'Perlu Diapresiasi, Umat Islam Mampu Menahan Diri dalam Kasus Tolikara'

Puing-puing masjid dan 64 kios yang dibakar di Tolikara
Presedium KAHMI, MS Ka’ban dalam diskusi “Dibalik Kerusuhan Tolikara, Ancaman Keutuhan NKRI”, belum lama ini (29/7/2015) di Gedung KAHMI Center, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan menegaskan, umat Islam sudah sangat dewasa untuk bisa mengerem atau menahan diri untuk tidak melakukan aksi balas dendam atas insiden yang menimpa saudara muslim di Tolikara saat melakukan shalat Idul Fitri belum lama ini (17 Juli 2015).

“Saya sempat khawatir, jika umat Islam di wilayah lain melakukan balas dendam. Tapi, terbukti umat Islam di berbagai wilayah Indonesia mampu menahan diri. Umat Islam hanya mendesak pemerintah dan aparat untuk menegakkan hukum. Karena hukum harus menjadi Panglima dan menjadi prioritas utama,” kata Ka’ban yang juga Ketua Dewan Syuro Partai Bulan Bintang.

Menurut Ka’ban, masyarakat Papua tidak berbeda dengan masyarakat Sumatera Utara. Persaudaraan terhadap mereka yang berbeda agama sangat tinggi. Meski beda agama, kami akur, tidak ada konflik karena perbedaan agama. Bahkan kami saling menghormati saat hari raya. Karena itu, insiden di Tolikara, tidak mungkin terjadi jika tak ada provokasi.

Hal senada juga dikemukakan Moksen Idris Sirfefa, tokoh KAHMI (Departemen Politik dan Demokrasi) asal Kaimana – Papua. “Umat Islam itu seperti satu tubuh, jika satu bagian tubuhnya merasa kan sakit, maka tubuh lainnya juga merasakan sakit yang sama. Wajar saja, jika umat Islam Indonesia menyatakan keprihatiannya atas peristiwa yang terjadi di Tolikara. Dan apa yang terjadi di Tolikara merupakan keretakan kecil yang mengganggu sendi-sendi kehidupan berbangsa.”

Bagi masyarakat Papua, perbedaan agama dalam keluarga itu hal yang biasa. “Saya punya kakek memiliki 12 istri. Diantara keturunannya, ada yang beragama Islam, ada pula yang Kristen. Karena itu, Islam dan Kristen itu seperti agama keluarga. Bahkan Masjid dan Gereja itu menjadi tempat kami bermain kelereng.” Dikatakan Ocen -begitu ia akrab disapa- di Papua, ada tiga hukum yang berlaku, yakni: hukum adat, hukum agama dan hukum pemerintah. Maka, peristiwa yang terjadi di Tolikara sangat mengagetkan kita semua.

Ini peristiwa pertama kali terjadi di Papua. Orang Papua menyebutnya Bait Allah dibakar (rumah Allah dibakar). “Kita tahu, gereja Gidi baru masuk ke Papua tahun 1963. Sedangkan umat Islam sudah berada disana sebelum GIDI ada. Karena itu sangat melecehkan kami yang lebih dulu ada disana,” tegas Ocen.
Ka’ban dan Ocen bersyukur, polisi telah mengumumkan dua nama tersangka. “Kita berharap aparat penegak hukum mengusut tuntas kejadian tersebut . Termasuk mengusut keberadaa orang asing di Tolikara. Kita tidak ingin ada pihak-pihak yang mengancaman NKRI. Tentu, kita berharap Papua tetap menjadi menjadi bagian yang utuh dari NKRI,” ungkap Ka’ban.[Desastian/Islampos]

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "'Perlu Diapresiasi, Umat Islam Mampu Menahan Diri dalam Kasus Tolikara'"

Post a Comment