Maher Zein: Unofficial Biography


Headline
Maher Zein

Oleh: Darmawan Sepriyossa
 
Bab I
Tripoli, Kota Kelahiranku

Bukan tanpa alasan bila hatiku selalu memiliki ruang yang luas untuk mereka yang kehilangan tanah air. Empati yang besar bagi mereka itu tampaknya karena dalam banyak hal, keluargaku, masa kecilku, sempat merasakan betapa menyedihkan terlepas dari tanah air yang sangat kami cintai. Tanah kelahiran, tanah yang dipilih Allah sebagai tempat pertamaku menghirup udara anugerahNya.
Dengan pemahaman seperti itu aku bisa bersimpati dengan begitu dalam akan penderitaan warga Palestina. Tak sekadar membaca apa yang terjadi dari berita, aku pun bisa merasakan penderitaan mereka. Simpatiku akan mereka itu bisa dilihat dari syair laguku, ‘Palestine Will Be Free’ yang termuat sebagai bagian dari album pertamaku.

Kondisi mencerabut kami dari kehidupan damai dan menyenangkan yang kami nikmati di sebuah kota indah di Libanon, Tripoli. Namanya mungkin mengingatkan banyak orang kepada ibukota Libia. Tetapi ini Tripoli lain. Tripoli yang bagiku tentu lebih menyenangkan. Tidak hanya karena kotaku ini langsung berhadapan dengan Laut Mediterania yang terkenal indah. Kota ini menempati ceruk khusus di hatiku karena Tripoli memberikan aku masa-masa kecil yang indah.

Aku lahir di kota itu pada 1981 sebagai empat bersaudara. Dua laki-laki, dua perempuan. Aku merupakan anak kedua. Ayahku Mustafa Zain seorang musisi yang sangat mencintai pekerjaannya. Penyanyi, tepatnya. Setara dengan itu, ia pun sangat mencintai kami, keluarganya.

Tak heran, sejak kecil kami sudah ia kenalkan dengan musik. Tak jarang, usai makan malam dan mengulang pelajaran yang kami dapatkan siangnya di sekolah, ayah menghibur ibu dan kami, anak-anaknya. Itu bahkan menjadi kegiatan yang sangat disukainya manakala tak ada undangan untuk manggung menghibur.

Aku masih bisa mengingat tawa lebar ayah melihat betapa senangnya kami mendengar lagu-lagu yang ia nyanyikan. Matanya akan berbinar, dengan anak mata yang membesar senang. Suara ayah begitu merdu. Suara itu pula yang terakhir kudengar di malam-malam saat ia berada di rumah, sebelum akhirnya memasuki dunia impian yang mengasyikkan dalam tidur. Tak jarang, mimpiku pun bahkan berisikan ayah dan nyanyian-nyanyiannya.

Tetapi itu bukan berarti ayahlah yang selalu meninabobokan kami setiap malam. Tentu saja yang lebih sering menemani kami tidur, membacakan dongeng dan menyanyikan nina bobok adalah ibu. Tetapi kami benar-benar beruntung memiliki ayah yang dengan senang hati menidurkan kami dengan lagu-lagunya setiap kali berkesempatan. Kemudian hari, ketika pikiranku mulai terbuka dan kian banyak mencerap pengalaman, aku menyadari betapa halus dan gemburnya hati ayah. Itu kian membuatku menyanyanginya, dan bersyukur memiliki ayah seperti dirinya.

Meski lebih dari setengah usiaku dihabiskan di Eropa, masa-masa kecilku di Tripoli adalah kenangan yang tak akan pernah kulupakan. Buktinya, aku masih sangat lancar berbahasa Arab, bahasa pertama yang diajarkan keluarga kepadaku. Dan sejatinya, setiap orang yang pernah bermalam di kota itu, tak akan pernah mampu melupakan Tripoli.

