilakukan pada tanggal 30 Agustus 1999 di seluruh wilayah Timor Timur. Dari laporan berbagai pihak tercatat ada 29 macam kecurangan, 27 macam di antaranya dilakukan oleh UNAMET bersama unsur-unsur pendukung pro kemerdekaan yang dilakukan di 89 TPS dari 274 TPS yang tersebar di 13 kabupaten se wilayah Timor-Timur. [Kecurangan UNAMET, Selama Jajaj Pendapat di Timor-Timur pada Tahun 1999,  http://untas.org].

Kasus serupa juga terjadi di Libya tahun 2011. Fakta menunjukkan, keterlibatan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) selama kurang lebih 7 bulan menggempur pasukan Muammar Qadhafy dan aset-aset militernya bukan semata hanya melindungi warga sipil. Sebab, berbabagi kesalahan teknis dan non-teknis dan serangannya yang juga menewaskan rakyat sipil dan membuat berbagai kalangan menilai intervensi NATO memiliki tujuan lain.

Beberapa penelitian  menyimpulkan, intervensi militer NATO dalam krisis politik di Libya didasari ekonomi dan politik. Bahwa, Barat berusaha memaksakan demokrasi ke negara tersebut dengan alas an kemanusiaan.

Hal ini juga pernah dikritik Presiden Afrika Selatan Jacob Zuma di mana ia mengatakan, NATO menyalahgunakan resolusi PBB untuk melindungi warga Libya dari pasukan Muammar Qadhafi guna mengejar perubahan kekuasaan dan pembunuhan politik.

“Kami menentang penyalahgunaan niat baik dalam Resolusi 1973,” kata  Jacob Zuma dalam pidato anggaran di parlemen. “Kami sangat percaya bahwa resolusi disalahgunakan untuk perubahan kekuasaan, pembunuhan politik dan pendudukan tentara asing,” katanya.

Sementara Perdana Menteri Rusia Vladimir Putin yang mengutuk resolusi PBB yang memungkinkan tindakan tentara di Libya sebagai “seruan Perang Salib pada abad pertengahan” dan mengecam Washington untuk kesiapannya memamerkan kekuatan. [Afsel: NATO Salah Gunakan Resolusi PBB tentang Libya, Republika.co.id, Selasa, 14 Juni 2011]

Banyak pengamat menyebutkab, serangan NATO ke Libya adalah karena minyak. Pendapat ini disampaikan  pengamat politik internasiona, Alfred Hackensberger.

“Negara-negara NATO tidak melakukannya dengan suka rela, untuk menegakkan demokrasi di Libya. Yang utama adalah kepentingan, sumber minyak, engaruh dan kekuasaan. Pemenang utama mungkin Qatar, yang mendukung pemberontak tanpa syarat apapun. Dan pemberontak mengatakan, siapa yang membantu mereka akan diperhitungkan dalam penandatanganan perjanjian minyak,“ demikian ditambahkan Hackensberger dikutip Deutsche Welle.

Kasus Timor-Timur, Libya mungkin tak akan jauh beda dengan Suriah dan Papua.  Dengan alasan HAM, dan demokrasi, Barat menggunakan PBB memaksakan Papua akan lepas dari Indonesia.
Harap ingat, tambang yang dikuasai oleh perusahaan Freeport Amerika, bernama Tambang Grasberg atau Grasberg Mine adalah tambang emas terbesar di dunia dan tambang tembaga ketiga terbesar di dunia.

Tambang ini terletak di provinsi Papua di Indonesia dekat latitude -4,053 dan longitude 137,116, (satelitte view) dan dimiliki oleh Freeport yang berbasis di AS (67.3%), Rio Tinto Group (13%), Pemerintah Indonesia hanya (9.3%) dan PT Indocopper Investama Corporation (9%).

Operator tambang ini adalah PT Freeport Indonesia (anak perusahaan dari Freeport McMoran Copper and Gold). Biaya membangun tambang di atas pegunungan Jayawijaya ini sebesar 3 miliar dolar AS.
Pada 2004, tambang ini diperkirakan memiliki cadangan 46 juta ons emas. Pada 2006 produksinya adalah 610.800 ton tembaga; 58.474.392 gram emas; dan 174.458.971 gram perak. [Setelah Mesir, Libya, Kini Suriah, Target AS Selanjutnya adalah Papua, indocropcircles.wordpress.com]

Faktanya, PT Freeport di Papua telah mengadu domba antara aparat keamanan dengan rakyat maupun buruh-buruh.

Pihak-pihak asing yang berusaha mempermainkan konflik supaya mereka bisa dengan aman mengeruk kekayaan Papua. Kemudian gerakan separatis yang boleh jadi dibiayai oleh asing supaya Papua merdeka, sehingga pihak asing bisa sesuka hatinya mengeruk kekayaan Papua. Keuntungan PT Freeport Indonesia yang mencapai 70 triliun rupiah pertahun besarnya tidak sebanding dengan besarnya kesejahteraan yang diberikan PT Freeport kepada karyawan dan masyarakatnya.

Cara-cara di Timor-Timur, Libya, Suriah boleh jadi akan akan diterapkan di Papua. Barat akan mengangkat  gerakan separatis Papua mendeklarasikan kemerdekaannya. Karena itu, Republik Federal Papua Barat (Federal Republic of West Papua) kemudian mendaftarkan proklamasi kemerdekaan mereka kepada Dewan Keamanan PBB pada Februari 2012 untuk mendapatkan pengakuan internasional.

Sejak saat itu, para pendukung Papua Merdeka mulai menggunakan strategi diplomasi untuk merebut simpati internasional.  Karena itu tokoh separatis Papua di Inggris Benny Wenda mulai mendekat ke Amerika.

Sejak diproklamasikan tahun 2012, Federal Republic of West Papua juga semakin memperkuat jejaring politik luar negeri mereka. Puncaknya adalah pada 4 Maret 2014, ketika Perdana Menteri Vanuatu Moana Carcasses Katokai Kalosil berpidato pada Sidang Tingkat Tinggi ke-25 Dewan HAM PBB di Jenewa, Swiss.

Dalam pidatonya, PM Vanuatu mendorong komunitas internasional untuk mendukung kemerdekaan Papua Barat. PM Vanuatu menilai bahwa Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tahun 1969 cacat hukum dan penuh rekayasa. Agaknya, pengakuan negara-negara pasifik terhadap Papua akan menjadi agenda penting yang segera direalisasikan.[Papua Merdeka Tinggal Menghitung Hari?, indonesianreview.com].

Sementara itu, pasca kerusuhan Tolikara, muncul ke public fenomena Gereja Injili Di Indonesia (GIDI) yang sangat ‘berkuasa’ di Papua dan ditengarai lebih dekat ke Israel. Dalam Situs Gereja Injili di Indonesia, GIDI, (http://www.pusatgidi.org/ind/israel), sampai 23 Juli 2015, masih memasang Piagam Kerjasama kelompok GIDI itu dengan Israel.

Gereja Injili di Indonesia (GIDI) yang mencuat setelah kasus pembakaran masjid di Tolikara dan munculnya surat pelarangan ibadah agama lain dan jilbab di Tolikara juga  mengharuskan mengecat pagar dan kios dengan bendera Negara Israel.

Tanda-tanda ini tidaklah bisa dibiarkan atau dianggap sepele. Jika tidak, bangsa Indonesia akan menyesal ketika Papua lepas dari Indonesia.


Penulis alumni Fakultan Ilmu Komunikasi UNAIR
Dimuat pertama kali di Hidayatullah.com

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Papua Merdeka Tinggal Selangkah?"

Post a Comment