“Insiden Tolikara sama sekali bukan kasus kriminal biasa. Dan bukan kasus spontanitas. Namun ditengarai ada upaya untuk menciptakan dan mengusik kehidupan beragama secara sistematis. Faktanya massa yang mengepung jamaah shalat Ied berasal dari tiga titik, dan ada suara-suara yang mengomando penyerangan,” demikian disampaikan Fadlan Rabbani Garamatan dalam jumpa pers dengan wartawan di Jakarta, Jumat (31/07/2015).
“Insiden Tolikara termasuk pelanggaran HAM berat, karena Gereja Injili Di Indonesia (GIDI) menghalangi umat beragama lain untuk melakukan ibadah dan menjalankan ajaran-ajaran agamanya,” demikian kesimpulan Komat.
Komat juga berkesimpulan, presiden Gereja Injili Di Indonesia (GIDI) patut dijadikan tersangka, karena tidak mengindahkan dan abai terhadap peringatan yang dilakukan oleh Kapolres, sehingga insiden yang melukai umat muslim ini terjadi.
“Faktanya, massa Gereja Injili Di Indonesia (GIDI) yang berkumpul telah melakukan teror dengan melakukan pelemparan baik secara langsung kepada jamaah sholat Ied ataupun dengan melemparkan batu ke atap seng kios yang membuah suara gaduh untuk membubarkan sholat Ied.”
Menurut Komat, pembakaran dimulai dari rumah Ketua DKM, Sarno, yang jaraknya terhitung sangat dekat dengan masjid Baitul Muttaqien Tolikara, yang hanya 20 meter.
Yang menarik temuan Komat, lahan Masjid Baitul Muttaqin sudah memiliki sertifikat resmi. Ini mematahkan anggapan bahwa masjid ini berdiri di atas tanah ulayat.
Dalam sertifikat hak milik bernomor 26.03.09.02.1.00797 tersebut diketahui bahwa nama pemilik yang tercantum adalah MASRUN. Sertifikat dengan Daftar Isian 208 No 264/1991 ini dalam keterangan surat ukur memiliki luas 509 m2. (Hidayatullah.com)
0 Response to "Komat: Presiden Gereja Injili Di Indonesia Patut Dijadikan Tersangka"
Post a Comment