Sulitnya Menerbangkan Pesawat di Pedalaman Papua


Sulitnya Menerbangkan Pesawat di Pedalaman Papua
Kru pesawat CN 212 TNI Angkatan Laut mengecek kondisi pesawat yang disiagakan untuk mengevakuasi korban kecelakaan pesawat Trigana Air PK-YRN di crisis center kompleks Bandara Sentani, Kabupaten Jayapura, Papua, Selasa (18/8). (ANTARA FOTO/Andika Wahyu)
Menerbangkan pesawat di atas tanah Papua bukanlah perkara mudah. Apalagi bagi pesawat-pesawat yang menuju bandara-bandara di pedalaman alias perintis.

Salah satu penyebabnya adalah kondisi topografi atau bentuk permukaan bumi Papua yang banyak gunung dan lembah. Bahkan untuk mengakali topografi yang sulit tersebut, pilot harus menggunakan penerbangan visual (Visual Flight Rules).

Penerbangan visual dilakukan hanya dengan mengandalkan kompas, melihat kondisi sekitar, dan membaca tanda alam maupun cuaca. Sistem ini pun pada akhirnya hanya mengandalkan pandangan mata dan kemampuan sang pilot untuk membuat pesawat tetap terbang pada jalurnya.

Direktur Navigasi dan Penerbangan Kementerian Perhubungan Novie Riyanto mengatakan kemampuan dan keterampilan penerbang di Papua harus tinggi karena sulitnya medannya.

"Tidak berarti penerbangan di Papua yang berisiko tinggi bisa diatasi dengan pengalaman dari pilotnya, diperlukan jam terbang dan kualifikasi yang tinggi," kata Novie.

Permasalahan penerbangan di Papua tidak hanya soal kondisi topografi saja. Topografi yang rumit membuat teknologi kurang berfungsi. Begitu juga dengan minimnya fasilitas pendukung teknologi, terutama di pedalaman.

"Bandara sekelas Jayapura, Biak, Merauke, Sorong, Timika, semua radar sudah ada. Mereka fasilitasnya lengkap. Instrumennya juga lengkap. Tapi di pedalaman kita harus melakukan upaya ekstra," katanya dalam diskusi yang diadakan di Gedung Kementerian Perhubungan, Jakarta, kemarin, Rabu (19/8).

Beberapa daerah pedalaman yang dimaksud adalah Oksibil, Ilaga, juga Dekai. Meski perlengkapan navigasi yang digunakan untuk memandu pergerakan pesawat, tetapi jika fasilitas lainnya tak mendukung, sebut Novie, maka tak akan optimal sebagai mana yang terjadi dengan Trigana Air di Oksibil.

"Walaupun sudah ada radar NDB, ada VOR tapi di Oksibil listriknya tidak ada. Pakai genset kadang hidup, kadang mati, solarnya Rp 50 ribu satu liter," ujar Novie. Radar NDB atau non-directional beacons adalah sistem sinyal radio yang bisa mengikuti kontur bumi.

Selain itu, nasib penerbangan di pedalaman Papua semakin sulit ketika informasi cuaca tidak dapat diterima dengan baik. Bahkan kabarnya, pilot harus menelepon ke bandara tujuannya terlebih dahulu untuk mengetahui kondisi cuaca.

Novie tidak memungkiri adanya kesulitan pemantauan cuaca di sana. Ia mengatakan hal ini disebabkan oleh minimnya stasiun Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) di pedalaman.

"Kalau di pedalaman BMKG-nya tidak ada. Ke depan kami akan minta BMKG untuk tambah stationnya. Station mereka tidak semua ada di bandara kita," kata Novie.

Solusi Melalui Teknologi

Untuk meyelesaikan permasalahan penerbangan yang terjadi di Papua, Novie mengatakan perlu diterapkan teknologi canggih terutama dalam sistem radar. Ke depan, Novie mengatakan akan menggunakan sistem satelit dan transmisi data digital.

Sistem satelit dan transmisi data digital tersebut tentunya memiliki kelebihan dibandingkan sistem navigasi lainnya. Sistem tersebur lebih fleksibel dan hampir bisa menyelesaikan permasalahan apapun.

"Pure self content di pesawat. Cuma memang peralatan pesawat harus tersertifikasi. Pilotnya juga harus tersertifikasi," kata Novie.

Lebih lanjut ia menjelaskan, intervensi manusia dalam sistem ini pun sedikit sekali. Yang menjalankan adalah mesin.

"Manusia tidak bisa menjalankan karena hitungannya sepersekian detik harus belok, misalnya," ujarnya.

Biasanya kondisi ini terjadi saat pesawat melintasi rute di dekat pegunungan atau daerah lainnya yang tergolong banyak rintangan atau memiliki jarak pandang yang tidak jauh dan tidak luas.

Novie menjelaskan sebenarnya sistem ini sudah diterapkan di sebagian Indonesia. Lagi-lagi daerah pedalaman harus menjadi pengecualian.

"Jakarta ke Jayapura sudah instrumen semua. Jayapura ke Merauke, sudah. Ke pedalaman belum, masih visual sangat tergantung pada cuaca," kata dia.

Penerapan sistem satelit dan transmisi data digital ini patut digunakan karena bisa memandu pesawat untuk terbang secara presisi dan pasti serta menjamin keselamatan.

"Kalau untuk terbang visual mereka harus hapal koordinat mana ada rintangan apa. Ke depan kita mengurangi hal seperti itu. Kita pastikan penerbang tergantung pada instrumen on board-nya, tidak tergantung pada kanan kiri," ujar Novie. (CNNIndonesia)

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Sulitnya Menerbangkan Pesawat di Pedalaman Papua"

Post a Comment