Sebagai kota yang teramat tua--didirikan bangsa Funisia lebih dari seribu tahun sebelum kelahiran Nabi Isa, Tripoli seolah memiliki sihir yang kuat, yang menarik siapa yang pernah meminum airnya, menyesap udaranya, untuk kembali. Aku adalah satu dari jutaan orang yang tergendam sihir Tripoli. Itu yang membuatku hingga saat ini masih memelihara hasrat untuk kembali tinggal di sana, pada saatnya. Tak hanya memelihara. Pada sisi-sisi tertentu aku bahkan menumbuhkannya. Menyuburkan keinginan itu dengan tetap memelihara kenangan-kenangan indah masa kecilku di sana.

Meski tak sebesar ibukota Libanon, Beirut, Tripoli adalah kota kedua terbesar di Libanon. Jaraknya sekitar 85 km sebelah utara Beirut. Tak hanya lebih indah, Tripoli pun lebih aman. Yang lebih pasti, sudah jauh lebih dikenal para musafir dunia sejak sebelum Masehi. Karena itu wajar bila kota kami dikenal dengan berbagai nama. Orang-orang Arab menamainya Tarabalus atau Trablos. Sementara para pelaut Yunani sejak lama menamainya Tripoli.

Aku pernah mendengar penuturan sekilas bagaimana kotaku bernama Tripoli. Kabarnya, awalnya di masa lampau, bangsa Funisia yang tinggal di kota-kota Tirus, Sidon dan Arados membentuk persekutuan. Tirus kemudian dipilih menjadi ibukota persekutuan tersebut. Karena merupakan jantung dari tiga kota, lambat laun Tirus lebih dikenal sebagai Tripoli, kata Yunani untuk ’tiga kota’.

Dengan sejarahnya yang tua, kota kami pun mengalami pemerintahan berbagai dinasti dari aneka kebudayaan dan agama. Selain bangsa Funisia yang mendirikannya, Tripoli pernah berada di bawah dinasti Asyura, Kekaisaran Persia, Imperium Roma, kekaisaran Romawi Timur (Bizantium), Kekaisaran Turki Seljuk, Turki Usmani, tentara Salib, bahkan sempat pula dikuasai Prancis. Nyaris setiap rezim penguasa menorehkan tanda-tanda keberadaan mereka di Tripoli, yang saat ini boleh dibilang turut memperkaya warisan budaya kota kami.

Tetapi ciri terutama adalah kebudayaan Islam. Hal itu berkaitan erat dengan lamanya kekuasaan Islam, baik Dinasti Seljuk maupun Turki Usmani pernah berkuasa di sini. Libanon baru lepas dari kekuasaan Turki Usmani di hampir pertengahan abad 20.

Wajar bila pengaruhnya masih sangat membekas hingga hari ini. Paling tidak dari proporsi penduduk muslim sunni yang tercatat sebagai mayoritas (80 persen) dari sekitar 500 ribu penduduk Tripoli saat ini. Ada pula sekitar 60 ribu orang penganut muslim Alawi--terutama yang mendiami kawasan Jabal Mohsen, serta sekitar lima persen penganut Kristen. Dengan banyaknya warga muslim sunni, kadang Tripoli dianggap sebagai benteng tradisional dari kalangan konservatif sunni di Libanon.

Budaya Islam yang hidup di Tripoli membuat kotaku itu penuh dengan masjid. Aku ingat pengalaman masa kecilku saat masih di sana. Pada libur awal pekan, kadang ayah membawa kami berkeliling kota, menikmati pemandangan dan mengunjungi bangunan-bangunan bersejarah. Bila waktu salat tiba, tak susah kami menemukan masjid untuk bisa melakukan salat berjamaah. Masjid-masjid yang tua dan indah tersebar di seluruh kota. Beberapa diantaranya dari masa-masa kejayaan dinasti Mamluk. Aku masih bisa merasakan dinginnya lantai masjid-masjid tua itu di kening, manakala ayahku mengajak salat.

