Foto: Global Research |
Oleh: Nick Barrickman
Amnesty International merilis sebuah laporan penyelidikan pembunuhan massal terhadap warga sipil
dalam beberapa tahun terakhir di bawah pendudukan yang dipimpin Amerika
Serikat di Afghanistan. Laporan itu diberi judul "Yang
Tertinggal dalam Kegelapan: Kegagalan Pertanggungjawaban terhadap
Korban Sipil yang Disebabkan oleh Operasi Militer Internasional di
Afghanistan".
Amnesty menyelidiki hampir selusin kasus pembunuhan massal oleh NATO
dan Pasukan Bantuan Keamanan Internasional (ISAF) yang berlangsung
antara tahun 2009 dan 2013. Laporan ini berfokus pada peran yang
dimainkan oleh pejabat pasukan pendudukan AS karena faktor dominan
mereka di ISAF, sebagai kekuatan utama pendudukan internasional di
Afghanistan.
“Kita mengamati, tak satu pun dari kasus yang melibatkan kematian
lebih dari 140 warga sipil dituntut oleh militer AS,” demikian laporan
itu menyimpulkan. “Bukti kemungkinan adanya kejahatan perang dan
pembunuhan di luar hukum, tampaknya telah diabaikan.”
Sejumlah saksi telah diwawancarai oleh berbagai kelompok lokal,
termasuk organisasi hak asasi manusia, polisi Afghanistan, dan
penyelidik PBB. Namun, hanya dua saksi saja yang telah menyampaikan
laporan kepada penyidik militer, yang dapat “membawa pelakunya ke dalam
penuntutan pidana”.
Hal ini terutama disebabkan, tulis laporan itu, sistem peradilan
militer yang berdasarkan "perintah komandan", yang didasarkan
“kebijakan tertentu”. Dengan kata lain, kejahatan perang tersebut
umumnya digolongkan ke dalam impunitas (kekebalan hukum).
Meskipun sebagian besar kematian warga sipil juga disebabkan oleh
serangan Taliban –para penyusun laporan mencatat, statistik ini terlihat
sebagian besar terjadi saat penarikan pasukan pendudukan dan pergeseran
kepada pasukan pemerintah Afghanistan– namun dalam delapan bulan
pertama tahun 2007 saja, “pasukan pro-pemerintah” yang dipimpin oleh AS
bertanggung jawab atas hampir separuh dari semua kematian warga sipil.
Laporan ini menjelaskan beberapa kejadian di mana sejumlah besar warga sipil tewas oleh operasi ISAF.
Ini termasuk:
* 4 September 2009: pemberondongan oleh jet tempur F-15E terhadap dua
kendaraan pembawa bahan bakar di Sungai Kunduz, yang terjadi setelah
pihak berwenang melaporkan pencurian pembawa bahan bakar tersebut oleh
pejuang. Laporan ini mencatat bahwa, “Daripada meninggalkan pembawa
bahan bakar tersebut begitu saja, para pejuang membuka (tangki) pembawa
bahan bakar untuk mengosongkan bahan bakar,” yang mendorong penduduk
setempat melakukan hal yang sama. “Puluhan pria dan anak laki-laki
bergegas ke daerah itu; untuk mengambil dan membawa pulang bahan bakar
secara gratis,” kata laporan itu mengutip seorang saksi mata.
Komandan ISAF memerintahkan menghancurkan kendaraan pembawa bahan
bakar tersebut. Pada jam 1:20 pagi hari berikutnya, dua jet menembaki
pembawa bahan bakar dengan beberapa bom seberat 500 kg yang bisa
dipandu, membunuh sebanyak 142 orang.
* Pembunuhan lima orang, termasuk dua wanita hamil, di satu pesta di
provinsi Paktia pada 12 Februari 2010. Pasukan Khusus AS menggerebek
rumah milik Haji Sharabuddin (70 tahun), yang sedang mengadakan acara
keluarga merayakan kelahiran cucunya. Setelah meminta orang yang datang
untuk “bubar”, tim pasukan komando elit kemudian menembaki siapa saja
yang berada di pintu, termasuk dua wanita hamil yang mencoba mencegah
orang lain ditembak.
Laporan AI mengutip Pelapor Khusus PBB, bahwa khususnya serangan
malam hari “selalu berbahaya bagi warga sipil,” dan tidak ada
perhitungan yang akurat yang dilakukan oleh pasukan pendudukan atas
korban tewas sipil atas segala tindakannya.
Satu-satunya badan militer yang bertugas mengawasi kematian warga
sipil, Joint Incident Assessment Teams (JIATs), sebagian besar ompong,
tidak melakukan “fungsi investigasi,” jelas laporan Amnesty. Pergerakan
badan-badan tersebut biasanya dilakukan hanya berdasarkan “insiden yang
telah mengakibatkan sejumlah besar korban sipil atau yang telah mendapat
perhatian politik”, yang dengan kata lain peristiwa tersebut tidak bisa
lagi dapat diabaikan.
Amnesty International pun hanya menjumpai enam kasus penuntutan
terhadap tentara atas pembunuhan warga sipil Afghanistan. Keadaan ini
sebagian besar karena tentara –mengikuti tindakan rekannya– untuk
mencari mata rantai komando. Laporan ini juga mencatat, “sangat jarang
orang-orang Afghanistan sendiri diminta bersaksi dalam kasus-kasus
tersebut”.
Yang paling terkenal dari insiden tersebut adalah pada Maret 2012
berupa pembunuhan terhadap 16 warga Afghanistan oleh sersan Angkatan
Darat AS Robert Bales di provinsi Kandahar di Afghanistan selatan. Pada
saat itu, banyak politisi, termasuk Presiden Obama, dan kemudian Menteri
Luar Negeri AS Hillary Clinton, yang hanya mengatakan tindakan Bales
sebagai “tentara nakal” dan membenarkan tujuan keseluruhan pendudukan.
Bahkan, laporan AI menunjukkan, alih-alih menangani “apel busuk,”
kekejaman seperti pembantaian semacam di Kandahar tampak umum dan sering
tidak dilaporkan oleh penjajah militer di Afghanistan, dan tindakan
penindasan berdarah terhadap penduduk merupakan tujuan imperialisme AS
secara keseluruhan.
Laporan ini juga belum menghitung jumlah insiden serupa yang
melibatkan hampir 100.000 kontraktor militer swasta yang beroperasi di
Afghanistan. Mengingat banyaknya ‘pasukan-pasukan” semacam ini, serta
tidak adanya pengawasan terhadap kelompok-kelompok ini,
kejadian-kejadian yang dilakukan di sektor militer swasta ada kemungkian
juga cukup banyak.
Tragedi yang juga cukup besar sebagaimana dilakukan oleh pesawat
tanpa awak Aerial, atau drone, yang menjadi andalan strategi pertempuran
Obama, sebagaimana insiden pada warga sipil di pos pemeriksaan yang
salah mengartikan perintah, sehingga mengakibatkan sejumlah pembunuhan.
Yang disebut Amerika Serikat “penarikan” (pasukan) dari Afghanistan
sebagaimana dinyatakan Obama pada bulan Mei tahun ini, sebenarnya masih
menempatkan sekitar 10.000 tentara di Afghanistan sampai tahun 2015, dan
semua pasukan AS akan berada dalam “selimut pemerintah” guna memperoleh
kekebalan (hukum).
Sumber: Hidayatullah
0 Response to "Pembunuhan Pasukan AS Atas Warga Sipil Afghanistan “Selalu Ditutupi”"
Post a Comment