Menengok Karya Ulama Terdahulu

Buya Hamka
Buya Hamka
Mayoritas ulama besar biasanya melahirkan karya tulis sebagai wasilah dakwahnya. Imam Malik dengan karya fenomenalnya Al Muwattha', Imam Syafi'i dengan kitab al-Umm, Imam Ahmad dengan Musnad-nya, hingga Buya Hamka dengan tafsir Al Azharnya. Seakan menulis sudah tak terpisahkan dari aktivitas dakwahnya.

Direktur Pusat Kajian Hadis Jakarta, Dr KH Ahmad Lutfi Fathullah MA mengatakan, amat disayangkan para cendekiawan dan ulama saat ini yang kurang melahirkan buku-buku. Dibandingkan ulama terdahulu, buku-buku yang bisa dilahirkan zaman sekarang masih jauh lebih sedikit. "Bahkan, ulama yang kita bilang top saja masih tergolong minim (melahirkan karya tulisan)," ujarnya.

Kiai Lutfi mengatakan, zaman dahulu cukup banyak cendekiawan Muslim di Tanah Air yang melahirkan karya buku, di antaranya Syekh Nawawi al-Bantani al-Jawi. Ia layak menempati posisi sebagai tokoh utama kitab kuning Indonesia karena hasil karyanya menjadi rujukan utama berbagai pesantren di Tanah Air, bahkan di luar negeri.

"Kalau Syekh Nawawi ini, baru bukunya banyak. Ulama-ulama lain juga banyak yang menulis, tapi jumlahnya masih minim. Mereka tidak sekaliber nama besar Syekh Nawawi," papar kiai Lutfi.

Sebenarnya, Indonesia patut berbangga dengan karya para ulama terdahulu. Nama besar Syekh Nawawi telah melahirkan karya masterpiece Indonesia, yaitu tafsir Al Munir. Tafsir ini begitu cepat dikenal dunia internasional karena tulisannya berbahasa Arab. Namun sayangnya, saat ini tak ada lagi yang bisa mengikuti jejak beliau.

"Kalau Syekh Nawawi dan Syekh Mahfudz Termas itu bukunya berbahasa Arab. Jadi, yang membaca juga bisa banyak dan dari berbagai negara. Tapi, kalau ulama sekarang, bukunya masih berbahasa Indonesia. Jadi, pembacanya hanya orang yang mengerti bahasa Indonesia. Apalagi dalam bahasa Inggris, ulama kita yang menulis ilmu Islam dalam bahasa Inggris nyaris tidak ada,” katanya.

Kiai Lutfi mengatakan, kendati karya-karya ulama terdahulu sudah mengharumkan nama Indonesia di kancah internasional, karya-karya mereka jarang sekali terekspose dalam khazanah keilmuan Islam dalam negeri. Penyebabnya, mungkin karena memakai bahasa Arab, jadi malah di negeri sendiri yang tidak terekspose.

Padahal, di luar negeri, para pelajar mengenal mereka dengan baik. "Seperti karya-karya Syekh Mahfudz Termas, itu karyanya kurang begitu terekspose," paparnya.

Saat ini, para cendekiawan Muslim dan ulama sudah sangat jarang melahirkan karya-karya internasional, seperti Syekh Nawawi dan Syekh Mahfidz Termas. Pelajar Muslim juga mengalami penurunan semangat membaca. Akibatnya, tingkat keilmuan yang bisa dicapai cendekiawan dan ulama masih tergolong rendah dibandingkan ulama-ulama dahulu.

"Kalau sekarang sudah jarang yang bisa menulis, apalagi bahasa Arab. Ada sekarang Ustaz Nahrawi Abdus Salam yang disertasinya berbahasa Arab dan dinilai sangat bagus, bahkan di Universitas Al Azhar Mesir sendiri. Tapi, itu hanya disertasi. Nilai keilmuannya tinggi, tapi nilai bacanya rendah. Jadi, dikenalnya hanya di kalangan akademisi," paparnya.

Ia membandingkan, ulama di negeri Arab masih sangat kuat dalam melahirkan karya buku. Setiap hari, ada saja beberapa judul buku baru yang lahir. Jadi, tidak salah kalau ilmu pengetahuan Islam masih berkiblat ke sana. "Kalau ulama Arab itu kuat dan bagus. Metode mereka tepat. Kalau ulama Indonesia itu masih lemah," ujarnya. (rol/kabarpapua.net)

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Menengok Karya Ulama Terdahulu"

Post a Comment