Belakangan, pada masa remaja, dari brosur-brosur biro perjalanan yang dengan mudah kuakses di Stockholm, aku mengenali masjid-masjid itu, beserta nama-namanya. Dengan itu pula ingatanku kembali ke masa-masa kecilku. Ada masjid Aattar, Masjid Abou Bakar Al Shidiq, Masjid Arghoun Shah, Masjid Bertasi, Masjid Kabir Al Aali, Masjid Mahmoud Beik, Masjid Sidi Abdel Wahed dan lain-lain. Pokoknya, tak sulit untuk mencari rumah Tuhan di Tripoli.

Tidak hanya masjid. Aku tak akan berani mengatakan kotaku adalah kota budaya bilamana pusat pendidikan pun tak banyak di sana. Sejak lama, Tripoli memiliki sejumlah besar sekolah dari semua tingkatan. Ada yang merupakan institusi Negara, tak sedikit pula milik swasta. Di kotaku berdiri Universitas Lebanon, University St Joseph, Al-Manar University Tripoli, Al-Jinan University, University of Balamand yang berada di pinggiran kota, Tripoli University of Notre Dame, serta berbagai perguruan tinggi kejuruan dan sains lainnya yang tak bisa kusebut di luar kepala.

Aku masih ingat saat ayah bercerita dengan bangga akan kota kami ini, ketika masih kecil. Dia mengenalkanku kepada seorang musafir besar muslim yang namanya mendunia, Ibnu Bathutah. Ayah bercerita, saat mengunjungi kota kami pada sekitar tahun 1355, Bathutah menggambarkan betapa indah dan teraturnya kota kami.

“Kota disusun begitu teratur. Rumah-rumah baru berdiri kokoh dan indah sampai pesisir pantai. Di kota ada tempat pemandian umum yang ramai didatangi warga…” Aku masih bisa mengenang betapa aku terpukau dengan cara ayahku bercerita. Ia seolah menjadi Ibnu Bathutah sendiri malam itu.
Sayangnya, sebagaimana di Beirut, keanekaragaman itu bukan menjadi warna-warna yang indah bercahaya. Perbedaan di antara kami malah seakan menjadi kutukan tersendiri manakala tak bisa dikelola dengan baik.

Awalnya, tak hanya Tripoli, negara kami Libanon adalah negara kecil yang manis. Letak kami yang berada di tepi Laut Tengah menjadikan negeri kami tempat transit arus perdagangan lintas benua, yakni Asia, Afrika, dan Eropa. Tak hanya itu. Sejak lama Libanon dikenal karena panorama alam yang menawan, yang mampu menarik hati para wisatawan asing berkunjung. Itulah yang membuat perekonomian negara kami maju pesat sejak merdeka dari Prancis, tahun 1943.

Sayang, kondisi itu tak berlangsung lama. Libanon pun segera berubah menjadi negeri penuh konflik bersenjata. Kami yang dilahirkan di sana seolah menerima takdir untuk tidak bisa hidup dengan tenang, aman, dan nyaman. Berbagai macam pergolakan itu tidak jarang memakan korban jiwa dan merusak bangunan dan harta benda.

Yang paling mencekam adalah perang saudara yang terjadi dalam kurun 1975-1990. Sejak itu, Libanon bukan lagi sorga di Bumi, yang indah dan nyaman ditempati. Begitu pula Tripoli. Masa-masa itulah yang akhirnya membuat ayahku mengambil keputusan penting: keluar dan mencari negeri lain. Toh rahmat Allah terserak di Bumi.

Saat itu usiaku baru delapan tahun. Sejak itu pula kami tinggal di Swedia, dan kemudian menjadi warganya. Tetapi Tripoli dan Libanon tak pernah bisa hilang dari kepala dan hatiku. Tripoli adalah cinta pertamaku kepada bumi, tanah dan air.  (Bersambung)

Dimuat pertama kali oleh inilah.com

Subscribe to receive free email updates: